ASEAN Kucilkan Lagi Junta Myanmar di KTT Bulan Depan
ASEAN terus mengucilkan junta Myanmar karena tidak ada kemajuan dalam pelaksanaan lima konsensus yang telah disepakatinya dengan para pemimpin ASEAN lainnya.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·4 menit baca
PHNOM PENH, RABU – Kamboja selaku Ketua ASEAN, Rabu (5/10/2022), memastikan bahwa pemimpin junta Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, tidak akan diundang dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Phnom Penh, bulan depan. Upaya pengucilan kepala pemerintahan de facto Myanmar terus dilakukan karena tak ada kemajuan dalam pelaksanaan “lima butir konsensus” yang disepakatinya dengan ASEAN.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah berupaya menyelesaikan krisis politik di Myanmar yang terjadi sejak kudeta militer, 1 Februari 2021. Namun, hanya sedikit kemajuan pelaksanaan lima butir konsensus yang disepakati Hlaing, Ketua Dewan Administrasi Negara (SAC) Myanmar, dengan 10 anggota ASEAN di Jakarta, April 2021.
Kelima butir konsensus itu meliputi penghentian kekerasan, dialog konstruktif para pihak untuk mencapai solusi damai, penunjukan Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar guna memfasilitasi proses dialog, penyaluran bantuan kemanusiaan oleh ASEAN, dan kunjungan Utusan ASEAN ke Myanmar untuk bertemu para pihak yang berkonflik.
Media The Phnom Penh Post melaporkan, juru bicara Kementerian Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Kamboja, Chum Sunry, mengatakan, hanya perwakilan non-politik Myanmar yang diundang.
“Kami telah mengirimkan undangan ke semua negara anggota ASEAN, kecuali Myanmar. Juga kepada Sekretariat Jenderal ASEAN, Mitra Dialog ASEAN kami serta beberapa organisasi regional dan internasional. Kami telah menyampaikan agar Myanmar hanya boleh mengirim perwakilan non-politik,” kata Sunry.
"SAC kembali menolak mengirim wakilnya ke KTT (ASEAN)," ujarnya kepada Reuters.
Di beberapa pertemuan ASEAN sebelumnya, junta Myanmar telah dilarang hadir. Harian The Straits Times mencatat Min Aung Hlaing dan pemerintahan juntanya setidaknya sudah empat kali diboikot ASEAN sejak kudeta, termasuk KTT ASEAN pada Oktober 2021 dan KTT ASEAN-AS, Mei 2022.
Laporan terbaru PBB
Bukan hanya tak menjalankan lima konsensus pemimpin ASEAN, junta Myanmar juga lebih memilih bertindak represif, membunuh warga sipil, dan mengeksekusi para aktivis pro-demokrasi. Kelompok pemantau HAM lokal di Myanmar mengatakan, tindakan represif junta telah menyebabkan lebih dari 2.300 warga sipil tewas.
Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNOCHA), 1 Oktober 2022, disebutkan, lebih dari 1 juta warga Myanmar menyandang status pengungsi. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah seiring makin masifnya kontak senjata antara militer Myanmar, sayap militer kelompok etnis tertentu, dan Pasukan Pertahanan Rakyat Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar.
UNOCHA juga menyebutkan, sebanyak 2.316 warga sipil Myanmar, termasuk di antaranya 188 anak-anak tewas selama konflik pascakudeta. Angka korban yang sesungguhnya, menurut UNOCHA, diperkirakan lebih tinggi.
Sementara itu, junta mengatakan, pemberontakan terhadap kekuasaannya telah menyebabkan hampir 3.900 pendukung junta tewas.
Lima butir konsensus, yang disepakati pada April 2021, menyerukan agar junta segera mengakhiri kekerasan senjata dan membangun dialog antara militer dan gerakan antikudeta. Namun, hal itu tidak diindahkan junta Myanmar. Eksekusi terhadap empat tahanan pada Juli 2022 bertentangan dengan seruan internasional serta menyebabkan kemarahan ASEAN dan komunitas internasional.
Peringatan menlu ASEAN
Pertemuan para Menlu ASEAN pada Agustus berakhir dengan kecaman terhadap pemerintahan junta dan Min Aung Hlaing. Para Menlu ASEAN saat itu menyatakan “sangat kecewa dengan kemajuan yang sangat terbatas dan kurangnya komitmen dari otoritas Naypyidaw untuk implementasi lima butir konsensus secara tepat waktu dan lengkap”.
Banyak pihak menganggap, sejauh ini berbagai upaya ASEAN untuk menyelesaikan krisis di Myanmar belum membuahkan hasil. Bahkan, upaya ASEAN dinilai mengalami kemunduran. Pada KTT ASEAN bulan depan, para pemimpin berusaha mengevaluasi kembali lima butir konsensus dan langkah responsif apa yang akan dilakukan terhadap junta.
Pada Agustus lalu, para menlu ASEAN memperingatkan junta Myanmar agar mengambil tindakan sebelum KTT bulan depan. Setelah mengeluarkan peringatan itu, merujuk Pasal 20 Piagam ASEAN, para pemimpin ASEAN dapat mengambil tindakan tegas kepada junta atas “ketidakpatuhan” terhadap lima butir konsensus.
Keputusan ASEAN biasanya diambil melalui konsensus. Namun, Pasal 20 Piagam ASEAN memungkinkan KTT untuk mengesampingkan prinsip tersebut. Kementerian Luar Negeri Junta Myanmar beberapa waktu lalu telah menyatakan untuk menolak pernyataan ASEAN tentang kurangnya kemajuan dalam pelaksanaan resolusi krisis yang disepakati pada April 2021.
"Myanmar percaya ASEAN dapat mempertahankan kesatuan dan sentralitasnya dalam jangka panjang hanya jika semua negara anggota ASEAN menghormati... kedaulatan dan tidak campur tangan dalam urusan internal anggota”, tambah Kemenlu Junta Myanmar.
Sementara itu, saat berbicara di forum Manila Overseas Press Club, Rabu (5/10), Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr mengungkapkan, ia akan mengusulkan pendekatan baru dalam penyelesaian krisis Myanmar pada KTT ASEAN nanti. Pendekatan baru ini bisa melibatkan pemerintahan militer di Myanmar secara langsung.
"Kini saatnya menempatkan bersama, mengajukan beberapa usulan konkret soal apa yang dapat kita lakukan, setidaknya membawa perwakilan pemerintahan militer ke meja (pertemuan) agar kita bisa memulai membahas hal-hal ini," kata Marcos Jr. (AFP/REUTERS/MHD/SAM)