Bersiap Menjadikan Indonesia Ketua ASEAN yang Berwibawa
Kurang dari satu bulan Indonesia akan menjadi Ketua ASEAN 2023. Sejumlah isu prioritas dan pendekatannya dibahas.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyambut tahun 2023 dan keketuaan Indonesia di Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN, ada sejumlah hal yang menjadi perhatian. Yang paling utama adalah memastikan sentralitas ASEAN bisa memberi pengaruh lebih signifikan untuk menjaga multipolarisme dunia serta mendinginkan suasana global.
”Pelajaran yang kita peroleh selama ini ialah ASEAN cakap dalam membuat kebijakan, tetapi susah dalam penerapannya karena kekurangan sumber daya manusia maupun kapasitas,” kata Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri di Jakarta, Rabu (7/12/2022). Ia berbicara dalam diskusi mengenai ASEAN yang diadakan dalam rangka ulang tahun ke-23 The Habibie Centre.
Contoh terbaru, menurut Yose, adalah penanganan situasi di Myanmar. ASEAN telah menetapkan Lima Poin Konsensus yang mengamanatkan segera dilaksanakannya perundingan damai antara semua pihak dan pelaksanaan demokrasi. Turut ada penunjukan utusan khusus ASEAN untuk menangani masalah Myanmar.
Kenyataannya, Lima Poin Konsensus tidak dijalankan sampai sekarang. Utusan khusus yang ada justru kepala negara yang menjabat sebagai Ketua ASEAN. Tugas mereka selesai ketika tanggung jawab keketuaan dialihkan ke negara berikutnya.
”Mumpung Indonesia segera menjadi ketua, kita harus bisa memanfaatkan kesempatan ini, mengajak semua mitra dialog ASEAN agar mendorong Myanmar menerapkan Lima Poin Konsensus,” ujar Yose.
Terdapat sejumlah kritik yang menyebutkan konsensus sudah tidak relevan dan sebaiknya ASEAN mengambil langkah serta kebijakan baru. Perwakilan Indonesia untuk Komisi Hak Asasi Manusia Antar-pemerintah ASEAN (AICHR) Yuyun Wahyuningrum mengutarakan ketidaksetujuan. Pasalnya, tidak ada yang tahu efektivitas konsensus karena belum dijalankan.
Hanya jika Myanmar menerapkan konsensus, ASEAN bisa melakukan evaluasi. Membuat kebijakan baru pada saat ini justru mubazir karena memaksa ASEAN kembali ke titik awal. ”AICHR menawarkan diri agar terlibat dalam pelaksanaan konsensus. Kami bisa membantu menjembatani dialog dengan berbagai lembaga masyarakat di Myanmar maupun diasporanya,” kata Yuyun.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto menjelaskan bahwa permasalahan Myanmar memang pelik karena akarnya sudah lama dan mendalam. Permasalahan utama di negara tersebut ialah perang saudara yang tidak kunjung selesai. Masyarakat yang terpecah belah membuat demokrasi sukar berjalan.
Andi mencontohkan, di Indonesia demokrasi bisa berjalan ketika sudah dilaksanakan tujuh kali pemilihan umum yang bebas dan terbuka. Indonesia bisa berkaca dari pengalaman itu dan bersama Myanmar mencari pola pelaksanaan pemilu yang cocok.
Terkait dengan mengajak mitra dialog ASEAN untuk terlibat, dibutuhkan kewibawaan lebih lanjut. Hingga tahun 2000-an, dunia memercayai bahwa globalisasi membawa saling ketergantungan dan integrasi sehingga menghasilkan perdamaian. Sekarang, negara-negara, terutama yang memiliki perekonomian besar, mengedepankan pendekatan otonomi strategis. Tujuannya ialah mengurangi ketergantungan kepada negara lain dan mengamankan rantai pasok masing-masing. Ini berpengaruh pada geopolitik.
”Masalah Myanmar ini persoalan kawasan sekaligus global. Indonesia terpaksa harus mencari cara dan titik yang mempertemukan Myanmar, ASEAN, dan mitra dialog,” katanya.
Sentralitas
Kemampuan ASEAN menjaga sentralitasnya juga diperlukan dalam menjaga kestabilan Asia Pasifik. Demikian dikemukakan Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Cheng Chi Taiwan (NCCU) Lee Chung-Ly. Taiwan secara formal merupakan bagian dari China, seperti tertera di dalam Prinsip Satu China. Akan tetapi, Taiwan memiliki sistem politik demokrasi dengan pemerintahan tersendiri.
Ia menjelaskan, Taiwan saat ini terlalu dekat dengan Amerika Serikat dan terlalu jauh dari China. Pada saat yang sama, hubungan AS-China juga tegang. Akibatnya, Selat Taiwan menjadi wilayah dengan risiko tinggi pecahnya konflik. Kapal-kapal militer China kerap memasuki zona eksklusif ekonomi Taiwan. Latihan perang China ataupun AS dan sekutunya semakin meningkat.
Menurut Lee, Konferensi Tingkat Tinggi G20 membawa harapan karena Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping berbicara empat mata. Mereka berjanji mencegah terjadinya peperangan terbuka. Ini ditargetkan bisa membuat hubungan AS-China lebih dekat dan Taiwan bisa turut mengambil manfaat karena suasana kedua adidaya itu stabil.
Namun, ia lebih menekankan agar Taiwan bisa menaikkan posisi tawar sehingga bisa melakukan hedging atau menentukan letak mereka di peta geopolitik. Di sini, peran negara-negara lain, termasuk ASEAN, penting. Taiwan dan negara-negara sahabat harus mempererat hubungan meskipun tidak secara diplomatik.
”Perdagangan, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain ini kesempatan Taiwan membangun koneksi dengan negara-negara lain. ASEAN juga hendaknya membuka pintu berbagai kerja sama dengan Taiwan sehingga sahabat Taiwan tidak hanya AS,” ujarnya.
Peneliti senior The Habibie Centre, Rene Pattiradjawane, menambahkan, wujud sentralitas ASEAN di Asia Timur bisa berupa kerja sama patroli kelautan. Ini tidak politis ataupun agresif seperti kerja sama pertahanan. Sejatinya, hubungan di luar diplomatik sangat bisa dilakukan karena tidak melanggar Prinsip Satu China.