Cegah Konflik Meluas pada 2023, Antisipasi Perang Ekonomi
Perlu kewaspadaan ekstra saat memasuki tahun 2023. Konflik di sejumlah kawasan akan terus bergolak. Perlu upaya keras agar konflik bersenjata yang terjadi saat ini tak merembet ke kawasan dekat negeri kita.
Kecuali Australia, semua benua akan masih dilanda perang atau setidaknya konflik bersenjata pada 2023. Persaingan di antara sesama negara mitra dan kerja sama di antara negara yang terlihat berseberangan juga akan terus terjadi. Penggunaan instrumen-instrumen ekonomi sebagai sarana menekan lawan dan pesaing akan makin masif.
Inflasi di Uni Eropa dan Amerika Serikat serta pengendalian Covid-19 di China harus menjadi perhatian bagi Indonesia. Pada akhir November 2022, Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde dan Gubernur Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell menegaskan, pengendalian inflasi masih menjadi fokus. Karena itu, ECB dan The Fed akan berusaha menekan konsumsi serta menarik uang dari pasar demi mengendalikan inflasi.
Sementara China masih terus mempertahankan kebijakan nihil Covid-19. Karena itu, meski Beijing mengindikasikan akan ada pelonggaran, pembatasan bakal terus dilakukan di China.
Baca juga : China Longgarkan Kebijakan Nihil Covid-19
Sebagai tujuan utama ekspor Indonesia, keputusan trio AS- Eropa-China itu bisa menekan neraca perdagangan luar negeri Indonesia. Nilai tukar rupiah juga akan terus tertekan karena pasokan dollar AS dan euro bakal terus berkurang. Bagi eksportir, pelemahan rupiah sebenarnya bisa menjadi peluang jika pasar sedang terbuka. Sayangnya, trio tujuan ekspor utama Indonesia tersebut malah berpotensi mengurangi permintaan.
Inflasi Eropa tidak bisa dilepaskan dari perang Ukraina. Peneliti Rand Corporation, Samuel Charap, menyebutkan, sulit—setidaknya sampai saat ini—mencari solusi damai perang Ukraina. ”G7 pada dasarnya meminta Rusia menyerah total, hal yang tidak mungkin dicapai secara diplomatik,” kata peneliti lembaga kajian yang dekat dengan Departemen Pertahanan AS itu.
Perang Ukraina juga menjadi salah satu penyebab Economist Intelligent Unit memasukkan Indonesia dalam kelompok negara dengan risiko kerentanan pangan pada rentang 11 persen hingga 40 persen. Selain gangguan pola tanam akibat perubahan iklim, risiko itu juga dipicu hambatan perdagangan pupuk dan gandum gara-gara perang Ukraina-Rusia. Indonesia juga ikut menanggung dampak lonjakan harga energi gara-gara perang tersebut.
Beban Indonesia dan sejumlah negara semakin bertambah jika perang sampai pecah di Semenanjung Korea dan Taiwan. Dalam The Economist edisi November 2022 disebut, meski sama-sama terkait China, risiko di Taiwan lebih besar dibandingkan dengan di Laut China Selatan. Sebab, China tidak menetapkan batas yang tak boleh dilanggar di Laut China Selatan. Sementara Taiwan, sebagaimana kembali disampaikan Presiden China Xi Jinping kepada Presiden AS Joe Biden di Bali pada 14 November 2022, adalah batas yang sama sekali tidak boleh dilanggar.
Baca juga : Biden-Xi Ulangi Janji Cegah Konflik
AS dan sekutunya serta China-Rusia terus meningkatkan jumlah persenjataan dan latihan perang di Asia Timur. Korea Selatan dan Jepang juga semakin keras menanggapi serangkaian uji coba rudal oleh Korea Utara.
Perang di kawasan itu akan menjadi beban serius bagi Indonesia. Setidaknya 500.000 warga Indonesia tinggal di Hong Kong-Taiwan-Korea Selatan-Jepang. Mereka perlu dievakuasi jika sampai terjadi perang di Taiwan atau Semenanjung Korea.
Perang di kawasan Asia Timur akan menjadi beban serius bagi Indonesia.
Selain itu, dari 228 miliar dollar AS ekspor Indonesia sepanjang 2021, hingga 83 miliar dollar AS ditujukan ke Taiwan dan sekitarnya. Nilai ekspor Indonesia ke sana setara dengan 7 persen produk domestik bruto Indonesia 2021.
Karena itu, sangat beralasan jika Presiden Joko Widodo pada pidato pembukaan KTT G20 di Bali, pertengahan November, menekankan betul agar dunia tidak terbelah. ”Kita tidak boleh membiarkan dunia jatuh dalam Perang Dingin baru,” katanya.
Perang ekonomi
Perang antarnegara tidak hanya berwujud perang bersenjata, tetapi juga perang ekonomi. Peneliti senior Atlantic Council, Julia Friedlander, menyebutkan, perang ekonomi semakin meluas. Dalam perang ekonomi, cara yang ditempuh sebuah negara bisa dengan membuat aneka aturan untuk meningkatkan keunggulan domestik serta membatasi lawan dan kawan sekalipun.
Selain subsidi yang dijalankan AS dan China, akan semakin banyak pembatasan ekspor-impor, investasi asing, penggunaan hak kekayaan intelektual (HKI). Dalam kasus Rusia dan Iran, AS membatasi akses pada jaringan pengolah transaksi keuangan global.
Pengajar pada Tufts University di Massachusetts, Daniel Drezner, menyebut Washington tidak segan melancarkan perang ekonomi pada siapa pun. Pendapat Drezner, antara lain, sedang dibuktikan dalam hubungan AS dengan China dan Uni Eropa.
Pada KTT G20 Bali, Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping memang menyatakan Beijing-Washington akan mencari cara mencegah konflik. Namun, faktanya adalah AS terus membuat aneka sanksi pada China.
Dengan UE, yang sebagian anggotanya adalah para sekutu AS, Washington juga kembali berselisih. Kali ini gara-gara paket subsidi. Disahkan pada Agustus 2022, Undang-Undang Pengurangan Inflasi yang menjadi dasar pengucuran subsidi itu akan berlaku mulai Januari 2023.
”Ada subsidi 367 miliar dollar AS, 200 miliar dollar AS di antaranya tidak sesuai (dengan aturan) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO),” kata Menteri Perdagangan Luar Negeri Perancis Olivier Becht.
Baca juga : AS-Uni Eropa Berselisih soal Subsidi
Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck menyebut UU AS itu mengganggu persaingan usaha sehat. Anehnya, ia dan Becht mengusulkan UE juga menyiapkan subsidi untuk perusahaan-perusahaan UE. Jika UE tidak membuat subsidi tandingan, Habeck dan Becht khawatir perusahaan-perusahaan akan pindah dari UE ke AS. Sejauh ini, 30 persen perusahaan Jerman mempertimbangkan memindahkan pabrik karena lonjakan harga energi di sana.
Menteri Perdagangan Ceko Jozef Sikela khawatir perang subsidi meluas. Negara kecil seperti Ceko sulit bersaing jika negara besar, seperti AS, China, Jerman, dan Perancis, sampai baku mengucurkan subsidi.
Saling bergantung
Persaingan multiarah seperti terjadi pada AS-China-UE dilengkapi dengan upaya pembentukan blok-blok ekonomi. AS-UE gencar mendorong pembentukan struktur baru rantai pasok global (GVC). Sejak 2018, AS mendorong perusahaan-perusahaannya memindahkan pabrik dari China. AS juga mengajak mitranya membawa kembali pabrik ke wilayah masing-masing. Meski diingatkan dampak buruknya, AS terus mendesak pemisahan ekonomi dari China-Rusia.
Namun, berkali-kali jajak pendapat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) AS Seksi China menunjukkan ekonomi kedua negara itu saling tergantung. Dalam jajak pendapat, Oktober 2022, ditemukan setidaknya 70 persen perusahaan AS di China tidak mau pindah. Bahkan, setidaknya 30 persen malah mau menambah modalnya.
Menurut Wakil Tetap AS untuk Perundingan Dagang Katherine Tai, AS tidak mau bercerai dari China. Seperti rumah tangga, Washington hanya mau pisah ranjang sembari tetap hidup serumah dengan Beijing.
Direktur Eurasia Group Ian Bremer menyebutkan, kini semakin sulit mendorong pemisahan ekonomi satu negara dengan negara lain. Dalam artikelnya di jurnal Foreign Affairs edisi Oktober 2022, ia beralasan, aras saling bergantung di masa kini jauh lebih tinggi ketimbang masa lalu. Berbagai blok dagang terus lahir meski perjanjian dagang dengan skala lebih luas mengalami kebuntuan.
Kesalingbergantungan terjadi, antara lain, karena GVC makin terjalin antarnegara. Hal itu tecermin pada kontribusi GVC pada perdagangan global yang, menurut Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), mencapai 70 persen. Hingga 20,7 persen PDB global 2021 dihasilkan proses GVC.
Berbagai blok dagang terus lahir meski perjanjian dagang dengan skala lebih luas mengalami kebuntuan.
Sayangnya, pemisahan sedang dilakukan AS dan sekutunya pada China-Rusia serta mitra dan sekutunya. Menurut Bremer, upaya itu hampir mustahil dilakukan pada Rusia. Alasannya, Rusia memasok komoditas dalam jumlah penting ke pasar global. Pasar global mendapatkan hingga 11 persen minyak dan gas bumi, 23 persen minyak bunga matahari, dan hampir 30 persen pupuk dari Rusia. Bersama Ukraina, Rusia menjadi pemasok kebutuhan gandum untuk setidaknya 500 juta orang di sejumlah negara.
Baca juga : Putin Telepon Jokowi, Bahas KTT G20 dan Isu Ekspor Gandum-Pupuk
Saat AS-Eropa memangkas impor dari Rusia, Moskwa menawarkan komoditasnya ke negara lain dengan harga diskon. India yang dianggap AS sebagai sekutunya sekalipun tidak melewatkan kesempatan itu. ”Dinamika global digerakkan oleh upaya negara memenuhi kepentingannya,” kata Sven Biscop, pengajar geopolitik pada Ghent University di Belgia.
Karena itu, ia tidak sepakat dengan kampanye AS dan sekutunya bahwa dunia sedang diwarnai kompetisi antara kelompok demokratis dan otoriter. AS dan sekutunya menganggap diri sebagai kelompok demokratis. Adapun China-Rusia dan mitranya dianggap sebagai kelompok otoriter.
Faktanya, banyak negara yang dianggap sebagai kelompok demokratis malah terus berhubungan dengan negara yang dianggap sebagai kelompok otoriter. Penolakan India mengikuti kehendak AS soal sanksi pada Rusia adalah buktinya. Bagi AS, India kerap dikelompokkan ke dalam negara demokratis.
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional pada Princeton University, G John Ikenberry, menyebut, fenomena itu merupakan salah satu indikasi pengaruh AS sudah menurun. Meski demikian, sebagaimana ditulisnya di Foreign Affairsedisi November 2022, AS tetap berperan penting di panggung global. Sebab, AS telah membangun jaringan pengaruh dan kekuatan amat mendalam di sejumlah negara serta lembaga lintas negara.
Baca juga : Takhta Hegemoni Setelah Pandemi
Dosen pada School of International and Public Affairs at Florida International University, Félix E Martín, menyebut AS senantiasa berusaha memperdalam hubungannya di banyak negara. Sebaliknya, China cenderung fokus pada ekonomi. China tidak berminat pada ekspansi militer dan pergulatan politik di negara lain. Bahkan, berbeda dari AS, China tak kunjung memperdalam hubungan dengan banyak negara di berbagai kawasan. Beijing sudah puas jika neraca perdagangan dan investasi meningkat.
Pengajar School of International Service pada American University di Washington DC, Amitav Acharya, juga sepakat AS akan tetap jadi elemen penting di tatanan global. Akan tetapi, aras pengaruh AS sudah berbeda dibandingkan dengan masa lalu. AS tak bisa lagi menjadi hegemon utama seperti terjadi pada 1945-2010.
Tatanan dunia terkini
Karena itu, meski ada upaya membentuk berbagai koalisi dan kelompok negara, tatanan dunia kurang tepat disebut terbagi atas kutub-kutub. Tidak ada negara yang benar-benar berada di salah satu kutub. Tatanan dunia saat ini lebih tepat disebut saling beririsan dan berimpitan.
Pola hubungan AS-China-Rusia adalah contohnya. Meski Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin berikrar hubungan negara mereka hanya dibatasi langit, Beijing tidak selalu berada di sisi Moskwa. Hal itu, antara lain, ditunjukkan lewat sikap China soal serangan Rusia ke Ukraina.
China memang tidak secara langsung mengecam Rusia karena menyerbu Ukraina. Akan tetapi, dalam berbagai kesempatan, Beijing menekankan, penghormatan kedaulatan dan keutuhan wilayah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah hal yang tidak dapat ditawar. Beijing juga menolak penggunaan senjata nuklir. Sikap China nyaris selaras dengan pendapat AS dan sekutunya yang menganggap Rusia melanggar kedaulatan Ukraina.
Hubungan yang saling bersilangan itu, menurut Acharya, menjadi alasan sulit menyebut dunia terbagi atas kutub-kutub. Ia lebih suka mengibaratkan dunia kini seperti bioskop dengan beberapa ruangan. Penonton mempunyai beragam selera dan relatif leluasa memutuskan menonton film di ruang mana, apakah film yang diputar oleh AS atau film yang ditawarkan di ruangan lain.
Agar filmnya laku, AS dan pengelola ruangan lain tentu saja berpromosi. Ada kemungkinan, upaya menggaet penonton diikuti dengan paksaan dalam beragam bentuk. Ada peluang pula, upaya itu diiringi janji aneka hadiah.
Persaingan perebutan penonton bisa jadi memanas. Presiden RI Joko Widodo dan sejumlah pejabat Indonesia berulang kali secara terbuka mengungkapkan kecemasan pada dampak persaingan AS-China-Rusia. Kecemasan Indonesia beralasan. Sebab, Asia menjadi ladang utama persaingan AS-China, sedangkan Eropa menjadi palagan persaingan AS-Rusia.
Lembaga kajian AS, seperti CSIS, Rand Corporation, dan Brookings Institute, menyimpulkan, kebijakan AS di Indo- Pasifik didedikasikan untuk menghadapi China. AS diminta berhenti memandang kawasan itu dari perspektif melawan China. (AFP/REUTERS)