Indonesia sukses menggelar Konferensi Tingkat Tinggi G20. Kini seusai mengemban tugas presidensi G20, ada tugas besar lain menanti Indonesia, yaitu keketuaan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, PASCAL S BIN SAJU
·7 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Presiden Joko Widodo bersiap memberikan keterangan pers di Media Center Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) di Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu (16/11/2022). Presiden melaporkan hasil KTT G20 yang menghasilkan 'Deklarasi Pemimpin G20' yang antara lain berisi mengecam perang Rusia Ukraina, pembiayaan dana pandemi (pandemic fund), dan transisi energi hijau.
Indonesia boleh bernapas lega setelah sukses menggelar Konferensi Tingkat Tinggi G20. Kesuksesan itu antara lain ditandai dengan lahirnya Deklarasi Bali 2022 dan sejumlah hasil konkret, antara lain dana pandemi. Capaian itu menambah modal sosial Indonesia di kancah internasional. Sebelumnya, Indonesia aktif mendorong kesetaraan akses vaksin, dan dialog perdamaian, baik di regional maupun global.
Kini seusai mengemban tugas presidensi G20, ada tugas besar lain menanti Indonesia, yaitu keketuaan Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Indonesia resmi menerima keketuaan bergilir ASEAN dari tangan Kamboja di Phnom Penh pada 13 November 2022. Dalam keketuaannya, Indonesia mendorong agar kawasan Asia Tenggara menjadi pusat pertumbuhan global yang inklusif dan berbasis pada kepentingan pembangunan negara-negara berkembang.
”Indonesia ingin menjadikan kawasan ASEAN sebagai kawasan ekonomi yang tumbuh cepat, inklusif, dan berkelanjutan, epicentrum of growth. Economic growth has and will always be the story of ASEAN. Untuk itu, ASEAN harus mampu membangun arsitektur kesehatan kawasan yang kuat, menjaga ketahanan pangan dan energi; serta stabilitas keuangan. Tak kalah penting, ASEAN harus lebih dekat dengan kepentingan rakyatnya,” kata Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, saat dihubungi, Selasa (22/11/2022).
Indonesia, kata Retno, ingin agar ASEAN mampu menghadapi beragam tantangan, bahkan hingga 20 tahun ke depan, seiring itu, ASEAN dapat menjadi basis untuk membangun kerja sama ekonomi demi kesejahteraan bersama. ”Untuk itu, ASEAN 2045 harus agile, adaptif, dan kompetitif. Untuk itu persatuan ASEAN harus diperkuat agar menjadi kawasan yang bermartabat, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Sentralitas ASEAN harus diperkokoh sehingga tetap mampu menjadi jangkar stabilitas dan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik,” kata Retno.
Akan tetapi, pada saat yang sama, ASEAN kini dihadapkan pada sejumlah tantangan pelik. Merujuk KTT ASEAN di Pnom Penh awal November lalu, kondisi Myanmar saat ini memburuk dan mengkhawatirkan. KTT juga berpendapat, tidak ada kemajuan signifikan pada pelaksanaan lima poin konsensus yang telah disepakati para pemimpin ASEAN.
Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional dan Co-founder ASEAN Study Center, Evi Fitriani mengatakan, ketidakstabilan politik di Myanmar telah menjadi isu global. ASEAN di bawah Indonesia akan mendapat tekanan kuat dari Barat dan Amerika Serikat untuk ”men-sipil-kan” Myanmar. ”Ini tantangan besar Indonesia,” kata Evi.
Pada saat yang sama, menurut Evi, pemulihan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 belum selesai. Pandemi masih berlanjut, dan ancaman resesi ekonomi juga berlanjut. ”Karena China, mitra dagang terbesar ASEAN, masih menerapkan kebijakan ’zero Covid-19’. Hal Ini akan memberikan tekanan besar pada perekonomian ASEAN,” kata Evi.
Secara terpisah, Marten Hanura, pengamat hubungan internasional Universitas Diponegoro, juga menyoroti ancaman resesi itu pada ASEAN. Merujuk data Bank Pembangunan Asia (ADB) yang dirilis pada Maret 2022, disebutkan pandemi telah mengakibatkan 4,7 juta orang di Asia Tenggara terjerumus ke dalam kemiskinan ekstrem. Kondisi ini diperparah dengan hilangnya lebih dari 9,3 juta pekerjaan di Asia Tenggara. Pertumbuhan ekonomi global pun diperkirakan masih lambat, menurun sekitar 3 persen, dan bakal berdampak pada situasi ekonomi regional ASEAN.
Ketua Program Studi S-2 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Muhammad Rum mengatakan, tantangan terbesar muncul dari keperluan untuk transformasi ekonomi dalam menjadikan ASEAN sebagai kawasan adaptif terhadap transformasi digital, ekonomi hijau, dan mengambil peran yang lebih baik dalam jaringan produksi global atau rantai pasok global pascapandemi Covid-19.
Geopolitik
Situasi itu bisa makin pelik apabila ”dipadukan” dengan isu rivalitas China dan AS di kawasan Indo pasifik. Ketegangan di Laut China Selatan (LCS), antara lain melibatkan empat anggota ASEAN, yaitu Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina, serta dampak perang Ukraina-Rusia bisa memengaruhi stabilitas politik dan keamanan ASEAN.
Teuku Rezasyah, pengajar ASEAN dan Asia Pasifik di Departemen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, mengatakan, dinamika yang mungkin terjadi pada 2023 adalah kemungkinan perbenturan yang menjurus ke konflik terbuka di LCS antara China dan AS yang melibatkan AUKUS (Australia, Britania Raya, AS) dan Quad (Dialog Keamanan Kuadrilateral, forum dialog yang terdiri dari Australia, India, Amerika Serikat, dan Jepang), serta beberapa anggota ASEAN yang memiliki klaim kewilayahan di LCS. Situasi ini berpotensi memecah belah ASEAN mengingat tingginya ketergantungan ekonomi beberapa anggota pada China, seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar.
(AP PHOTO/ANDREW HARNIK, POOL)
Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton (kiri) dalam konferensi pers dengan Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne (kedua dari kiri), Menlu AS Antony Blinken, dan Menhan AS Lloyd Austin di Washington DC, AS, Kamis (16/9/2021), menjelaskan penambahan personel Marinir AS dan peralatan militernya di Darwin pasca-penandatanganan pakta militer AS-Australia-Inggris yang disebut AUKUS.
REUTERS
Kapal-kapal perang Australia dan Amerika Serikat berlayar bersama di Laut China Selatan, 18 April 2020.
Catatan serupa juga diungkap Rum. Selain dampak perang Rusia-Ukraina, di Asia, konsolidasi kekuasaan oleh Presiden China Xi Jinping berpotensi melahirkan kebijakan luar negeri China yang lebih asertif, terutama untuk isu Prakarsa Sabuk dan Jalan, isu selat Taiwan, dan LCS. Sebagaimana Rezasyah, Rum pun mengkhawatirkan meningkatnya ketegangan dengan negara-negara lain di kawasan, termasuk AUKUS.
Situasi itu bila tidak dikelola dengan baik–kembali merujuk data ADB–dapat berpengaruh pada kinerja ekonomi kawasan. “Kepemimpinan Indonesia di ASEAN dihadapkan pada tantangan menavigasi instabilitas di kawasan,” kata Rum.
Menghadapi dinamika yang diroyeksikan bakal terjadi tersebut, Rezasyah menawarkan tiga kebijakan. Pertama, menjadikan ASEAN makin bermartabat di hadapan AS dan China, dengan menjalankan diplomasi kepresidenan, yaitu Presiden RI langsung berhubungan dengan Presiden Joe Biden dan Presiden Xi Jinping, baik itu secara bilateral maupun trilateral. Kedua, Presiden atas nama ASEAN menyelenggarakan KTT dengan AS dan China, perihal perlunya menyetujui berbagai ide penting dalam lingkup "ASEAN Outlook on Indo-Pacific". Ketiga, dalam kerangka mencegah terjadinya konflik bersenjata di Asia Tenggara dan wilayah lain, Indonesia dapat menggerakkan ASEAN, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Gerakan Non-Blok (GNB) untuk membangun sebuah Resolusi PBB, yang intinya menyelesaikan konflik dengan mengedepankan hukum Internasional.
“Intinya, mengekalkan Asia Tenggara sebagai kawasan ZOPFAN dan SEANWFZ,” kata Rezasyah merujuk pada zona damai, kebebasan dan netralitas (ZOPFAN) dan kawasan bebas nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ).
Sementara itu, menurut Marten, kesuksesan Indonesia di G20, termasuk mampu mengelola dinamika internal G20 akibat konflik geopolitik di Ukraina, bisa dijadikan momentum. Di forum itu, Indonesia, selain memimpin dan berdiplomasi dengan negara berkembang, juga memimpin dan berdiplomasi dengan negara maju dan kaya di G7 untuk mengelola dinamika politik di G20.
“Populasi di ASEAN sekitar 668 juta jiwa merupakan potensi reintegrasi ekonomi pasar dan mobilitas tenaga kerja yang bisa mendukung kesejahteraan dan pembangunan negara anggota ASEAN apabila dikelola dengan baik,” kata Marten.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan arah kebijakan Bank Indonesia 2023 dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2022 bertajuk Sinergi dan Inovasi Memperkuat Ketahanan dan Kebangkitan Menuju Indonesia Maju di Jakarta, Rabu (30/11/2022). Perry Warjiyo meyakini pertumbuhan ekonomi di tanah air akan tumbuh 4,5 % hingga 5,3 % pada 2023 dan meningkat menjadi 4,7% hingga 5,5% pada 2024. Acara ini juga dihadiri Presiden Joko Widodo. KOMPAS/HERU SRI KUMORO 30-11-2022
Kekuatan pemadu
Saat menjawab pertanyaan tertulis Kompas, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyebut pendekatan itu sebagai convening power (kekuatan pemadu).
”Dalam konteks geopolitik saat ini, Kawasan Indo-Pasifik adalah salah satu kawasan yang paling strategis. Karena nilai strategisnya, rivalitas di Indo-Pasifik tak terhindarkan. Indonesia selalu menyampaikan, rivalitas dan kompetisi merupakan hal lumrah dan tak terhindarkan. Yang perlu terus diupayakan adalah pengelolaan agar rivalitas itu tak berubah jadi konflik terbuka,” kata Retno.
”ASEAN memiliki kekuatan sebagai convening power, yaitu semua pihak bertemu untuk berbicara. Sebagai convening power, sentralitas dan kesatuan ASEAN menjadi sangat penting artinya. Belajar dari pengalaman G20, Indonesia telah berhasil tidak saja menjadi convening power dan juga menawarkan paradigma kolaborasi bagi seluruh anggota G20,” kata Retno.
Meskipun demikian, terkait Myanmar, sejumlah ahli berpendapat, Indonesia perlu memprakarsai amandemen ASEAN Charter, yang memungkinkan diberlakukannya sanksi keorganisasian pada anggota ASEAN, yang terus mengingkari prinsip-prinsip penting dalam ASEAN Charter.
Selain itu, menurut Kepala Departemen Hubungan Internasional CSIS, Lina Alexandra, penting untuk menunjuk utusan khusus yang permanen.
Utusan khusus ini bertanggung jawab langsung kepada Ketua ASEAN. Utusan khusus tersebut juga berwenang memberi masukan yang obyektif untuk ketua maupun seluruh anggota ASEAN mengenai langkah-langkah yang tepat ataupun cocok untuk menangani persoalan di Myanmar, baik secara holistik maupun spesifik.
DOKUMENTASI KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI
Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhon (ke empat dari kiri, berkaca mata) memimpin pertemuan khusus para Menlu ASEAN di Jakarta, Kamis (27/10/2022). Dalam pertemuan itu, Menlu ASEAN menyatakan kekecewaannya terhadap sikap junta militer Myanmar yang tidak melaksanakan lima poin konsensus. Indonesia mendorong ASEAN membuka komunikasi resmi dengan berbagai pemangku kepentingan di luar Tatmadaw.
Terkait utusan khusus, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, Indonesia belum menetapkan siapa yang akan menjadi utusan khusus pada masa keketuaan nanti. “Tentunya pengalaman Utusan Khusus pada masa Keketuaan Brunei Darussalam dan Kamboja sangat berharga bagi Indonesia,” kata Retno.
Lebih dari itu, yang juga perlu ditekankan adalah bahwa tugas Utusan Khusus Ketua ASEAN tidak akan berhasil jika tidak ada kerja sama dari junta militer Myanmar.