Partisipasi Pemilih Rendah, Kesehatan Demokrasi AS Dipertanyakan
Partisipasi rendah dalam pemilu paruh waktu AS adalah salah satu indikasi pemilih tidak percaya prosedur demokrasi. Padahal, AS mempromosikan demokrasi ke banyak negara dan kerap mempertanyakan hasil pemilu negara lain.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Partisipasi pemilih dalam pemilu paruh waktu Amerika Serikat ditaksir hanya 46,9 persen. Partisipasi rendah itu memunculkan pertanyaan soal kesehatan demokrasi AS.
Hingga Kamis (10/11/2022), menurut ElectProject, setidaknya 112,34 juta pemilih memberi suara dalam pemilu paruh waktu, Selasa. Dari mereka, sebanyak 45,9 juta pemilih memberi suara lewat pos dan pemungutan suara pendahuluan.
ElectProject, pusat pantauan pemilu di University of Florida, menyebut setidaknya 238,47 juta warga AS layak menjadi pemilih di pemilu pekan ini. Dengan demikian, lebih dari separuh pemilih tidak memberikan suara. Di 24 negara bagian, tingkat partisipasi pemilih malah di bawah aras partisipasi nasional. Bahkan, tingkat partisipasi di lima negara bagian tidak sampai 40 persen.
Partisipasi pemilih paling tinggi muncul di kelompok umur 50 tahun ke atas. Adapun partisipasi paling rendah di kalangan 30 tahun ke bawah.
Direktur Renewing America Initiative pada Council on Foreign Relation Christopher M Tuttle mengingatkan, sejak lama partisipasi pemilih digunakan untuk mengukur kesehatan dan perkembangan demokrasi. Partisipasi rendah di pemilu merupakan salah satu indikasi pemilih tidak percaya pada prosedur demokrasi.
Meski sah secara hukum, pemerintah dan parlemen hasil pemilu dengan partisipasi rendah sulit disebut mencerminkan kehendak mayoritas warga.
Selama setidaknya empat dekade terakhir, tingkat partisipasi pemilih di pemilu paruh waktu AS selalu di aras 40 persen. Di antara negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), AS termasuk negara dengan partisipasi pemilih yang rendah.
Tidak peduli
Dalam berbagai jajak pendapat menjelang pemilu paruh waktu, kepedulian terhadap demokrasi memang bukan prioritas utama pemilih. Kondisi perekonomian dan peningkatan kejahatan lebih menjadi keprihatinan utama pemilih.
Dalam jajak pendapat The New York Times bersama Sienna College terungkap, hanya 7 persen responden menganggap demokrasi sebagai masalah penting bagi AS. Bahkan, 44 persen responden mengaku tidak percaya pada akurasi pemilu pekan ini.
Dalam jajak pendapat VoteCast dan Associated Press terhadap 94.000 pemilih, terungkap 56 persen tidak hirau pada masa depan demokrasi. Mereka lebih pusing dengan kenaikan harga aneka kebutuhan hidup.
Kondisi ini ironis karena AS mempromosikan demokrasi ke banyak negara. Bahkan, berkali-kali AS mempertanyakan hasil pemilu negara lain.
Pew Research, lembaga kajian di AS, menyebut ada sejumlah faktor penyebab partisipasi pemilu AS rendah. Hal yang paling pokok adalah memberi suara di pemilu bukan kewajiban di AS.
Di sejumlah negara, hukum mengharuskan pemilih terdaftar untuk memberi suara di pemilu. Jika tidak memberi suara, pemilih harus menyampaikan alasan kepada panitia pemungutan suara.
Masalah lain adalah tidak ada lembaga tunggal yang mengurus pendataan pemilih di AS. Di Indonesia, pemilih didata dan didaftarkan oleh KPU. Di AS, pendataan pemilih dilakukan oleh berbagai lembaga di tingkat negara bagian dan kabupaten atau kota.
Pendaftaran pemilu secara sukarela bukan hal mudah di AS. Setiap menjelang pemilu, pengadilan menerima banyak gugatan tentang perintangan pendaftaran calon pemilih. Lonjakan gugatan, antara lain, terjadi pada pemilu 2020.
Di AS, syarat terdaftar menjadi pemilih bisa berupa telah melunasi denda yang ditetapkan pengadilan. Selama denda belum dibayar, selama itu pula hak memilih ditangguhkan.
Masalah berikutnya di pemilu AS adalah pemungutan suara di AS digelar pada hari kerja. Di beberapa negara, pemungutan suara digelar pada hari libur atau hari yang diliburkan. Akibatnya, banyak penduduk usia produktif tidak memberi suara.
Pemenang belum jelas
Hingga Kamis, proses penghitungan suara hasil pemilu pada Selasa lalu belum selesai. Akibatnya, paling sedikit 74 dari 435 kursi DPR belum diketahui akan diduduki siapa. Sementara itu, dari 100 kursi Senat, masih ada 4 kursi belum jelas pemenangnya.
Masalah kursi di DPR dan satu kursi Senat muncul hanya karena penghitungan belum selesai. Adapun di tiga sisa kursi Senat belum bisa diketahui pemenangnya karena belum ada calon mendapatkan paling sedikit 50 persen suara sah. Karena itu, ada peluang pemungutan suara ulang di Alaska, Georgia, dan Nevada.
Tim kampanye Demokrat dan Republikan di Georgia dilaporkan sudah bersiap pada pemungutan suara ulang. Sementara di Nevada, tim partai masih menanti 16 persen suara yang belum dihitung. Adapun di Alaska, ada pertarungan internal Republikan. Sebab, dua calon teratas sama-sama kader Republikan.
Pertarungan internal Republikan juga mulai terjadi terkait kursi ketua DPR. Ketua Fraksi Republikan di DPR AS Kevin McCarthy telah mengumumkan rencana pencalonan menduduki jabatan itu.
Anggota fraksi Republikan dari Arizona, Andy Biggs, meminta McCarthy tidak jemawa dan tergesa. Sejauh ini, paling sedikit 22 anggota fraksi Republikan sudah berencana menolak pencalonan McCarthy.
Sebelum membahas pemilihan ketua DPR, Republikan harus terlebih dulu memastikan menduduki paling tidak 218 kursi di DPR. Sampai Kamis, Republikan baru mengamankan 207 kursi. (AP/REUTERS)