Benarkah China tidak Akan “Bully” Negara Lain?
“Dominasi, atau keamanan, atau bahaya, atau kehancuran, semuanya ditentukan oleh pemimpin,” demikian Xunzi
China tidak akan merundung atau mem-bully negara-negara lain dan sebaliknya tidak akan mengizinkan negara-negara lain melakukan perundungan setidaknya di Asia Pasifik. Pesan ini disampaikan oleh Presiden Xi Jinping dalam Kongres Partai Komunis China ke-20, Minggu (16/10/2022). Ini menegaskan tema yang sudah disampaikan oleh Sun Yeli, jubir Kongres Partai Komunis China ke-20, Sabtu (15/10).
Selain menolak perundungan oleh negara lain, benarkah China akan menepati janji tak akan merundung negara-negara lain di masa depan? Pesan tentang no-bully mengingatkan momen debat di Beijing, 2 November 2013, antara Profesor John Mearsheimer dari Universitas Chicago dengan Profesor Yan Xuetong dari Universitas Tsinghua.
Baca juga; Perjalanan China Tak Akan Mudah
Xuetong, pakar internasional yang disegani di China, saat itu menegaskan dalam relasi internasional China menekan prinsip moralitas (wangdao). China memilih relasi yang bersahabat peduli serta ramah pada semua negara termasuk Amerika Serikat. China juga menjanjikan diri sebagai negara yang bukan mendikte dan memaksakan kepentingannya.
Dalam debat itu Mearsheimer mengatakan, pilihan China itu akan gagal bahkan janji China itu menakutkan. Sebagai negara dengan kekuatan yang sedang bangkit, China sudah membuat negara-negara tetangga takut. Untuk itulah Jepang, Filipina mendahului inisiatif pembahasan sengketa wilayah. “Tentu pilihan untuk bersahabat dengan tetangga merupakan pilihan strategis bagi China,” lanjut Mearsheimer.
Akan tetapi lanjut Mearsheimer, seiring dengan perkembangan waktu dimana China jauh lebih kuat, China berpotensi menjadi negara yang akan bertindak semena-mena. “Kita paham takdir tragis politik internasional,” kata Mearsheimer. Ia merujuk pada fakta sejarah bahwa dari 16 pertarungan kekuatan geopolitik, 12 berakhir dengan perang. Pemilik kekuatan dunia itu cenderung anarkhis dan semena-mena (power politics).
Mearsheimer meningatkan juga prinsip moralitas yang diusung China. “Kebijakan luar negeri AS dan kaum liberalnya, karena merasa memiliki superioritas moral, membawa AS menebar perang dimana-mana. Mendengar China tertarik pada realisme moral membuat saya khawatir,” kata Mearsheimer.
Baca juga: China Songsong 100 Tahun Kedua
Debat tema serupa antara Mearsheimer dan Xuetong berlanjut lagi pada 17 Oktober 2019 juga di Universitas Tsinghua. Tidak ada yang berubah dalam pandangan dua pakar tersebut.
Menepis teori Barat
Isi debat ini bergema hingga ke Kongres Partai Komunis China ke-20 pada 16 Oktober 2022. “China tidak percaya dengan power politics, dan Thucydides Trap atau narasi bahwa satu negara kuat akan terdorong mencari hegemoni. China tidak akan pernah mengejar hegemoni atau terlibat ekspansionisme,” demikian Sun Yeli.
Tentu, pesan China itu bukan tanpa dasar. China telah dipersepsikan sebagai negara yang menakutkan di balik perlawanannya terhadap AS. Pertarungan dua gajah berpotensi membuat para pelanduk terinjak. Sebagian warga Taiwan dan Jepang makin khawatir dengan China yang menguat. Armada militer China sudah mengidari Jepang, Taiwan dan wilayah-wilayah sengketa dimana dulu China tidak mendaulatnya secara terbuka.
ASEAN tidak luput dari rasa keder karena lanskap Laut China Selatan telah berubah pula. Maka tidak heran jika China menjadikan momen Kongres Partai Komunis China ke-20 sebagai kesempatan untuk meyakinkan negara-negara tetangga Asia.
Baca juga: PKC Tak Beri Ampun Koruptor
Kepada AS, walau negara ini tidak disebut implisit, pesan Presiden Xi adalah, “China menegaskan penolakan segala bentuk hegemonisme dan power politics, mentalitas Perang Dingin, campur tangan di negara lain dan standar-standar ganda.”
Dunia dan China telah menyaksikan AS membombardir Irak, eks-Yugoslavia dan banyak lagi negara di dunia. China diam saat semua itu terjadi dan kini menegaskan penolakan terhadap kasus serupa di masa depan. Tuntutan China pada AS kini, seperti disampaikan Sun Yeli, bahwa relasi internasional terpenting dalam lima dekade ke depan adalah agar China-AS yang berdampingan secara damai.
“Kami yakin bahwa China dan AS memiliki kebijaksanaan, kesempatan dan kemampuan menemukan cara untuk hidup bersama dalam perdamaian,” kata Sun seraya menambahkan hal itu merupakan keinginan dua negara. Hal serupa juga diinginkan komunitas internasional, maka AS-China harus menjaga relasi bilateral yang stabil dan mendorong kerja sama global.
Kepada dunia, Presiden Xi menyatakan China tetap menjalankan kebijakan internasional yang independen. “China selama ini selalu memutuskan posisi dan kebijakan berbasis kemampuannya, dan tetap berjuang menegakkan norma pengaturan internasional dan menjaga keadilan dan keseimbangan internasional,” kata Xi.
Bisakah Asia percaya?
Pertanyaannya, bisakah Asia tenang dan percaya dengan janji China? Penekanan China tentang strategi internasional yang bersahabat rupanya memiliki latar belakang. Pilihan untuk ramah dan bersahabat itu dipegang sesuai dengan wangdao, sebutan bagi penekanan pada prinsip kemanusiaan. Pesan Presiden Xi tersebut tampaknya berbasis pada buku “Leadership and the Rise of Great Powers”, yang dituliskan oleh Profesor Yan Xuetong dan diterbitkan Princeton University Press, 9 April 2019.
Baca juga: Australia dan Negara-negara Pasifik Selatan Bahas Keamanan Kawasan
Dalam wawancara dengan CGTN pada 11 November 2021, Xuetong mengatakan basis kebijakan luar negeri China didasarkan pada prinsip wangdao. Ini tidak saja menjadi kewajiban bagi China tetapi juga wajib dijalankan oleh kekuatan lain yang berpengaruh kuat di dunia.
Dalam buku Xuetong dituliskan, “Penekanan wangdao yang dicanangkan oleh China tersebut memiliki kesempatan kecil untuk dijadikan sebagai tatanan internasional. Akan tetapi dengan kebangkitannya, China memiliki kemampuan untuk menegakkan prinsip kemanusiaan agar dipegang pemangku kepemimpinan global. Prinsip kemanusiaan dalam kepemimpinan domestik, juga diterjemahkan dalam kebijakan luar negeri China.”
China sangat menyadari eksistensinya dalam relasi internasional. Perkembangan pembangunannya tidak lagi semata-mata tentang China itu sendiri tetapi tentang hidup bersama di dunia yang harmonis. China kini menjelma menjadi pelaku aktif dalam tatanan dunia.
China kerap berbicara tentang ketidakadilan dalam tatanan dunia dan pernah menjadi korban humiliation oleh kekuatan dunia. Peran aktif China untuk menulis ulang tatanan dunia yang puluhan tahun dikuasai Amerika Serikat, telah mengubah unipolar menjadi multipolar.
China telah menantang kekuatan unipolar, AS. “Kegagalan negara lain adalah salah Anda juga,” demikian Xuetong merujuk pada posisi China, yang kini terpanggil memiliki tanggung jawab dalam tatanan internasional.
Falsafah Confusius
Keyakinan China pada prinsip wangdao, berbasis pada teori yang dituliskan Xuetong. Ia menuliskan, bangkit atau pudarnya sebuah negara tergantung pada pemimpin dan pola kepemimpinannya. “Dominasi, atau keamanan, atau bahaya, atau kehancuran, semuanya ditentukan oleh pemimpin,” demikian Xunzi, bernama asli Xun Kuang, salah satu filsuf China penganut Confucius yang dikutip Xuetong dalam bukunya. Confucius sendiri merupakan seorang filsuf dengan banyak pengikut.
Kebangkitan, dan kejatuhan negara tergantung pada pemimpin. Falsafah inilah yang mendorong Xuetong menelorkan teori relasi internasional. Namun ia menekannya peran pentingnya pemimpin dan tipe kepemimpiannya.
Teori ini berlaku untuk pemimpin tingkat negara dan tingkat internasional. “Dia yang menjalankan pemerintahan melalui kebajikan akan menjadi seperti Bintang Utara yang menjaga posisinya di antara bintang-bintang lain,” demikian Confucius, dikutip Xuetong.
Kutipan lain dari Xunzi yang mengesankan Xuetong, “Jika penguasa mengikuti contoh raja bijak dan berhubungan dengan pria yang menganjurkan pemerintahan raja bijak, dia akan menjadi raja bijak. Jika dia mengikuti contoh hegemoni dan bergaul dengan laki-laki yang menganjurkan hegemoni, dia akan menjadi penguasa hegemonik.”
Xunzi juga pernah menuliskan, “Menyukai apa yang bermanfaat dan membenci apa yang berbahaya – inilah karakteristik yang dimiliki manusia sejak lahir.” Ini menekankan perbedaan manusia dengan binatang, yang disebut Xuetong dalam bukunya. Agar perbedaan ini dimiliki para pemimpin juga, pesannya.
Untuk mendapatkan pemimpin baik dan bijak, baik tingkat domestik dan internasional, Xuetong menyatakan seorang pemimpin harus mendengar para penasihatnya. Pemimpin tersebut harus menjadikan moralitas sebagai pegangan dan tidak berpura-pura baik tetapi ingin mendikte lewat kekuatan. Xuetong mengutip Mencius, “Otoritas yang manusiawi mempraktikkan kebajikan melalui moralitas sementara otoritas hegemonik berpura-pura bajik tetapi mengandalkan kekuatan.”
Xuetong dalam bukunya memberikan contoh pemimpin gagal di China dan di dunia karena lari dari standar kepemimpinan yang baik. Mao Zedong disebut sebagai contoh gagal, dan Donald Trump dianggap meniru Mao.
Masalahnya adalah, bagaimana China menjaga rambu-rambu moralitas di masa depan? Mearsheimer mengatakan, apa yang dilakukan China sekarang, telah menggambarkan Thucydides trapp (kekuatan baru yang menatang AS). China juga menulis ulang tatanan di kawasan, sebuah ciri khas power politics.
Lagi, menurut Mearsheimer, niat seorang pemimpin tidak bisa diduga. Niat seorang pemimpin di masa depan, karena Xi Jinping misalnya akan digantikan juga kelak, juga tidak bisa diduga. Hal itu bisa mengubah semua patokan yang ada. “Tidak ada yang bisa menduga niat seseorang di masa depan,” kata Mearsheimer dalam berbaga kesempatan.
Apakah China akan tetap bisa memegang patokan moralitas bertahun-tahun ke depan? Inilah yang menjadi masalah. Akan tetapi setidaknya China menawarkan garisan, bahwa pemimpin tak bermoral akan membawa petakanya sendiri dan menghancurkan kejayaan. Jerman, Portugal, Spanyol, Jepang dan AS sendiri memudar, dalam dalam sejarahnya pernah anarkhis.
Pemimpin baik, dalam teori Xuetong, berperan mencegah anakhisme. Demikian pesan penting Xuetong terkait relasi internasional. Inilah yang membuat China menepis teori Barat. (AFP/AP/REUTERS)