Para menteri luar negeri ASEAN minus Myanmar sepakat untuk mengambil tindakan lanjutan terhadap junta militer di Myanmar pada KTT ASEAN di Kamboja, November 2022.
Oleh
FRANSISCA ROMANA, DARI NEW YORK, AS, LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
NEW YORK, KOMPAS — Para menteri luar negeri ASEAN bertemu di New York, Amerika Serikat, dan sepakat bahwa tak ada kemajuan signifikan dalam implementasi Lima Poin Konsensus oleh junta militer Myanmar. Perlu ada tindakan lanjutan terhadap Myanmar. Diingatkan, sambil tegas pada Myanmar, ASEAN perlu bersinergi dengan negara mitra wicara agar mereka tak membuat kebijakan soal Myanmar yang merugikan ASEAN.
Di sela-sela Sidang Ke-77 Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB di New York, Menlu RI Retno LP Marsudi menemui mitranya dari negara-negara anggota ASEAN dalam pertemuan bilateral, trilateral, dan pertemuan informal para menlu ASEAN, kecuali Myanmar.
”Tidak ada maksud buruk. Intensi ASEAN adalah mendorong mereka duduk bersama untuk rekonsiliasi nasional. Ini bukan bentuk campur tangan ASEAN terhadap masalah domestik Myanmar,” kata Retno dalam wawancara dengan media di New York, Kamis (22/9/2022).
Dalam pertemuan para menlu ASEAN, Agustus 2022, organisasi itu memberikan tenggat kepada junta Myanmar untuk melaksanakan Lima Poin Konsensus. Sudah hampir 1,5 tahun sejak ditetapkan pada April 2021 di Jakarta, tidak terlihat itikad baik junta melaksanakan konsensus tersebut.
Lima Poin Konsensus ini merupakan kesepakatan langkah penyelesaian krisis di Myanmar. Isinya meliputi penghentian kekerasan, dialog konstruktif para pihak untuk mencapai solusi damai, penunjukan Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar guna memfasilitasi proses dialog, penyaluran bantuan kemanusiaan oleh ASEAN, dan kunjungan Utusan ASEAN ke Myanmar untuk bertemu para pihak yang berkonflik.
Pada Agustus lalu, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen selaku pemegang keketuaan ASEAN tahun 2022 mengingatkan agar ASEAN tidak tersandera oleh isu Myanmar. Ia sudah mencoba berbagai pendekatan, tetapi tanpa adanya kemajuan, ASEAN harus memikirkan langkah selanjutnya guna memastikan junta melaksanakan Lima Poin Konsensus (Kompas, 4 Agustus 2022).
Meski terus mendesak Myanmar, ASEAN perlu berhati-hati mengambil langkah agar tidak kontraproduktif. ”Saya tekankan, kita tak berniat mendepak Myanmar dari keanggotaan ASEAN. Namun, kita perlu menyampaikan prinsip di Piagam ASEAN,” ujar Retno.
Ia menambahkan, isu Myanmar akan kembali dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN pada November 2022 di Kamboja agar ada keputusan apa yang akan dilakukan selanjutnya terhadap Myanmar.
Dalam pernyataan kepada media di New York, Senin, Menlu Malaysia Saifuddin Abdullah mengatakan, ASEAN harus memutuskan apakah memacu pelaksanaan Lima Poin Konsensus atau mengambil langkah selanjutnya atas Myanmar. ”Antara sekarang dan KTT nanti, ASEAN harus mengkaji, Lima Poin Konsensus itu masih relevan atau diganti dengan yang lebih baik,” katanya.
”Saat bertemu November nanti, kita harus mengajukan pertanyaan keras dan kita harus menjawabnya saat itu.”
Bawa ke level global
Dimintai tanggapan soal pertemuan para menlu ASEAN terkait isu Myanmar, Profesor Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Dewi Fortuna Anwar mengatakan, langkah yang harus dilakukan ASEAN ialah membawa persoalan Myanmar ke panggung global sembari membatasi keterlibatan junta.
”Namun, ASEAN jangan seolah melindungi Myanmar dari kecaman global. Justru terus menekan Myanmar untuk menerapkan Lima Poin Konsensus. Kita tak bisa bilang konsensus sudah tidak relevan karena dilaksanakan saja belum,” ujarnya.
Dewan Keamanan PBB mempertimbangkan draf resolusi yang diinisiasi Inggris untuk mendesak junta mengakhiri semua kekerasan, mengakhiri transfer senjata ke Myanmar, dan mengancam diberlakukannya sanksi PBB. Draf resolusi itu juga menyerukan agar Myanmar membebaskan seluruh tahanan politik, termasuk Aung San Suu Kyi; melaksanakan Lima Poin Konsensus; dan memastikan transisi kekuasaan secara demokratis.
Menurut Dewi, ASEAN harus bersinergi dengan negara mitra wicara agar mereka tak membuat kebijakan terkait Myanmar yang melemahkan posisi ASEAN. Ia mencontohkan langkah yang ditempuh oleh Rusia dengan mengirim Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov ke Naypyidaw. Tindakan ini ditafsirkan dunia seolah Rusia mengakui pemerintahan junta Myanmar.
”Di sini sentralitas ASEAN harus dikuatkan. Negara-negara mitra wicara, terutama yang memiliki kedekatan politik, geografis, dan ekonomi dengan Myanmar, seperti India dan China, harus diminta memastikan kebijakan mereka terkait Myanmar tidak melangkahi ASEAN,” katanya.
Retno mengatakan, ASEAN berencana melibatkan negara-negara yang berbatasan dengan Myanmar untuk turut menyelesaikan krisis, antara lain India dan China.
Ketua Departemen Hubungan Internasional CSIS Lina Alexandra mengatakan, Indonesia harus mengambil sikap tegas mengingat pada 2023, RI memegang keketuaan ASEAN. Ia mengusulkan, utusan khusus ASEAN harus diplomat atau pakar resolusi konflik yang melapor kepada menlu sehingga sistem pengawasan dan pembenahan bisa dilakukan. Bukan pejabat teras pemerintah seperti yang dilakukan oleh Brunei Darussalam dan Kamboja, negara pemegang keketuaan ASEAN secara beruntun tahun 2021 dan 2022.
”Indonesia bisa menegosiasikan kepada para anggota ASEAN agar utusan khusus ini tugasnya tetap berlanjut di tahun 2024 dan seterusnya walau keketuaan ASEAN berganti. Tujuannya agar persoalan Myanmar ini ada yang terus mendampingi tanpa terganggu,” ucap Lina.
Dewi dan Lina sepakat, tidak perlu mendepak Myanmar dari ASEAN. Mendepak Myanmar dari ASEAN akan merugikan Asia Tenggara. Jika bukan bagian dari ASEAN, Myanmar mudah dipakai negara adidaya sebagai pangkalan militer.
”Selain itu, kita lupa bahwa pemangku kepentingan di Myanmar bukan hanya junta. Ada rakyat yang di dalamnya mencakup masyarakat sipil, kelompok etnis minoritas, dan kelompok prodemokrasi,” tutur Lina.
Menurut Lina, mengusir Myanmar dari ASEAN sama saja dengan menelantarkan rakyatnya. Padahal, mereka yang paling membutuhkan ASEAN.