Di Bawah Xi, Militer China Makin Kuat dan Menakutkan (Bagian 1)
”Jika Jepang memperkuat pertahanan, kalkulasi China untuk menyerang akan beda,” kata Yasuhiro Matsuda, profesor politik internasional di Tokyo University dan mantan peneliti pada Departemen Pertahanan Jepang.
----------
PENGANTAR:
China yang semakin maju telah menaikkan derajat ketakutan dunia, setidaknya bagi Amerika Serikat dan sekutunya. Peningkatan kemampuan persenjataan menjadi konsekuensi yang akan terjadi depan. China menawarkan solusi untuk menepis kekhawatiran tersebut. Berikut tulisan pertama dalam dua ulasan secara bersambung.
---------
Tidak ada lagi keraguan tentang China yang akan menguat secara militer. Fakta menunjukkan China tidak lagi fokus pada militer untuk pertahanan diri atau wilayahnya. China sudah memperlihatkan bukti nyata sejak Deng Xiaoping mencanangkan kekuatan blue water navy.
Kekuatan blue water navy China ini bukan isapan jempol. Kapal perang AS tidak kuasa melindungi Taiwan saat pesawat-pesawat militer China meraung-raung dekat wilayah Taiwan. Kapal perang China juga sudah tidak segan menyentuh wilayah Jepang.
Jika dikatakan bahwa fenomena saat ini menggambarkan Thucydides trap, yang ditandai dengan kekuatan lama (AS) membendung kekuatan baru (China), apa yang telah dibendung AS? China terus melaju dengan kekuatan persenjataan, tidak lagi semata memproduksi Guam killer—julukan bagi rudal China DF-26. Ada persenjataan baru memakai cip, memudahkan manuver, pengintaian, hingga tombol serang akurat.
Baca juga: China dalam Genggaman Xi Jinping
Jika dikatakan bahwa AS mencoba membendung militer China dengan mematahkannya lewat perekonomian, perang dagang apa yang berhasil dilancarkan oleh Donald Trump? Perang cip dan pembendungan aliran teknologi asal AS ke China sudah dicanangkan Washington pada 1957 lewat foreign direct product rule (FDPR), tetapi tetap tidak bisa membendung Huawei, Xiaomi, dan lain-lainnya.
Jika AS mengajak Eropa membendung China, kekuatan apa yang dimiliki Eropa sekarang ini? Ukraina yang terus-menerus didera Rusia saja, Eropa tidak bisa berbuat apa-apa. Inggris, sekutu terdekat AS, sedang kacau dan sejak 2016 sudah terus-menerus berganti perdana menteri.
Di tengah pemudaran kekuatan-kekuatan lama dunia itu, Presiden China Xi Jinping bertalu-talu menyerukan penguatan ekonomi dan peningkatan blue water navy. Ini tidak diragukan, pasti akan terwujud. Hanya kekacauan domestik China yang bisa menggagalkan rencananya.
Dengan falsafah ”raja bijak” ajaran filsuf Guanzi yang dicanangkan Xi Jinping untuk melanjutkan kekuasaannya, kekacauan apa dari sisi domestik yang akan menghancurkannya? Ia melaju mulus dengan terus memenjarakan para pejabat korup. Ia tidak hanya membendung upaya monopoli bisnis Alibaba milik Jack Ma. Ia memiliki orang-orang dekat dan kepercayaannya di Dewan Negara (State Council), tradisi yang dimiliki Deng Xiaoping, serta setia pada negara dan pemimpin.
Xi tidak selemah Jiang Zemin, yang tidak kuasa menghadapi jatuhnya pesawat tempur China oleh pesawat tempur AS di Hainan pada 2001. Xi juga tidak selemah Hu Jintao, yang di masa pemerintahannya hiruk-pikuk akibat fenomena princeling, sebutan bagi para putra-putri dan menantu pejabat yang berkolusi dan menjalankan praktik nepotisme dengan pebisnis. Princeling tidak berani menampakkan gaya hidupnya pada era Xi.
Baca juga: Drama Satu Babak Hu Jintao
Dulu Deng menggunakan bahasa isyarat saat mencanangkan reformasi ekonomi, seperti ”lompatlah ke laut”, sebutan agar kapitalis berani menjalankan bisnis. Ini pertanda Deng masih takut pada unsur-unsur Mao Zedong. Xi tidak memiliki ketakutan apapun setiap kali ia mencanangkan programnya. Ia merangkul Hu Jintao, yang dia gantikan.
Kekaguman dan pujian
Xi Jinping telah menabuh kekaguman dan pujian. Ia populer di dalam negeri dan melanjutkan masa jabatan ketiga hingga 2027. Dunia tidak meluputkan pengamatan. ”Dunia akan menyaksikan Xi menjalani masa jabatan ketiga. Ia pemimpin terkuat di China sejak Mao Zedong,” demikian laporan BBC edisi 10 Oktober 2022.
Baca juga: Periode Ketiga untuk Xi Jinping
”Militer China tidak lagi peasant army dan telah meninggalkan AS dalam beberapa area penting,” kata Alexey Muraviev, profesor bidang Keamanan Nasional dan Studi-studi Strategis pada Curtin University (Australia), kepada news.com.au edisi 30 November 2021. ”Dari perspektif China, mengamankan domain maritim (lewat militer) menggambarkan dukungan pada perekonomian dan juga kesempatan merencanakan ekspansi,” kata Muravieu.
Namun, sekaligus juga muncul rasa waswas. Jepang adalah salah satu yang waspada. Untuk itu, pada periode 2022 hingga 2027, Jepang akan membangun pertahanan militer terbesar sejak Perang Dunia II untuk mencegah Beijing melancarkan perang di Asia Timur, menurut pejabat Jepang dan analis (Reuters, 19 Oktober 2022). Jepang telah mengidentifikasikan China sebagai musuh pada buku pertahanan 2019 karena khawatir pada postur internasional Beijing, seperti terlihat dari tekanan pada Taiwan.
Baca juga: Antisipasi Ancaman Keamanan, Jepang Naikkan Anggaran Militer Tahun 2021
Jepang melihat modernisasi memberikan ancaman serius. Kegelisahan meningkat sehubungan dengan invasi Rusia ke Ukraina. ”Pemerintah Jepang mendapatkan angin untuk melakukan apa yang bisa dilakukan,” kata Takashi Kawakami, profesor di Takushoku University, Tokyo.
Maka, Jepang menyusun rencana penguatan persenjataan. ”Jika Jepang memperkuat pertahanan, kalkulasi China untuk menyerang akan beda,” kata Yasuhiro Matsuda, profesor politik internasional di Tokyo University dan mantan peneliti pada Departemen Pertahanan Jepang.
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mengatakan, perang bukan lagi sekadar kekhawatiran, melainkan kepastian dengan melihat China yang semakin kuat (Reuters, 12 Oktober 2022). Presiden Xi tidak lagi menunjukkan keengganan dan menampilkan postur, kata Lin Fei-fan, Wakil Sekjen Partai Progresif Demokratik Taiwan. ”Saya melihat ketegangan dalam lima tahun mendatang di selat,” kata Lin.
Baca juga: Tsai Ing-wen: Tak Ada yang Bisa Memaksa Taiwan
Riset Pew Research Center, 28 September 2022, memperlihatkan bahwa warga Jepang, Korea Selatan, AS, dan Eropa semakin khawatir tentang China. Presiden Xi dipandang tidak meyakinkan dalam urusan internasional oleh negara-negara itu karena urusan hak asasi manusia dan kekuatan militer. (REUTERS) -- BERSAMBUNG