Xi Jinping Berambisi Menjadikan China Sangat Kuat Sebelum Penduduknya Menua
Sejak berkuasa pada 2012, Presiden Xi Jinping mencanangkan program peremajaan guna meraih "impian China" menuju kebesaran dan kejayaan negeri itu. Ia ingin mewarnai peremajaan lewat frasa “impian dengan cita rasa".
Menundukkan China atas nama “demokratisasi”. Itulah salah satu akar perjuangan lama AS dan Barat. Upaya penaklukan ini berlanjut hingga kepemimpinan Presiden Joe Biden. Tiada hentinya AS mengajak sekutunya bertandem menaklukkan China. Akan tetapi, banyak alasan untuk menyatakan mustahil menundukkan China seperti zaman dulu. China tidak berstatus paria lagi.
Biden mustahil menaklukkan China apalagi saat negara itu di bawah kepemimpinan Xi Jinping. Tidak akan ditoleransi lagi, misalnya, penembakan pesawat China oleh AS pada 2001 yang juga berlalu tanpa balasan. Gangguan dalam bentuk kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan saja sudah cukup menghebohkan. Dan dunia juga turut mengecam aksi Pelosi.
Perubahan peta kekuatan geopolitik dari unipolar ke multipolar telah menuntut perubahan paradigma kebijakan luar negeri AS. Dan dengan nasionalisme tinggi Presiden Xi sedang mengusung “peremajaan China” (rejuvenation) untuk membuat fondasi negara semakin kuat. China melihat ada kesempatan untuk melebihi kekuatan manapun di dunia ini.
Baca juga : Kongres PKC dan Tantangan bagi Presiden Xi Jinping
Mungkin atas alasan itu juga Xi meninggalkan tradisi penyerahan estafet kepemimpinan pada figur yang sudah dipilih pemimpin sebelumnya. Dalam tradisi itu, pola penunjukan pemimpin baru bukan oleh pemimpin petahana, tetapi oleh pemimpin sebelumnya.
Jika Hu Jintao adalah pilihan Deng Xiaoping, dan Xi Jinping pilihan Jiang Zemin, pemimpin selanjutnya seharusnya adalah pilihan Hu Jintao dengan masa kepemimpinan 10 tahun. Tampaknya pada Kongres Partai Komunis China yang berlangsung 16 Oktober 2022 nanti, Xi masih melanjutkan kekuasaannya.
Pesan estafet
China bukan negara dengan pemimpin yang dipilih rakyat. Barat boleh gelisah dengan itu karena akan menggagalkan postulat Francis Fukuyama lewat bukunya, The End of History and the Last Man, terbitan 1992 yang mengangkat salah satu tema bahwa dunia akan dipimpin secara demokratis. China unik dan punya caranya sendiri dalam memilih pemimpin dengan penunjukan berbalut persetujuan Kongres Partai Komunis China.
Baca juga : China Menuju Negara Sosialis Modern
Sejarah menunjukkan, pemimpin China menyampaikan pesan estafet tentang bagaimana negara dikembangkan lebih lanjut. Ketika Deng Xiaoping memimpin, ia telah mencanangkan kepada penggantinya, Jiang Zemin, bahwa China harus mengubah pertahanan militer yang dulunya lebih fokus pada pertahanan diri menjadi kekuatan blue navy.
Deng meninggalkan doktrin pertahanan Mao Zedong, yang menekankan pertahanan domestik dan kedaulatan wilayah. Dalam diskusi panjang Deng dengan Jiang, pengembangan kekuatan maritim menjadi salah satu fokus. Pengembangan ekonomi menjadi pilar di balik semua itu.
Hal tersebut dituliskan Sherman Xiaogiang Lai dalam artikelnya di Journal of Military and Strategic Studies, edisi 4, 2016, berjudul “Tantangan China Pasca Perang Dingin dan Kelahiran Strategi Militernya Saat Ini”. Sherman adalah pensiunan tentara China yang bermigrasi ke Kanada dan menjadi pakar militer.
Progam peremajaan
Bukan tidak mungkin Jeng mengestafetkan pesannya kepada Xi. Maka tidak heran program peremajaan China sudah dicanangkan oleh Xi sejak berkuasa pada 2012, menggantikan Hu Jintao. Gambaran makro tentang program peremajaan China itu dituliskan di situs People’s Daily, edisi 20 Mei 2014, berjudul “The taste of Chinese dream”. Xi menyebut peremajaan China itu telah menjadi “impian China” untuk merealisasikan kebesaran dan kejayaan China.
Di dalam program peremajaan itu termasuk pengukuhan wilayah China yang diwariskan Dinasti Qing, yakni penyatuan wilayah China yang disebut Barat sebagai wilayah “proper China”, yakni Manchuria, Mongolia, Xinjiang, dan Tibet. Di dalam wilayah “proper China” dengan mayoritas suku Han, termasuklah Makao, Hong Kong, dan Taiwan.
Baca juga : Demistifikasi China
Wilayah “proper China” ini menjadi dasar bagi China untuk merebut kembali Kepulauan Senkaku dari Jepang yang dinamai China sebagai Kepulauan Diaoyu. Berbasiskan wilayah “proper China” juga, China bertekad mengukuhkan pengaruh di Laut China Selatan, menurut Bill Hayton dari Asia-Pacific Programme di Chatham House. Hayton, yang juga wartawan BBC, menuliskan hal itu dalam bukunya berjudul The Invention of China (Yale University Press, 2020).
China tidak menutup diri untuk bernegosiasi dengan negara-negara yang bersengkata terkait Luat China Selatan. Akan tetapi prinsip China jelas, pihak asing (terutama AS) jangan masuk ke koridor tersebut. Negosiasi hanya antara China dengan negara-negara yang bersengketa di wilayah itu.
Untuk wilayah lain, di luar Laut China Selatan, bagi China tidak ada yang perlu diperdebatkan: semuanya utuh milik China. “China berjuang hingga akhir jika ada pihak yang mencoba memisahkan Taiwan dari motherland,” kata Menhan China Jenderal Wei Fenghe pada Shangri-La Dialogue di Singapura, 13 Juni 2022.
Peremajaan China terkait keutuhan wilayah itu dipicu jatuh bangunnya China pada era modern, terutama pada akhir era Dinasti Qing pada 1912. China melihat dirinya terjerembab dari status negara makmur menuju kemerosotan serta menderita akibat rentetan penaklukan oleh asing.
Xi bukanlah tokoh preseden dalam isu peremajaan China. Program peremajaan China sudah pernah dicoba pada era Dinasti Qing lewat Haiguotuzhi (publikasi tentang pengetahuan akan dunia luar China), Westernization Movement (penguatan diri), Wuxu Reform (Reformasi 100 Hari), “Pengembangan Internasional China”, dan lain-lainnya. Program peremajaan itu gagal karena banyak kesulitan pada akhir era Dinasti Qing.
Baca juga : China Bersiap Terima Resolusi Xi Jinping
Partai Komunis China, yang mewarisi kekuasaan Dinasti Qing, merasa memiliki kewajiban untuk meremajakan negara lewat jalur sosialisme dengan karakter China. Negara ini tidak pernah melupakan jatuh bangunnya bangsa mereka selama 100 tahun hingga berdirinya China sebagai negara pada 1949. “Orang China mengidap perasaan campur aduk atas kebangkitan dan kejatuhannya,” demikian People’s Daily memotret niat Presiden Xi.
Nasionalisme tinggi
Kekukuhan Xi pada peremajaan negara didasarkan pada rasa nasionalismenya yang tinggi. Nasionalisme Xi juga bukan tanpa preseden. Faktor nasionalisme juga dimiliki tokoh-tokoh China sejak dulu kala. Ketika Dinasti Qing memudar pada akhir abad ke-19 dan dianggap lemah menghadapi penaklukan Barat, pemberontakan demi pemberontakan terhadap dinasti menguat. Salah satu pemimpin pemberontakan terhadap aristokrat China adalah Sun Yat Sen, didasarkan pada aspirasi nasionalisme.
Era penaklukan Jepang hingga penaklukan oleh koalisi delapan negara asing atas China di penghujung Dinasti Qing tidak mengubah karakter nasionalisme China. Meski China retak sejak akhir Dinasti Qing, ada saja tokoh-tokoh nasionalis yang bermunculan.
Deng Xiaoping adalah salah satu contoh lain tokoh nasionalisme China yang kukuh dan berpikir visioner. Ia memiliki moto “sembunyikan kehebatanmu, teruskan upayamu dan ketika saatnya tiba, nyatakan eksistensimu.” Deng Xiaoping sangat visioner dengan mengusung gerakan nasionalisme yang menghindari kritikan verbal terhadap asing.
Deng memulai peremajaan dengan reformasi ekonomi, yang menghadapi tantangan dari faksi Mao Zedong. Namun, Deng kukuh dan baru bereaksi kuat setelah kepergian Mao. Ekonomi mulai menguat dan perlahan memulihkan kedaulatan China dengan mengambil alih Makao dan Hong Kong.
Belajar dari sejarah
Di bawah Presiden Xi, program peremajaan juga dilakukan dengan melihat sejarah. China misalnya, menyadari kejatuhan Dinasti Qing adalah juga akibat persoalan internal, termasuk akibat korupsi dan pergulatan internal di akhir kekuasaan Dinasti Qing.
Untuk itu, Xi mewarnai program peremajaan China lewat frasa “impian dengan cita rasa”. Ia menjabarkan cita rasa tersebut. Ia mengatakan, karena pahitnya sejarah “dipermalukan” oleh asing, China rindu pada manisnya sebuah kebanggaan dan kebangkitan. Rasa rindu dan rasa manis itu ia sebut sebagai bagian dari cita rasa.
“Manis adalah rasa dari peremajaan dan juga rasa dari impian China… Rasa manis ini tertancap dalam impian dan sanubari China. Rasa ini membara siang dan malam. Tidak ada yang pernah lupa akan hal itu,” kata Xi.
Baca juga : Beijing Bersolek di Tengah Rumor Kudeta
Apa itu rasa manis? “Itu adalah kemerdekaan bangsa, kemakmuran bangsa, dan militer yang kuat. Kehidupan yang bahagia dan harga diri yang tinggi,” lanjut People’s Daily merepresentasikan visi Xi.
Ditambahkan, dalam perjalanan menuju rasa manis, China harus mengecap dua rasa lain juga. Satunya adalah sea water (air laut). Untuk itu, China menekankan tugas untuk membangun sebuah kekuatan besar di lautan. China harus berjuang untuk masa depan yang besar.
“Menjadikan China sebagai kekuatan maritim, tidak hanya bertujuan melindungi negara, tetapi juga mengubah teritori negara penyerang sebagai ajang perang… China menjadikan kasus pengalaman dipermalukan dulu kala oleh Jepang sebagai penguat ambisi menuju kekuatan maritim, mengingat Jepang bukan negara normal dan mengarah ke militeristik,” demikian kantor berita Xinhua dalam edisi 17 April 2014.
Rasa lain yang juga harus dikecap China adalah rasa keringat. Rasa ini diucapkan Xi untuk mengingatkan bahwa semua impian akan menjadi kosong semata jika tidak diikuti aksi. Harus ada aksi dengan peluh. “Jika tidak ada aksi, ucapan kosong akan melukai negara itu sendiri, kerja keras adalah aksi untuk peremajaan bangsa. Hanya aksi yang bisa mendukung impian China,” kata Xi.
Realisasi “Impian China” tidak didasarkan pada omong kosong (empty talk). Kebahagiaan harus didasarkan pada kerja keras. Reformasi dan pembukaan diri adalah sebuah kerja keras, penanganan krisis keuangan juga sebuah kerja keras.
Baca juga : Kurikulum Xi Jinping dan Kontrol Ideologi China
Mudah bagi satu negara kuat untuk menjadi lemah, tetapi tidak mudah untuk bangkit dari posisi lemah. Upaya saksama dan cucuran air mata, keringat dan air laut, eksplorasi pahit manis dan proses tersulit adalah jalan menuju impian China. Hanya karya solid yang menciptakan “Shenzhen Miracle” dan status China sebagai perekonomian terbesar di dunia.
Langkah lain peremajaan
Di bawah Xi, peremajaan itu bukan hanya bertujuan mengangkat status China di mata dunia. Peremajaan itu juga termasuk dengan menangani para pejabat korup China. Kantor berita Xinhua pada 17 November 2017 menyebutkan, era Xi adalah era paling serius dalam membabat korupsi sepanjang sejarah China berada di bawah kekuasaan Partai Komunis.
Peremajaan China di bawah Xi menyangkut nilai-nilai. Jika China di bawah Deng, Jiang, hingga Hu Jintao mendewakan pertumbuhan, Xi mendalaminya dengan pembangunan ke pedesaan. Xi juga menegakkan etika para elite China, khususnya orang kaya baru, agar berperangai baik di hadapan publik. Xi Jinping tidak segan meredam konglomerat kuat sekalipun jika itu dianggap menjadi saingan bagi negara. Xi tidak ingin ada fenomena negara dalam negara, semuanya harus tunduk.
Baca juga : Jack Ma Dipaksa Lepas Sepenuhnya dari Ant Group
Di dalam peremajaan itu, China di bawah Xi juga melangkah dengan inovasi teknologi yang kini menakutkan pesaingnya. China telah berubah dari basis produksi manufaktur global menjadi negara sains.
Di bawah Xi, China terus beranjak menjadi negara kuat di sektor manufaktur dan sains. Penduduk China kini menjadi pasar bagi produk global. Tilmann Galler dari JPMorgan Asset Management menyebutkan prospek China tetap kuat (CNBC, 13 Juni 2022). Sepuluh perusahaan AS pembuat cip paling banyak meraih untung dari pasar China (Yahoo!Finance, 3 Agustus 2020). PwC biro China menyebutkan bahwa perusahaan multinasional tumpah ruah memanfaatkan pasar China.
Sikap kukuh
Tentu tidak mudah bagi Xi melanjutkan program peremajaan itu, sebagaimana dituliskan kantor berita Xinhua. Ada tantangan dari dalam. Akan tetapi Xi kukuh. Ia disebut sebagai pribadi yang tidak goyah. Kolumnis The York Times, Nicholas Kristof, pada 5 Januari 2013 sudah menuliskan, Xi bukan tipe pemimpin dengan main aman atau takut bermanuver. Xi berani melakukan gebrakan.
Xi juga merasa, waktunya sebagai Presiden selama sepuluh tahun tidak cukup untuk meremajakan China hingga memasuki segala aspek. Ia tidak goyah saat mencanangkan kekuasaan dengan batas akhir yang tidak ditentukan.
Baca juga : Xi Jinping, Presiden Pengabdi Rakyat
Xi masih akan menjadi Presiden setelah 2022, ketika ia seharusnya sudah turun takhta. Ia tampaknya ingin memanfaatkan waktu, sehingga China berhasil menjadi lebih kuat sebelum penduduknya menua. Perkiraan PBB menunjukkan penduduk China akan menua pada 2060 (Daily Sabah, 2 September 2021).
Konsolidasi China di semua lini adalah tujuan yang harus dicapai sesegera mungkin. Itulah dasar bagi perpanjangan kekuasaannya. Publik China sejauh ini juga puas terhadap kinerja Xi. Partai Komunis China melanjutkan peremajaan yang dulu gagal diwujudkan pada era Dinasti Qing.