China Menepis Ketakutan Dunia, tetapi Ada Kerentanan (Bagian 2)
Profesor Yan Xuetong meneliti, kebangkitan dan kejatuhan China terletak pada baik-buruknya moral dan tindakan pemimpinnya. Moralitas itu pula penentu dalam relasi internasional, termasuk kompetisinya dengan AS.

Para anggota baru Komite Tetap Politbiro Partai Komunis China, yaitu (dari depan ke belakang) Presiden Xi Jinping, Li Qiang, Zhao Leji, Wang Huning, Cai Qi, Ding Xuexiang, dan Li Xi, tiba di gedung Balai Agung Rakyat di Beijing, China, 23 Oktober 2022.
---------
PENGANTAR:
China yang semakin maju telah menaikkan derajat ketakutan dunia, setidaknya bagi Amerika Serikat dan sekutunya. Peningkatan kemampuan persenjataan menjadi konsekuensi yang akan terjadi depan. China menawarkan solusi untuk menepis kekhawatiran tersebut. Berikut tulisan kedua dalam dua ulasan secara bersambung.
---------
China yang menguat tidak selamanya memunculkan kekhawatiran bagi semua pihak. Temuan Pew Research Center pada 28 September 2022 juga memperlihatkan China dipandang positif di sejumlah negara di Amerika, Timur Tengah, dan Afrika. Namun, China juga menyadari kekhawatiran sebagian besar negara di dunia meningkat. Oleh karena itu, China mencoba menepisnya dengan beberapa tawaran dan janji.
Presiden Xi Jinping menyatakan di Beijing, 16 Oktober 2022, China yang berkembang dan menguat tidak akan mengejar hegemoni. Ungkapan non-hegemoni ini memiliki makna luas. Intinya, China tidak akan menjadi kekuatan malevolent.
Baca juga : Di Bawah Xi, Militer China Makin Kuat dan Menakutkan (Bagian 1)
Ucapan Xi didasarkan pada opini yang berkembang di China sejak 2013 bahwa perkembangan sebuah negara tergantung pada pemimpin dan perilakunya, bukan pada kekuatan negara secara ekonomi dan militer. Kekuatan negara dan kelanggengannya adalah resultante dari kepemimpinan yang baik dan bijak.
Atas dasar inilah China mengatakan tidak meyakini teori power politics. Teori ini, antara lain, menyatakan bahwa semakin kuat sebuah negara semakin kuat pula godaan menjadi anarkis. Kepemimpinan baik dan bijak tidak akan anarkis sebab hal itu akan menjatuhkan dirinya. Demikian prinsip China.

Xi Jinping (tengah), saat menjabat Wakil Presiden China, menendang bola dalam kunjungan ke Croke Park, Dublin, Irlandia, 19 Februari 2012.
Buku “Leadership and the Rise of Great Powers” pada 2019 karya Profesor Yan Xuetong dari Universitas Tsinghua menjadi acuan di balik moto kebijakan luar negeri China. Yan mengutip pakar internasional AS, seperti Hans Morgenthau dan Stephen Walt, yang menyinggung pentingnya unsur moral dalam politik internasional.
Morgenthau dan Walt meyakini dasar teori power politics. Bedanya, walau meyakini eksistensi power politics, Yan tetap menekankan bahwa kebangkitan dan kejatuhan negara tetap terletak pada eksistensi pemimpin dan perilakunya.
Baca juga : Beijing Banggakan Demokrasi ala China, Kecam Demokrasi AS
Ia meneliti naik dan jatuhnya para pemimpin China berdasarkan pada baik buruknya moral dan tindakan pemimpin. Hal serupa juga ia amati dalam dunia internasional bahwa langgeng tidaknya kekuatan dan pamor sebuah negara tergantung pada pemimpin dan perilakunya.
Persaingan dengan AS
Yan mencontohkan pamor AS yang kian runtuh di bawah Presiden Donald Trump karena perilaku. Di bawah Presiden Joe Biden, AS lebih berwibawa. Akan tetapi, Yan melihat Biden lebih visioner soal geopolitik berbasis power politics.
Baca juga : Hasrat Donald Trump Meniru Xi Jinping
Masalah utama China sekarang adalah AS, termasuk di bawah Biden. Isu hak asasi manusia dan nilai-nilai ideologi digunakan Biden sebagai alat geopolitik penyebab ketegangan dengan China. Beberapa kalangan di China enggan menerima ketegangan dan berbicara terlalu banyak tentang kerja sama dengan AS.
“Di China banyak yang percaya bahwa dengan menolak persaingan, ketegangan akan hilang,” kata Yan, seperti dikutip The South China Morning Post, 3 Desember 2020. Masalahnya menurut Yan, “AS tidak bisa menerima China sebagai mitra setara, tetapi China menuntut kesetaraan.”

Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Donald Trump menghadiri upacara penyambutan di gedung Balai Agung Rakyat, Beijing, China, 9 November 2017.
Maka Yan mengatakan, China harus mencapai konsensus dengan AS bahwa kompetisi adalah hal inti dalam hubungan mereka. Ini akan membuat AS-China menemukan dasar untuk diskusi pragmatis tentang bagaimana mengelola dan mencegah ketegangan menjadi perang.
Sejarah kepemimpinan domestik
Dalam relasi internasional, termasuk dalam kompetisi dengan AS, Yan meyakini moralitas tetap jadi pegangan. Hal ini didasarkan pada kasus empiris domestik China dan sejarah kepemimpinannya.
Yan mendasarkan kesimpulannya tentang peran pemimpin China berbasis tulisan-tulisan filsuf Konfusius, seperti Mencius, Xunzi, Guanzi, dan lainnya. Intinya adalah jatuh bangunnya China tergantung pada baik tidaknya pemimpin dan perilakunya.
Baca juga : Xi Jinping Berambisi Menjadikan China Sangat Kuat Sebelum Penduduknya Menua
Prinsip serupa kini dicoba diterapkan dalam posisi China untuk misi internasional. Langgeng tidaknya posisi China dalam kepemimpinan internasional juga tergantung pada pemimpin dari perilakunya. Sekarang China sudah menanjak lagi ke dalam kancah kepemimpinan internasional.
Soal kepemimpinan internasional China ini juga bukan hal baru. Konsep zhongguo atau Middle Kingdom, sebagaimana China menyebut dirinya, tidak melulu bicara tentang geografi. Hal itu implisit menyatakan bahwa China adalah pusat budaya, politik, dan ekonomi dunia.
Pandangan Sino-sentris ini dengan banyak cara telah membentuk pandangan China tentang pengelolaan global, termasuk di dalamnya soal pentingnya aturan, norma, dan lembaga yang mengatur kerja sama internasional. “Walaupun China tidak pernah membangun imperium global yang sebenarnya,” demikian dituliskan dalam situs Council on Foreign Relation.

Menteri Luar Negeri AS Hillary Rodham Clinton menjamu Wakil Presiden China Xi Jinping di kantor Departemen Luar Negeri AS di Washington DC, AS, 14 Februari 2012.
Dan bagi Yan, sebuah negara bukan pemimpin jika tidak ada pengikut atau pendukung, baik domestik maupun di tingkat internasional. Dengan sendirinya berdasarkan nilai-nilai tradisional, China mendukung posisi kuatnya di tingkat internasional dan ikut memiliki suara di dunia internasional. Para filsuf Konfusius, hal itu juga menyinggung terminologi kepemimpinan internasional, termasuk Guanzi.
Kepemimpinan global
Lalu bagaimana China membuat dirinya menarik bagi dunia internasional dan menjadi pemimpin? Pesan Yan: “Jadilah pemimpin baik dan bermoral.” Namun, lanjut Yan, untuk itu China tidak perlu lelah membujuk atau merayu dunia internasional agar didukung. Jika China menunjukkan perilaku yang baik dan benar, dunia dengan sendirinya tertarik mengikuti China.
Yan dalam diskusi mengenai bukunya, 24 Juni 2019, mengatakan bahwa China tidak perlu menabuh kesepakatan umum, tetapi cukuplah menabuh kesepakatan dari mayoritas. Sebab dunia begitu beraneka ragam dengan nilai, ideologi, dan dihuni 7 miliar penduduk. “Tidak mungkin China menarik simpati dari seluruh warga dunia,” kata Yan.
Pernyataan Yan itu juga implisit menyebutkan bahwa China menerima nilai dan ideologi lain. Koeksistensi adalah istilah mujarab China tentang itu. Akan tetapi, juga sekaligus China tidak menghendaki pemaksaan ideologi lain terhadapnya.
Baca juga : Benarkah China tidak Akan “Bully” Negara Lain?
Yan tidak hendak mengatakan bahwa sejarah China bersih dan jernih soal kepemimpinan. Ada juga sejarah kekejaman kepemimpinan di China. Yan mengingatkan, dunia internasional sarat dengan perang untuk menyebarkan ideologi, kemudian terjebak perang untuk menegakkan kepentingannya. Terjadi perang juga karena satu negara merasa lebih bermoral dan berhak menekan negara lain yang dianggap tidak bermoral.

Presiden China Xi Jinping berpidato seusai menghadiri upacara pemeriksaan armada Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China di Laut China Selatan, 12 April 2018.
Benturan peradaban yang dituliskan Samuel Huntington, menurut Yan, dipicu karena satu peradaban merasa lebih unggul terhadap peradaban lainnya. Perang di dunia juga terjadi karena godaan kekuatan, yang membuat satu negara menyerang negara lain.
Baca juga : Presiden Xi Jinping: Jangan Ada Perang Dingin di Indo-Pasifik
Akan tetapi, kesimpulan akhirnya adalah tidak ada kelanggengan kekuatan satu negara, termasuk karena keberadaan pemimpin yang tidak bermoral yang diterjemahkan ke dalam tindakannya. Ada godaan untuk anarkis atau tidak, semua tergantung pada pemimpin dan moralnya. Menjaga diri dan menjaga perangai, itulah pesan yang ditekankan Yan.
Sepak terjang Xi
Semua itu tampaknya dijadikan Xi Jinping sebagai pegangan. Ia melakukan ekspansi bisnis, termasuk dengan meminta pebisnis China melakukan investasi di luar negeri. Hal itu diterjemahkan juga dengan penyebaran pembangunan lewat kebijakan Satu Sabuk Satu Jalan atau One Belt One Road (OBOR) yang kemudian diubah menjadi Belt and Road Initiative (BRI).
Xi aktif terlibat dan dalam kerja sama internasional, termasuk bersedia berada di dalam satu kelompok dengan Amerika Serikat, hingga ingin terlibat latihan militer bersama dengan Amerika Serikat. Hal ini ditolak AS terus menerus, tetapi Xi tidak pernah berhenti menyuarakan win-win solution, common prosperity.
Saat menjabat sebagai Presiden Bank Dunia, Jim Yong Kim, pada 1 November 2018 memuji peran global China. “Dengan bantuan China, kami akan… membantu banyak negara meraih kemakmuran lebih besar,” kata Jim, yang mundur dan mendapatkan banyak tekanan dari AS.

Seorang perempuan di atas sepeda motor listriknya mengambil gambar layar televisi besar di luar sebuah pusat perbelanjaan yang menampilkan Presiden China Xi Jinping di tengah perayaan 100 tahun Partai Komunis China di Lapangan Tiananmen, Beijing, China, 1 Juli 2021.
AS dan Barat curiga bahwa aksi China adalah memasuki kepemimpinan dunia dengan cara halus atau menipu, lalu kemudian akan menerkam jika sudah kuat. Yan tidak terlalu hirau dengan kecurigaan itu. Basisnya adalah tetaplah sebuah negara, dalam hal ini China, memiliki pemimpin dengan moral. Biarlah waktu yang membuktikan dan biarlah dunia itu sendiri yang merasakan baik tidaknya China.
Langkah China itu tidak sia-sia. Menurut Pew, Singapura dan Malaysia China dipandang positif, kontras dengan Barat. Saat beberapa kalangan Asia, seperti Jepang dan Taiwan, tidak menyukai China, Beijing tidak berhenti mengajak kolaborasi. China melakukan hal itu dengan membiarkan Jepang menikmati kolaborasi ekonomi. China membiarkan Taiwan menikmati relasi ekonomi bilateral sampai kapanpun.
Baca juga : Dua Wajah Diplomasi China
China mengejar kepemimpinan dunia, bukan karena kekuatan persenjataan. China mengejar peran dunia dengan menabuh simpati dunia lewat apa yang mereka merasakan tentang China, bukan karena China yang hebat secara ekonomi dan militer.
“Bagi China, hal terpenting bukan seberapa hebat China dalam konteks persaingannya dengan AS, bukan seberapa hebat ia kuat di tingkat dunia, tetapi seberapa banyak perannya menolong negara yang kurang maju,” demikian Yan mengutip Guanzi. Prinsip itulah, menurut Yan yang mengutip Guanzi, menjadi penentu bagus tidaknya China sebagai pemimpin dunia.
Rambu-rambu
Pertanyaan kemudian adalah bagaimana China atau Xi Jinping mempertahankan moral dalam kepemimpinannya. Jika semakin kuat, seberapa kuat China menahan godaan agar tidak anarkis terhadap negara-negara tetangga. Atau jika jabatan Xi berlalu kelak, seberapa kuat kepemimpinan China berikutnya melanjutkan falsafah moral.
Inilah yang menjadi gugatan John Mearsheimer dari University of Chicago yang menyatakan bahwa kekuatan besar dunia itu tertakdir anarkis. “Bagaimana menjaga moral itu, inilah yang harus dielaborasi oleh Profesor Yan dalam konteks politik internasional,” kata Amitav Acharya, Profesor Hubungan Internasional pada American University, Washington.

Wakil Presiden China Xi Jinping dan Wakil Presiden AS Joe Biden memperlihatkan kaus bertuliskan pesan yang ditujukan untuk para siswa International Studies Learning School di Southgate, di luar Los Angeles, AS, 17 Februari 2012.
Menurut Acharya, meski menarik, buku Yan lebih berbicara tentang politik domestik China dan lebih merupakan pesan kepada pemerintah China. Bagaimana China bermoral secara internasional dan dalam kaitannya dengan relasi internasional, hal itu sangat penting dielaborasi, kata Acharya.
Apakah pemimpin baik nihil ketegasan? Bagaimana menerjemahkan ketegasan ini agar tidak menimbulkan keengganan dunia mendekat ke China? Masalahya, China telah meninggalkan falsafah Deng Xiaoping dengan prinsip “sembunyikan kekuatanmu dan saatnya akan berbicara”.
Lihat juga video : Evolusi China, Negara Berpaham Komunis yang Kini Menguasai Dunia
Apa maksud China dengan “saatnya berbicara” ini. Dan kini Xi telah memerintahkan para diplomat China untuk lebih tegas bersikap. Sejauh mana batas sikap tegas itu agar tidak memicu serangan dari luar atau tidak memicu China menyerang negara lain secara perang fisik.
China kini tampaknya membahana di banyak negara lewat kekuatan ekonomi. Mantan Wapres AS Mike Pence menyebut sikap itu adalah jeratan halus di depan. Bagaimana China menghindari kekuatan ekonominya agar tidak menjadi jeratan bagi negara lain. Bagaimana China berperilaku ketika balance of power tidak eksis di depan? (REUTERS/AP/AFP) -- SELESAI