Terang Indonesia di Tengah Prospek Suram Ekonomi Dunia
Indonesia sejauh ini relatif baik. Manajemen ekonomi yang baik, kebijakan yang mendukung, dan harga komoditas yang tinggi membuat Indonesia agak terisolasi dari risiko ekonomi global.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F09%2Fa0d4b250-59ac-410c-bdb0-e160e77bbadb_jpg.jpg)
Pesawat Boeing C-17 Globemaster III milik Angkatan Udara Amerika Serikat diparkir di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Rabu (9/11/2022). Pesawat itu digunakan untuk mengangkut berbagai logistik delegasi Amerika Serikat yang datang ke KTT G20 di Bali.
Presidensi G20 Indonesia tahun ini terselenggara di tengah suramnya prospek ekonomi dunia. Meski telah pulih dari pandemi Covid-19, negeri ini masih berhadapan dengan berbagai permasalahan dunia yang menantang.
Paling jelas, ini tecermin pada tingginya harga pangan, minyak sawit, dan energi. Selain itu, terjadi pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan suku bunga. Di tengah prospek suram ekonomi dunia, bagaimana Indonesia bisa terus bergerak menuju kemakmuran yang dicita-citakan?
Kombinasi dari tiga guncangan yang terjadi di luar kelaziman terus membayangi prospek pemulihan ekonomi dunia. Yang pertama, terus berlanjutnya kebijakan nol-Covid-19 di China di saat sebagian besar negara-negara lain telah mulai membuka diri dan hidup berdampingan dengan virus. Kebijakan China yang terus menerapkan pengujian Covid-19 yang masif, serta penguncian wilayah secara berkala demi mencegah penyebaran virus, telah menggerus kepercayaan konsumen dan investasi. Hal ini memperparah kondisi internal China yang sudah terpengaruh oleh melemahnya pasar properti di negeri tersebut.
Di luar China, konsumen juga mulai menggeser pola konsumsi dari jasa ke barang. Dengan rantai pasokan dunia tidak dapat langsung menyesuaikan perubahan pola konsumsi, banyak harga barang melesat naik dan tingkat inflasi terdongkrak dengan cepat.

Pengambilan sampel untuk dites Covid-19 dilakukan di jalan di Distrik Jing'an, Shanghai, China, Senin (7/11/2022).
Faktor kedua adalah sangat persistennya inflasi. Dislokasi rantai pasokan dan kenaikan harga komoditas baru-baru ini telah menjadi masalah. Selain itu, banyak negara juga telah menjalankan kebijakan fiskal ekspansif, melakukan pembiayaan melalui utang, dalam menopang konsumsi rumah tangga di saat pandemi. Ketika aktivitas ekonomi mulai kembali bergerak, tingkat permintaan yang sebelumnya terpendam melonjak dan mendorong naiknya harga.
Banyak yang berharap inflasi ini akan turun dengan cepat, tetapi sayangnya, inflasi tetap tinggi. Untuk mengendalikan inflasi, bank sentral pun terpaksa menaikkan suku bunga, memunculkan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Faktor utama terakhir adalah invasi Rusia ke Ukraina. Perang telah mendorong kenaikan harga makanan, pupuk, dan energi di seluruh dunia, memperburuk inflasi. Harga pangan yang lebih tinggi telah merugikan negara-negara yang bergantung pada impor biji-bijian dan bahan makanan lain yang terdampak oleh perang secara tidak proporsional.
Kenaikan harga energi telah memengaruhi banyak orang, terutama di kawasan Eropa yang sangat bergantung pada impor energi dari Rusia. Hal ini membuat kawasan tersebut sangat rentan terhadap dislokasi yang disebabkan oleh perang dan sanksi yang diterapkan kepada Rusia. Hambatan impor energi dari Rusia menyebabkan harga energi di Eropa meningkat jauh lebih cepat dibanding di tempat lain. Hal ini tidak hanya melemahkan ekonomi Eropa, tetapi juga ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China.

Tentara dan sukarelawan Ukraina memeriksa tank Rusia yang hancur di sebuah area di Ukraina timur, Kamis (10/11/2022).
Jadi, masing-masing dari ketiga faktor ini memengaruhi tiga ekonomi utama dunia. Di AS, kebijakan kenaikan suku bunga yang bertujuan untuk menurunkan inflasi telah meningkatkan risiko resesi di ekonomi terbesar dunia. Di China, pembukaan kembali ekonomi China yang lambat merusak kepercayaan masyarakat pada perekonomian terbesar kedua di dunia ini. Di kawasan Eropa, krisis energi telah menekan rumah tangga dan membebani pertumbuhan.
Kombinasi dari pertumbuhan yang lambat, inflasi yang tinggi—terutama untuk komoditas—dan suku bunga yang lebih tinggi, sangat mungkin akan menjadikan 2023 lebih sulit bagi perekonomian dunia dibandingkan dengan 2022.
Bagaimana semua ini memengaruhi Indonesia?
Pertama, kabar baiknya dulu. Perekonomian Indonesia telah pulih dengan baik dari pandemi. Pertumbuhan mulai kembali tahun lalu, dan tahun ini perekonomian berjalan cukup baik. Pertumbuhan pada semester pertama tahun ini tercatat 5,2 persen (year on year/yoy).
Pertumbuhan sebesar ini cukup kuat untuk menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dan telah meningkatkan kembali pendapatan masyarakat, tetapi dalam tingkat yang masih dapat dikelola dengan baik. Pertumbuhan juga berbasis luas (broadbased): di mana konsumen sudah kembali mulai berbelanja dan perusahaan mulai kembali berinvestasi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F10%2F90899d77-8fa4-41a2-882d-0067c05e0f37_jpg.jpg)
Aktivitas bongkar muat peti kemas ke dalam kapal berlangsung di terminal peti kemas New Priok Container Terminal (NPCT) 1, Jakarta Utara, Kamis (10/11/2022).
Ekspor juga kuat. Hal ini sangat mengesankan mengingat pertumbuhan yang melambat di dua mitra dagang utama Indonesia, yakni AS dan China.
Namun, sebagai negara dengan perekonomian terbuka, masalah dunia juga akan memberikan pengaruh kepada kita di Indonesia. Kita bisa melihat ini pertama-tama dari inflasi global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan inflasi tahun ini menjadi 6 persen (yoy) di AS, 8,8 persen (yoy) di kawasan Eropa, dan 14,6 persen (yoy) rata-rata di Amerika Latin. Dengan inflasi yang begitu tinggi, negara-negara tersebut harus menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi.
Inflasi di Indonesia juga tercatat meningkat. IMF memperkirakan inflasi Indonesia mencapai 7,2 persen (yoy) tahun ini, masih lebih rendah dari banyak negara lain. Selain itu, meskipun di banyak negara lain, salah satunya AS, inflasi didorong secara domestik, inflasi Indonesia sebagian besar juga berasal dari luar negeri, alias inflasi yang diimpor. Penyebab utamanya adalah harga komoditas yang terdorong naik oleh pertumbuhan ekonomi yang kuat tahun lalu dan karena invasi Rusia ke Ukraina.
Bidang lain untuk melihat efek dari ekonomi global yang lemah adalah nilai tukar. Pada Januari 2022 (2/1), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sebesar Rp 14.266. Per November (8/11), rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 15.698. Meski demikian, jelas terlihat depresiasi rupiah relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F10%2F17%2F1fa61493-3ce5-4a5e-bddc-aae865e1009d_jpg.jpg)
Karyawan menunjukkan uang rupiah dan dollar AS di tempat penukaran valuta asing PT Valuta Artha Mas, ITC Kuningan, Jakarta, 17 Oktober 2022.
Sebagai contoh, pada periode yang sama, poundsterling melemah 14,4 persen terhadap dollar AS, renminbi melemah sebesar 13,5 persen, dan dollar Australia melemah 9,5 persen. Mata uang yang lebih lemah membuat barang impor lebih mahal dan mendorong inflasi. Dengan kinerja rupiah yang relatif lebih baik dibandingkan dengan mata uang lain, Indonesia mengalami tekanan inflasi impor yang lebih moderat ketimbang banyak negara lain yang mengalami depresiasi yang cukup parah di saat inflasi domestik yang tinggi.
Bidang ketiga adalah suku bunga. Bank sentral di negara maju telah menaikkan suku bunga untuk mengatasi inflasi, dan dampaknya meluas ke Indonesia. Selama setahun terakhir, bank sentral AS (The Fed) telah menaikkan suku bunga kebijakannya dari nol menjadi 3,25 persen. Dengan laju inflasi Indonesia yang lebih rendah dibandingkan dengan AS, Bank Indonesia (BI) juga melakukan penyesuaian suku bunga dari 3,5 menjadi 4,75 persen. Dengan kenaikan suku bunga di AS yang lebih cepat, sebagian investor kemudian menjual obligasi Indonesia dan membeli obligasi AS.
Hal ini tidak hanya mendorong pelemahan rupiah, tetapi juga mengerek suku bunga obligasi Pemerintah Indonesia. Dengan The Fed diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga lagi untuk menurunkan inflasi AS; suku bunga Indonesia kemungkinan akan terus bergerak naik pula. Hal ini juga akan mendorong biaya pinjaman domestik di Indonesia menjadi lebih mahal.

Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat Jerome Powell menjawab pertanyaan wartawan dalam jumpa pers di Washington DC, 2 November 2022. Bank Sentral AS atau The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga lagi guna menurunkan inflasi AS.
Kabar buruk lainnya ialah tiga keadaan di atas mungkin akan terus berlanjut. Setelah Krisis Keuangan Global (Global Financial Crisis) 2008, banyak negara mengurangi pengeluaran di saat inflasi sangat rendah. Hal ini kemudian memperpanjang periode tingkat pengangguran yang tinggi dan menunda pemulihan.
Kali ini, kita berhadapan dengan kondisi yang berbeda, yakni bisa saja bank sentral terlalu cepat memperketat kebijakan moneter dan menyebabkan resesi global. Atau sebaliknya, otoritas fiskal mendorong belanja pada saat inflasi sedang tinggi, yang akan memicu inflasi yang lebih tinggi dan membuat pekerjaan bank sentral lebih sulit.
Suku bunga yang tinggi juga dapat menyebabkan kondisi keuangan yang lebih buruk, terutama di negara-negara berkembang. Jika bank sentral di negara maju mempertahankan tingkat suku bunga tinggi lebih lama dari yang diperkirakan, lebih banyak arus modal keluar dari negara berkembang. Hal ini dapat menyebabkan nilai tukar yang lebih lemah, investasi yang lebih sedikit, dan inflasi yang lebih tinggi.
Terakhir, perang yang sedang berlangsung di Ukraina telah menyebabkan harga pangan dan energi yang lebih tinggi. Jika hal ini tetap tidak terselesaikan, atau bahkan menjadi lebih buruk, tekanan ini akan semakin kuat.
Jaga momentum
Bagaimana agar terang Indonesia ini dapat terus berlanjut? Ada banyak cara untuk membuat ekonomi negeri ini lebih tangguh dalam situasi global yang sulit ini, dan untungnya, Indonesia sudah melakukan banyak di antaranya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F29%2Ff0b5bae3-7f00-4cfc-9999-c027cf77d4bf_jpg.jpg)
Menteri Keuangan Sri Mulyani bersama Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel di Ruang Sidang Paripurna DPR RI, Jakarta, Agustus 2022, berpose bersama seusai pengesahan APBN 2023.
Baca juga: Ekonomi Tumbuh, tetapi Pemerintah Tetap Waspadai Ancaman Resesi Global
Pertama adalah memastikan kebijakan fiskal dan moneter bekerja dalam arah yang sama. Di sisi fiskal, Indonesia telah lama menjalankan defisit anggaran di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Penangguhan pagu ini selama pandemi Covid-19 adalah hal yang benar.
Sekarang, setelah ekonomi pulih, pemerintah mengusulkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 dengan tingkat defisit kembali di bawah 3 persen dari PDB. Hal ini akan membantu menjaga tekanan inflasi tetap rendah dan menjaga sumber daya nasional yang dapat dimanfaatkan jika situasi global memburuk.
Di sisi moneter, BI menghadapi tantangan berat. Sebagaimana dijelaskan di atas, inflasi di Indonesia sebagian besar berasal dari inflasi yang diimpor sehingga lebih sulit untuk dikendalikan. BI telah menaikkan suku bunga sebesar 125 basis poin yang secara bertahap akan mendinginkan perekonomian.
Namun, di sisi lain, kenaikan suku bunga BI ini memiliki efek mendorong kenaikan suku bunga domestik, yang pada akhirnya diharapkan menjaga lebih banyak modal masuk ke Indonesia dan melindungi nilai tukar rupiah.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo
Pelemahan rupiah tidak dapat sepenuhnya dihindari. Seperti disampaikan di atas, sebagian besar mata uang negara-negara di dunia melemah lebih banyak dibandingkan dengan rupiah. Namun, perubahan nilai tukar yang tiba-tiba dapat menyebabkan ketidakstabilan. Ketika kebijakan moneter dan fiskal bekerja sejalan, ekonomi dapat terjaga stabil.
Meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia terhadap pengaruh eksternal akan sangat membantu. Menjaga inflasi terkendali adalah kuncinya karena inflasi yang tinggi akan mengurangi dampak respons kebijakan terhadap suatu guncangan.
Reaksi alami terhadap guncangan ekonomi apa pun adalah melalui peningkatan kebijakan belanja pemerintah untuk menopang perekonomian. Meskipun demikian, pengeluaran tambahan ini dapat menambah tekanan inflasi, yang mengarah ke kebijakan moneter dan fiskal yang kontradiktif. Jadi, selain kebijakan pencegahan inflasi oleh BI, kebijakan seperti Undang-Undang Harmonisasi Pajak, kebijakan penyesuaian harga energi domestik, dan kebijakan efisiensi belanja pemerintah, perlu terus dilanjutkan.
Hal ini diharapkan dapat menciptakan pengelolaan utang yang prudensial. Pengelolaan utang yang prudensial akan membantu memberikan penyangga yang cukup jika terjadi kebutuhan belanja yang mendesak, seperti yang terjadi selama masa pandemi. Terus mengembangkan jaring pengaman sosial juga akan membantu. Penyesuaian harga bahan bakar domestik baru-baru ini—yang didukung oleh program Bantuan Tunai Langsung (BLT), subsidi untuk angkutan umum, dan dukungan upah—telah cukup baik dalam mengurangi tekanan domestik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F16%2Fa6db9e3f-f9fb-4072-8e37-5086e9094950_jpg.jpg)
Petugas memberikan uang bantuan langsung tunai (BLT) bahan bakar minyak (BBM) senilai Rp 500.000 kepada warga di kantor Pos Jakarta Barat, 16 September 2022.
Baca juga: Wawancara Sri Mulyani: KTT G20 Bali Tentukan Tatanan Dunia Baru
Selama pandemi, program pemerintah dalam mendukung usaha kecil, desa, dan individu juga terbukti membantu masyarakat melalui masa sulit. Dengan prospek ekonomi global yang begitu tidak pasti, memastikan bahwa masyarakat yang paling rentan terlindungi harus terus menjadi prioritas.
Apa kesimpulannya? Disayangkan memang bahwa ekonomi dunia berada dalam posisi yang sulit, dengan tantangan berasal dari inflasi yang tinggi, perang, dan pandemi yang masih berlangsung. Meskipun demikian, Indonesia sejauh ini relatif baik. Manajemen ekonomi yang baik, kebijakan yang mendukung, dan harga komoditas yang tinggi membuat Indonesia agak terisolasi dari risiko ekonomi global.
Namun, tidak ada negara yang sepenuhnya terisolasi dari ekonomi global. Indonesia pada titik tertentu akan menghadapi kondisi global yang lebih menantang. Pengelolaan kebijakan yang kuat dan berpihak pada pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif akan selalu berdampak positif bagi masyarakat. Di situlah Indonesia harus terus memusatkan upayanya, agar tercapai kemakmuran yang dicita-citakannya.
*James P Walsh, Kepala Perwakilan Dana Moneter Internasional (IMF) di Indonesia
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F08%2F1708a9f5-8eef-42ba-ac61-d31a20df0dc2_jpg.jpg)
James P Walsh, Kepala Perwakilan IMF di Indonesia