Krisis Myanmar yang sudah berlangsung lebih dari setahun tak kunjung menunjukkan kemajuan berarti. ASEAN sebagai perhimpunan negara-negara kawasan belum efektif karena masih terbelah.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN masih terbelah soal cara penyelesaian krisis Myanmar. Dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, Kamis (17/2/2022), kompromi diupayakan tetapi perbedaan pandangan di antara anggota ASEAN masih berlanjut.
Rapat dipimpin oleh Kamboja selaku pemegang posisi Ketua ASEAN periode 2021-2022. Rapat tersebut tidak mengundang junta militer Myanmar sebagaimana aspirasi Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura. Keempat negara berpandangan, junta baru bisa diundang kalau sudah melaksanakan lima poin Konsensus ASEAN tentang krisis Myanmar.
Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn, yang ditunjuk sebagai Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar, tampak kecewa dengan Myanmar yang tidak sepenuhnya berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. ”Namun, untuk saat ini, kami ingin tetap menghidupkan harapan, untuk terus melanjutkan komunikasi dengan Naypyidaw, terutama harapan untuk menjaga kepercayaan dan keyakinan agar tetap hidup,” katanya dalam konferensi pers.
Junta Myanmar memberi pernyataan bahwa mereka kecewa dengan sikap ASEAN. Namun, mereka tetap akan terus berkomunikasi dengan ASEAN dan anggota-anggota lainnya.
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi, pada pertemuan para menteri luar negeri ASEAN, menyatakan, semua pihak berkepentingan untuk melihat kemajuan yang signifikan atas lima konsensus ASEAN. Hal ini penting untuk rakyat Myanmar, untuk perdamaian dan stabilitas di Myanmar dan kawasan, serta untuk kredibilitas ASEAN.
”Pertanyaan sekarang, bagaimana kita bisa mendefinisikan kemajuan yang signifikan tersebut? Bagi Indonesia paling tidak ada dua parameter,” kata Retno.
Pertama, menghentikan kekerasan. Menghentikan kekerasan tidak sama dengan gencatan senjata. Militer Myanmar harus menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat meningkat menjadi kekerasan, termasuk operasi militer dan penangkapan sewenang-wenang terhadap lawan politik yang telah dicap sebagai kelompok teroris.
Militer Myanmar harus menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat meningkat menjadi kekerasan, termasuk operasi militer dan penangkapan sewenang-wenang terhadap lawan politik yang telah dicap sebagai kelompok teroris.
Kedua, mengizinkan utusan khusus ASEAN untuk mengunjungi dan berbicara dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar. Kedua hal ini, Retno menekankan, adalah langkah awal, sebuah jalan pembuka untuk kerja lebih lanjut guna dialog nasional.
Kesempatan bagi ASEAN untuk memberikan solusi, Retno melanjutkan, mustahil dicapai kecuali semua pihak punya pemahaman yang mendalam terhadap kepentingan seluruh pemangku kepentingan. ”Melibatkan militer Myanmar tak bisa dihindari. Tetapi melibatkan rakyat dan perwakilan mereka lebih penting,” kata Retno.
Dari pertemuan para menteri luar negeri ASEAN itu, sejumlah negara mengemukakan kekecewaan terkait hampir nihilnya perkembangan di Myanmar. Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan mengatakan, pihaknya kecewa karena baik dari Myanmar maupun Ketua ASEAN terlalu lama untuk menerapkan lima poin Konsensus ASEAN.
Adapun Perdana Menteri Kamboja Hun Sen masih membela diri terkait keputusannya mengunjungi Myanmar bulan Januari lalu. Menurut dia, itu menunjukkan upaya Kamboja untuk mengajak junta militer menyegerakan perundingan damai. Jika tidak, bisa-bisa butuh sepuluh tahun untuk menyelesaikan masalah di sana.
Penguatan lembaga
Retno dalam keterangan pers menyatakan, Indonesia pada pertemuan para menteri luar negeri ASEAN juga mengusulkan penguatan kelembagaan ASEAN di kawasan dan global. Konsep ini diterima forum. Adapun penguatan kelembagaan yang dimaksud antara lain menyasar pada upaya ASEAN untuk bisa bangkit dari krisis akibat pandemi Covid-19 sekaligus menyiapkan visi kelembagaan pasca-2025.
Ini bisa dimulai dengan pemulihan ekonomi. Salah satunya dengan menerapkan kesepakatan mengenai koridor perjalanan antar-anggota ASEAN. Penerapannya, menurut Retno, harus diatur lebih lanjut melalui kerja sama bilateral maupun dengan membuka kembali perbatasan negara-negara anggota ASEAN agar penduduk kawasan bisa kembali melakukan perjalanan, baik untuk bisnis maupun wisata. Kuncinya ialah dengan memastikan pelaksanaan protokol kesehatan.
Selain itu, Indonesia pada pertemuan tersebut juga mengusulkan penguatan kerja sama konkret Indo-Pasifik. Usulan yang juga diterima forum ini berangkat dari situasi maraknya rivalitas kekuatan besar dunia.
ASEAN, masih menurut Retno, juga menyiapkan jadwal untuk melakukan pertemuan dengan Amerika Serikat (AS). Sejauh ini, belum ada perkembangan signifikan mengenai hubungan ASEAN dengan AS. Wakil Presiden AS Kamala Harris mengunjungi Singapura dan Vietnam tahun lalu guna mencari dukungan menghalangi pertumbuhan pengaruh China di kawasan. Baik Vietnam maupun Singapura secara formal menyatakan netral.
Survei daring yang dilakukan oleh ISEAS-Yusof Ishak di Singapura terhadap 1.677 responden dari berbagai negara anggota ASEAN mengungkapkan, 76,7 persen responden berpendapat China adalah kekuatan terbesar ekonomi global. Diikuti kemudian oleh AS. Pendapatan ini terutama disampaikan responden dari Filipina, Singapura, dan Thailand.
Meskipun demikian, survei itu juga mengungkapkan bahwa sekalipun mengkhawatirkan menguatnya pengaruh China di kawasan, responden tidak mencemaskan risiko pecahnya konflik China-AS di Asia Tenggara. Responden juga tidak menganggap China akan memberi kontribusi signifikan kepada perdamaian global.
“Melalui penguatan kelembagaan ini ASEAN turut mendorong pengarusutamaan nilai-nilai ASEAN di Indo-Pasifik. Intinya, kita melandaskan segala sesuatu pada kerja sama yang terbuka dan inklusif. Kesejahteraan Indo-Pasifik harus dilihat di semua aspek, bukan cuma di segi keamanan dan pertahanan,” kata Retno. (Reuters)