Perwira Garda Revolusi Tewas Ditembak di Teheran, Iran Tuduh Jaringan AS-Israel
Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) mengungkap, seorang perwira seniornya dibunuh dalam serangan bersenjata yang dilakukan dua pengendara sepeda motor di Teheran. Mereka menuding pelakunya "elemen terkait arogansi global".
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·5 menit baca
TEHERAN, SENIN — Seorang perwira senior Brigade Quds Garda Revolusi Iran, Kolonel Sayyad Khodaei, Minggu (22/5/2022), tewas dalam serangan bersenjata di Teheran, Iran. Pembunuhan Khodaei merupakan pembunuhan atas sosok penting militer Iran, sekaligus insiden ”kecolongan” terbaru bagi Iran sejak pembunuhan terhadap pakar nuklir terkemuka Mohsen Fakhrizadeh di luar Teheran pada November 2020.
Sebelumnya, pada awal 2020, Iran juga kehilangan komandan Brigade Quds, Qasem Soleimani, yang tewas di dekat Bandar Udara Internasional Baghdad, Irak. Pembunuhan pejabat dan tokoh penting Iran di ibu kota Teheran merupakan hal yang jarang terjadi. Teheran menuduh Amerika Serikat dan sekutunya bertanggung jawab atas aksi keji terhadap Khodaei.
Melalui keterangan tertulis dalam laman resminya, Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) mengungkapkan, Khodaei dibunuh dalam serangan bersenjata yang dilakukan oleh dua pengendara sepeda motor di Jalan Mojahedin Eslam di Teheran. Lokasi serangan diketahui tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Khodaei. Tidak disebutkan aktivitas Khodaei beberapa saat sebelum aksi pembunuhan atas dirinya itu terjadi.
Kantor berita resmi Iran, IRNA, melaporkan bahwa Khodaei terbunuh setelah lima butir peluru bersarang di tubuhnya. Serangan atas Khodaei itu terjadi sekitar pukul 16.00 waktu Teheran, saat Khodaei tengah dalam perjalanan ke rumah naik mobil. Kantor berita IRNA menerbitkan sejumlah foto yang menunjukkan seorang pria yang disebut sebagai Khodaei dalam posisi merosot di kursi pengemudi sebuah mobil putih, dengan darah di sekitar kerah kemeja biru mudanya dan di lengan kanan atas.
Tidak banyak informasi terbuka soal sosok Khodaei. Selama ini para perwira Brigade Quds cenderung menjadi sosok yang tak banyak dipublikasikan terkait operasi mereka yang menjalankan misi militer rahasia guna mendukung Hezbollah di Lebanon atau milisi-milisi lain di Suriah, Irak, dan tempat-tempat lain.
Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) menyatakan, ”elemen yang terkait dengan arogansi global”—istilah yang biasanya merujuk pada AS dan sekutunya, termasuk Israel—bertanggung jawab atas ”tindakan teroris” yang merenggut nyawa Khodaei. Pernyataan seperti itu juga dikeluarkan Teheran saat ilmuwan nuklir Fakhrizadeh tewas hampir dua tahun lalu. Iran menuduh Israel mendalangi serangan terhadap Fakhrizadeh di dekat Teheran dan kemudian mengidentifikasi dalang serangan itu adalah Wakil Menteri Pertahanan Israel.
Kantor Perdana Menteri Israel, yang membawahkan badan intelijen Mossad, menolak mengomentari peristiwa-peristiwa di Teheran. Sedikitnya enam ilmuwan dan akademisi Iran tewas atau diserang sejak 2010, beberapa dari mereka diserang oleh para pengendara sepeda motor. Jalan Mojahedin Eslam di Teheran selama ini dikenal sebagai area aman dan menjadi lokasi gedung parlemen Iran.
IRGC pun langsung meluncurkan penyelidikan untuk mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan Khodaei. Kantor berita Fars melaporkan bahwa jaksa penuntut negara mengunjungi lokasi pembunuhan dan memerintahkan ”identifikasi cepat dan penangkapan para pelaku tindakan kriminal” itu.
”Preman terkait Israel”
Beberapa jam sebelum peristiwa pembunuhan itu terjadi, IRGC mengatakan, mereka telah menangkap sekelompok ”preman yang terkait dengan badan intelijen rezim Israel”. Dalam pernyataan resminya dikatakan bahwa para tersangka itu diduga terlibat dalam serangkaian kejahatan, termasuk ”perampokan, penculikan, dan vandalisme”.
Khodaei sendiri disebut Korps Garda Revolusi sebagai sosok ”pembela tempat perlindungan”. Ini merupakan istilah yang merujuk pada siapa saja yang bekerja atas nama Iran di Suriah atau Irak. Iran memiliki pengaruh yang cukup besar di Irak, ”rumah” bagi tempat-tempat suci utama Syiah.
Teheran memiliki ”penasihat militer” yang ditugaskan untuk melatih para ”sukarelawan” asing. Jenderal Qasem Soleimani, yang memimpin Pasukan Quds, sayap operasi asing Garda Revolusi Iran, tewas dalam serangan pesawat tak berawak AS di ibu kota Irak, Baghdad, pada Januari 2020.
Iran juga merupakan sekutu utama Presiden Suriah Bashar al-Assad dan telah mendukung pemerintahnya dalam perang saudara 11 tahun di negara itu. Teheran mengatakan telah mengerahkan pasukan di Suriah atas undangan Damaskus, tetapi fungsi mereka hanya sebagai penasihat. Televisi Pemerintah Iran menyatakan, sosok Khodaei adalah sosok yang terkenal di Suriah, tetapi tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut atas hal itu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh, dalam pernyataannya menyesalkan pembunuhan atas Khodaei. Secara langsung ia juga mengecam negara-negara yang disebutnya bisu dan berpura-pura memerangi terorisme. ”Kejahatan tidak manusiawi ini dilakukan oleh elemen teroris yang terkait dengan arogansi global,” katanya.
Peneliti senior Centre for Middle East Strategic Studies, Abas Aslani, di Teheran mengatakan, ”Penghilangan seorang tokoh berpengaruh IRGC dimaksudkan untuk menghadirkan operasi psikologis di negara itu.” ”Saya pikir, pemilihan waktu (pembunuhan Khodaei) juga sangat penting, mengingat pemerintah (Iran) tengah menjalankan reformasi ekonomi yang berpotensi memicu unjuk rasa di negara itu,” ujar Aslani kepada Al Jazeera.
”Ini bukan pertama kali pembunuhan tokoh penting terjadi di Teheran. Sudah banyak contoh lain di masa lalu. Dan dalam banyak peristiwa tersebut, Israel dan Amerika (Serikat) menjadi pihak yang disalahkan,” lanjut Aslani.
Sementara koresponden Al Jazeera, Ali Hashem, dalam laporannya menempatkan kasus pembunuhan Khodaei dalam konteks yang berbeda dari kasus-kasus serupa sebelumnya. ”Kebanyakan kasus pembunuhan sebelumnya yang terjadi di Teheran terkait dengan dokumen nuklir. Kemungkinan ini pertama kali pembunuhan (di Teheran) terkait dengan kebijakan regional Iran jika istilah tersebut tepat,” kata Hashem.
Pembunuhan Khodaei terjadi saat negosiasi antara Iran dan negara-negara Barat untuk memulihkan kesepakatan nuklir 2015 terhenti sejak Maret 2022. Salah satu poin utama yang mencuat dalam negosiasi terkait hal itu adalah permintaan Teheran untuk menghapus Garda Revolusi Iran dari daftar terorisme AS. Namun, hingga kini permintaan itu ditolak oleh Washington.
Perjanjian Nuklir 2015 ditandatangani oleh enam negara yang dikenal dengan kelompok P5 + 1 (AS, China, Inggris, Perancis, Rusia, dan Jerman) untuk memberikan keringanan sanksi-sanksi ekonomi atas Iran dengan balasan pembatasan program nuklir Teheran. Melalui perjanjian itu, Barat ingin mencegah Teheran mengembangkan bom atom, sesuatu yang selalu disangkal telah dikembangkan oleh Teheran.
Perjanjian tersebut berantakan setelah Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan tersebut. Trump juga menerapkan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran, mendorong Iran untuk mulai membatalkan komitmennya atas perjanjian itu. (AP/REUTERS/SAM)