UNCLOS Instrumen Penyelesaian Konflik yang Masih Relevan
UNCLOS dapat memberikan jaminan atau kerangka hukum terbaik di wilayah lautan. Namun, ada sejumlah tantangan harus dijawab UNCLOS.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — UNCLOS atau United Nations Convention on The Law of The Sea atau yang lebih dikenal dengan Konvensi Hukum Laut Internasiona dipandang masih sangat relevan dalam membantu negara-negara menyelesaikan konflik. Relevansi dan kebutuhannya masih sangat terasa, terutama ketika persaingan negara-negara besar di laut Lepas semakin meruncing saat ini.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat membuka ASEAN Regional Conference on the 40th Anniversary of UNCLOS: Promoting Legal Order for the Seas and Oceans yang berlangsung di Sekretariat ASEAN di Jakarta, Selasa (29/11/2022), mengatakan, lautan saat ini menjadi tempat unjuk kekuatan dan persaingan negara-negara besar. Pengembangan kekuatan militer, khususnya Angkatan Laut, dinilai meningkatkan risiko yang bisa berujung pada eskalasi atau bahkan sebuah konflik terbuka.
“Penerapan UNCLOS menjadi lebih menantang. Ini menjadi tantangan yang harus dijawab oleh kita semua agar laut menjadi sebuah tempat yang damai dan menjadi Sumber kemakmuran bagi semua,” kata Retno.
Dalam pandangan Indonesia, menurut Retno, UNCLOS menyediakan paradigma dan kerangka kerja bagi negara-negara di dunia, terutama negara-negara yang memiliki perbatasan dengan laut Lepas dalam berbagai hal, mulai dari perlindungan Lingkungan hingga Manajemen Sumber Daya laut yang berkelanjutan. Selain itu, UNCLOS juga menyediakan alat kerja atau kerangka kerja untuk menyelesaikan dan mengakhiri perselisihan di laut antarnegara yang telah lama berlangsung.
UNCLOS, meski usianya Sudah empat dekade, menurut Retno, tetap dipandang sebagai panduan bagi negara-negara untuk bersikap dan berperilaku di laut. “UNCLOS adalah Perspektif yang tepat untuk bersikap ketika kita berada di lautan, termasuk di kawasan tempat kita berada. Kita harus menempatkan kerja sama di atas konfrontasi dan persaingan,” kata Retno lagi.
Akan tetapi, memasuki usianya yang ke-40 setelah kemunculannya di tahun 1982, UNCLOS memiliki tantangan yang tidak mudah. Persaingan di laut yang diperlihatkan sejumlah negara besar di berbagai lokasi di dunia telah membuat ketegangan di kawasan, salah satunya adalah di Laut China Selatan.
AS dan China bersaing memperebutkan pengaruh di Laut China SElatan. AS, bersama Australia dan Inggris, membentuk AUKUS yang diyakini sebagai upaya membentengi pengaruh China di kawasan. Salah satu upayanya adalah mempersenjatai Australia dengan kapal selam bertenaga nuklir.
Sementara China, selain memiliki sejumlah permasalahan perbatasan dengan beberapa anggota ASEAN, juga mencoba memperluas pengaruhnya melalui kerja sama bilateral. China membantu Kamboja untuk membangun pangkalan militernya di Ream, Teluk Thailand. Tindakan itu dikritik oleh AS.
Sementara, AS yang keinginannya untuk membangun pangkalan militer di Kamboja ditolak, kini mencoba mendekati Filipina untuk mengoperasikan Kembali pangkalan militernya di negara itu.
Retno mengatakan, negara-negara diharapkan bisa menghormati norma hukum internasional. Aturan-aturan yang ada di dalam UNCLOS dipandang masih bisa membantu menyelesaikan persoalan di lautan dengan cara damai. “Lingkungan yang stabil perlu terus diupayakan. Pada saat yang sama adalah mengupayakan penyelesaian perbedaan antarnegara,” katanya.
Selain itu, upaya untuk menjembatani perbedaan terus dilakukan, salah satunya adalah dengan ASEAN Outlook on Indo-Pasific. ASEAN, menurut Retno juga terus mengupayakan dialog dengan sejumlah pihak, termasuk pemerintah China, untuk terus mengembangkan dan menyelesaikan Kode Perilaku di Laut China SElatan sebagai bagian dari upaya menjaga kestabilan di laut Lepas di hadapan wilayah ASEAN.
“UNCLOS memang tidak sempurna, akan tetapi UNCLOS merupakan memberikan jaminan atau kerangka hukum terbaik di wilayah lautan. Mengubah paradigma kerja sama UNCLOS akan menjaga kita semua di masa depan,” katanya.
Tantangan UNCLOS
Selama 40 tahun terakhir UNCLOS telah menjadi dasar bagi negara-negara di dunia untuk “menjaga perilakunya” di lautan. Namun, persoalan yang makin kompleks membuat UNCLOS juga ditantang untuk tetap relevan dengan persoalan saat ini dan di masa yang akan datang.
Mantan Menteri Luar Negeri Nur Hassan WIrajuda mengatakan, salah satu tantangan yang harus dijawab oleh UNCLOS di masa yang akan datang adalah soal terjadinya perbudakan di lautan lepas. “Kita memiliki konstitusi di lautan dan ini menjadi tantangan bagi kita semua agar aturan ini bisa mengaturnya,” kata Hassan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Retno, yang menyebut kejahatan transnasional di lautan sebagai salah satu tantangan yang harus dijawab oleh UNCLOS.
Sekretaris Jenderal Otoritas Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority) Michael Lodge mengatakan, eksploitasi Sumber Daya laut oleh banyak negara juga harus diatur lebih jauh dalam norma hukum internasional. “Pengaturan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya yang ada di dasar laut menjadi penting jika kita tidak ingin melihat ketidakseimbangan, keuntungan hanya untuk segelintir pihak semata,” katanya.
Dalam pandanganya, sebagai sebuah norma hukum, UNCLOS memiliki ruang untuk berkembang sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Semua negara di dunia, menurut Lodge, memiliki ketergantungan yang besar pada laut.
“terpenting di masa sekarang dan akan datang adalah menegakkan kembali aksi kolektif agar norma-norma ini dihormati dan dilaksanakan. Institusi yang dibentuk atau didirikan diperkuat dan tidak dipandang sebelah mata,” katanya.
Sementara, menurut diplomat senior Singapura yang juga merupakan Presiden UNCLOS ke tiga tahun 1980-1982, Tommy Koh berharap agar negara-negara ASEAN yang belum meratifikasi UNCLOS agar segera melakukannya. Dia juga berharap agar Kode Perilaku di Laut China Selatan yang tengah dibahas segera dapat disahkan dan diberlakukan.