Restrukturisasi utang negara miskin dan negara berkembang menjadi agenda penting dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20. Indonesia berupaya menjembatani pihak debitor dan kreditor yang berupa bank multilateral maupun negara
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
AP PHOTO/ERANGA JAYAWARDENA
Tentara Sri Lanka bersiaga di Kolombo, Kamis (12/5/2022). Jam malam masih diterapkan karena gejolak masyarakat yang marah kepada pemerintah. Mereka menilai pemerintah kacau dalam mengelola keuangan dan utang negara sehingga terjadi krisis ekonomi parah.
Misi Indonesia dalam menjabat presidensi G20 tahun 2022 adalah menjembatani antara negara kaya dengan negara berkembang. Salah satu permasalahan penting bagi negara-negara berkembang ialah belitan utang. Mereka tidak mampu membayar cicilan kepada negara maupun lembaga multilateral pemberi pinjaman.
Hantaman pandemi Covid-19 di tahun 2020 membuat berbagai kegiatan ekonomi mandeg. Roda pembangunan sempat terhenti. Apalagi, terjadi pula kesenjangan akses vaksinasi. Sejumlah negara berkembang dan miskin belum bisa memenuhi kuota minimal vaksinasi lengkap karena tidak memperoleh jatah vaksin yang cukup ataupun tidak memiliki sarana dan prasarana vaksinasi. Ekonomi mereka pun kian tergerus.
"Indonesia mengerahkan segala upaya dan jalur untuk mengajak para peminjam dana dan pemberi dana duduk bersama membicarakan permasalahan ini secara multilateral," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam wawancara khusus dengan Kompas, Jumat (28/10/2022).
Ia menjelaskan, semangat dua arah ini untuk mencari jalan keluar yang disepakati oleh kedua belah pihak. Indonesia memahami keduanya berada di bawah tekanan. Kreditor menginginkan uang mereka kembali agar ekonomi bisa berputar, debitor juga tertekan karena tidak mampu melunasi utang akibat perekonomian mereka dihantam pandemi maupun krisis pangan dan energi akibat konflik Rusia-Ukraina.
Akan tetapi, jika debitor terus ditekan, mereka kemungkinan besar tidak bisa bangkit dari krisis. Di tengah globalisasi, seluruh dunia akan terdampak dan secara umum krisis tidak akan selesai. Dalam hal ini, Retno mengungkapkan bahwa Indonesia berusaha menahan agar krisis ekonomi tidak berlanjut menjadi krisis keamanan. Caranya dengan mengajak semua pihak terkait berunding.
Berdasarkan data Bank Dunia, ada peralihan kreditor di negara-negara berkembang dari bank-bank multilateral ke negara tertentu, misalnya China. Hal ini tampak sejak tahun 2010 setelah bank-bank multilateral melakukan restrukturisasi utang dan memperketat persyaratan peminjaman. Ketika itu, China mulai menjadi kreditor populer dengan pinjaman total 40 miliar dollar Amerika Serikat pada tahun 2014. Di tahun 2020 jumlah dana yang dipinjamkan ke luar negeri mencapai 170 miliar dollar AS.
Bank Dunia menyebut, dari segi nominal, negara dengan utang terbesar ke China adalah Pakistan dengan nilai 77,3 miliar dollar AS, Angola senilai 36,3 miliar dollar, Etiopia dengan 7,9 miliar dollar, dan Kenya dengan 7,4 miliar dollar. Selain itu, juga ada negara dengan utang besar apabila dibandingkan dengan pendapatan domestik bruto mereka. Negara-negara itu adalah Djibouti dengan 43 persen dari PDB, Angola 41 persen, Maladewa 38 persen, dan Laos 30 persen.
Peneliti senior politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 1984-2017, Ikrar Nusa Bhakti, menjelaskan pengamatan dia mengenai situasi di Benua Afrika, terutama di Afrika Utara. Ia menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Tunisia periode 2017-2021. "Lembaga-lembaga multilateral tentu masuk ke Afrika, misalnya Bank Pembangunan Afrika (AfDB) dan Bank Perdagangan dan Pembangunan Afrika (TDB)," ujarnya.
Ia menerangkan, pilihan kreditor bergantung dari persyaratan maupun kecepatan turunnya dana. Lembaga-lembaga multilateral umumnya memiliki persyaratan yang lebih ketat dibandingkan meminjam uang secara bilateral. Oleh sebab itu, negara-negara di Afrika Utara lebih banyak mengutamakan jalur bilateral.
Mengisi kekosongan
Hal ini dijabarkan lebih lanjut oleh ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Centre for International and Strategic Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri. Pada dasarnya, sejarah negara-negara berkembang menunjukkan pinjaman bilateral merupakan sumber utama anggaran. Negara-negara Barat dan Jepang misalnya, rajin memberi pinjaman kepada negara-negara berkembang, antara lain Indonesia, Brasil, dan Meksiko di periode 1970-1990-an.
KOMPAS/NINA SUSILO
Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China Hanggoro Budi Wiryawan (kedua dari kiri) dan China Development Bank Chairman Hu Huai Bang (kanan) menandatangani persetujuan facility loan sebesar 4,4 miliar dollar AS yang akan digunakan untuk membangun kereta cepat Jakarta-Bandung. Penandatanganan ini disaksikan Presiden Joko Widodo dan Presiden RRC Xi Jinping (kedua dari kanan) dalam pertemuan bilateral yang diselenggarakan di sela-sela acara Belt and Road Forum for International Cooperation, di Beijing, Minggu (14/5).
"Mereka belajar dari pengalaman bahwa banyak juga kredit macet, sehingga sekarang negara-negara bilateral menerapkan persyaratan sama ketat dengan bank-bank multilateral," tuturnya.
Menurut Yose, China kemudian mengisi kekosongan tersebut. Pinjaman yang diberikan ialah hasil likuiditas di dalam negeri dan harus disalurkan ke luar agar tidak mengendap dan mengakibatkan gelembung ekonomi. Mereka sebagai pemain baru dalam posisi kreditor sebenarnya juga mengevaluasi situasi. Banyaknya negara debitor yang kepayahan mencicil utang kemungkinan membuat China mengetatkan persyaratan di masa depan untuk para peminjam baru.
Ia menekankan, pendekatan harus dilakukan tiga arah, yaitu kepada peminjam, negara pemberi pinjaman, dan bank multilateral. Indonesia bisa membantu menjembatani proses tersebut karena memiliki akses dan daya tawar kepada negara maju maupun lembaga multilateral. Di saat yang sama, Indonesia juga memahami perspektif negara berkembang.
"Ini memang harus didekati dari jalur keuangan dan jalur diplomasi karena Indonesia harus membujuk kreditor agar mau merestrukturisasi utang, sekaligus membujuk debitor agar membenahi pengelolaan keuangan mereka," kata Yose.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mengungkit agar bank-bank multilateral memberi pinjaman kepada negara miskin dengan memakai ekuitas yang sudah ada. Pinjaman itu lalu diberi secara konsesional. Pada saat yang sama, bank multilateral bisa meminjamkan ke negara berkembang dengan bunga sesuai pasar dan ditambah 70 poin dasar sehingga tidak merugi.