Krisis Myanmar bisa berlarut-larut. Sikap keras junta menutup akses ASEAN ke oposisi menjadi sandungan untuk mencari solusi, merusak kredibilitas ASEAN, dan terutama memperpanjang penderitaan rakyat Myanmar.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
NAYPYITAW, SENIN – Junta militer Myanmar bersedia menerima Utusan Khusus Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN guna membahas penyelesaian krisis di Myanmar. Namun, junta mensyaratkan bahwa Utusan Khusus ASEAN tidak boleh bertemu dengan pihak oposisi. Ini mengingkari lima Konsensus ASEAN.
”Kami menerima kritik dan saran yang disampaikan pada Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN pekan lalu. Namun, kami keberatan apabila Utusan Khusus ASEAN mendatangi kelompok oposisi yang jelas-jelas merupakan organisasi teroris,” kata keterangan resmi dari junta militer Myanmar, Senin (21/2/2022).
Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah merespons pernyataan sikap junta itu melalui media sosialnya. Ia meminta agar junta konsisten melaksanakan Konsensus ASEAN.
Apabila Myanmar hendak menyelesaikan persoalannya, menurut Abdullah, Utusan Khusus ASEAN harus bertemu dengan semua pihak. Unggahan ini lantas dibalas oleh Menteri Luar Negeri Bayangan Pemerintahan Nasional Bersatu (NUG) Zin Mar Aung. Melalui cuitannya di Twitter, salah satu tokoh oposisi itu mengutarakan rasa terima kasihnya.
Dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN atau ASEAN Foreign Ministers’ Meeting (AMM), Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi menekankan pentingnya penerapan lima poin Konsensus ASEAN yang dihasilkan di Jakarta pada 2021. Salah satu konsensus itu adalah Utusan Khusus ASEAN dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait, termasuk kelompok oposisi.
Pada saat ketua ASEAN dipegang Brunei Darussalam pada 2021, misi itu gagal dijalankan. Utusan Khusus ASEAN saat itu, Erywan Yusof, gagal menembus Myanmar untuk bertemu semua pihak terkait. Pada 2022, ketua ASEAN beralih ke Kamboja. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen pada Januari berkunjung ke Myanmar dan bertemu dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing yang memimpin junta.
Kunjungan itu tidak atas rekomendasi ASEAN sehingga mengakibatkan kerenggangan pada lembaga, terutama dengan Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Meskipun demikian, kedekatan Kamboja dengan Myanmar diharapkan dapat mendorong junta Myanmar untuk membuka pintu bagi Utusan Khusus ASEAN bertemu semua pihak terkait di Myanmar. Utusan Khusus ASEAN saat ini adalah Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn.
Junta melakukan kudeta pada Februari 2021 setelah mereka kalah dalam pemilihan umum (pemilu) November 2020. Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi memenangi pemilu tersebut. Ia kini ditahan dan tengah menjalani persidangan atas sederet tuduhan, di antaranya tudingan melakukan kecurangan pemilu.
Selama Suu Kyi ditahan, NLD bertransformasi menjadi kekuatan politik baru. Mereka mendirikan pemerintahan bayangan Myanmar di bawah nama NUG yang lengkap dengan menteri serta pejabat pemerintah. NUG ini oleh junta kemudian dicap sebagai organisasi teroris.
Masyarakat Myanmar terus berusaha agar suara mereka didengar meskipun nyawa menjadi taruhan. Dilansir dari The Irrawaddy, kelompok antijunta menyebarluaskan panggilan di media sosial untuk melakukan unjuk rasa pada Selasa (22/2).
Ajakan itu meminta agar pengunjuk rasa memakai topi atau ikat kepala tradisional Myanmar dan memoles wajah mereka dengan bedak dingin yang dikenal dengan istilah thanakha ketika turun ke jalan. Peserta unjuk rasa juga diminta membawa karangan bunga dan berbagai spanduk antijunta.
Kami ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa rakyat Myanmar tidak menerima junta sebagai penguasa. Kami yakin akan kekuatan rakyat.
”Kami ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa rakyat Myanmar tidak menerima junta sebagai penguasa. Kami yakin akan kekuatan rakyat. Di saat yang sama, terlepas dari ajakan unjuk rasa ini, kami memaklumi jika ada warga yang takut turun ke jalan. Tidak apa-apa. Ada banyak cara untuk menunjukkan penentangan terhadap kediktatoran junta,” kata Ko Khant Wai Phyo, salah satu anggota Komite Unjuk Rasa Monywa.
Menanggapi rencana ini, junta telah menyebar ancaman bahwa orang-orang yang terlibat unjuk rasa bisa dijemput paksa untuk ditahan atas tuduhan pembangkangan. Namun, masyarakat diaspora Myanmar, sejumlah organisasi tokoh agama lokal, organisasi kewanitaan, dan berbagai individu menyambut ajakan itu dengan antusias. Pesan-pesan yang beredar antara lain bahwa junta tidak bisa lagi menerapkan teror dan kekejaman untuk mengendalikan rakyat.
Di Den Haag, Belanda, Mahkamah Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa berencana memulai babak mendengar kesaksian dari Myanmar terkait tuduhan genosida terhadap kelompok etnis Rohingya. Sebanyak 730.000 warga Rohingya meninggalkan Negara Bagian Rakhine pada 2017 menuju Bangladesh karena mengalami persekusi dan pembunuhan.
Gugatan terhadap Myanmar dilayangkan oleh Gambia dan didukung oleh negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam Internasional. Sebelumnya, Aung San Suu Kyi yang saat itu masih memimpin Myanmar hadir dalam pengadilan.
Kesaksiannya justru memberi dukungan kepada militer. Akibatnya, publik kehilangan simpati kepada Suu Kyi yang selama ini dianggap sebagai pembela hak asasi manusia.
Mahkamah Internasional belum memberi kejelasan soal pihak yang mereka minta untuk datang bersaksi. Hal yang dikhawatirkan aktivis kemanusiaan ialah apabila Mahkamah Internasional menerima tim pengacara yang disusun oleh junta untuk mewakili Myanmar. Ini sama dengan pengakuan PBB terhadap kekuasaan junta. (REUTERS)