Penguatan kelembagaan ASEAN, yang didorong Indonesia, secara tak langsung berarti mendorong Myanmar dan Kamboja meningkatkan kinerja dan kapasitas mereka agar sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi ASEAN.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Indonesia mengusulkan penguatan kelembagaan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN. Hal ini bertujuan untuk menjaga reputasi dan kredibilitas ASEAN di kawasan. Selain itu, penguatan kelembagaan tersebut juga menjadi modal utama ASEAN untuk mengambil peranan aktif di Indo-Pasifik dengan mengutamakan pendekatan kerja sama yang terbuka dan inklusif di semua sektor.
ASEAN merupakan kekuatan yang menjaga keseimbangan serta kestabilan di Asia Tenggara selama lebih dari 50 tahun. Namun, pada saat yang sama, patut digarisbawahi bahwa kinerja ASEAN memakan waktu yang lama. ASEAN berprinsip menggunakan musyawarah untuk segala isu. Oleh sebab itu, dalam mencapai kesepakatan mau tak mau butuh waktu berbulan-bulan, bahkan bisa juga beberapa tahun.
Oleh sebab itu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) di Phnom Penh, Kamboja, Kamis (17/2/2022), mengusulkan agar kelembagaan ASEAN diperkuat. Hal ini tidak sebatas penguatan Sekretariat ASEAN, tetapi juga kapasitas kerja 10 negara anggota ASEAN.
”Ini mencakup cara dan kecepatan kerja ASEAN menangani setiap isu yang terjadi di kawasan dan juga menghadapi tantangan global yang semakin kompleks,” kata Retno dalam jumpa pers daring.
Ia menjelaskan, ASEAN berniat untuk mengarusutamakan prinsip-prinsipnya di kawasan Indo-Pasifik. Nilai-nilai tersebut adalah melandaskan hubungan bilateral maupun regional kepada kerja sama komprehensif yang inklusif dan terbuka demi kesejahteraan semua. Bukan sebatas pada isu kekuatan politik dan keamanan.
”Apabila ASEAN ini berperan aktif dan serius di Indo-Pasifik, tentu harus membuktikan kredibilitasnya di kawasan terlebih dulu,” tutur Retno.
Menurut dia, kapasitas ini mencakup isu Myanmar dan Laut China Selatan. ASEAN mendorong agar perundingan kode tata berperilaku di Laut China Selatan segera diselesaikan dan mengacu kepada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Adapun pada isu Myanmar, dibutuhkan peningkatan kapasitas untuk repatriasi warga di Negara Bagian Rakhine.
Dalam konteks ASEAN secara umum, juga harus membangun sistem mitigasi bencana kesehatan, tidak hanya untuk pandemi Covid-19, tetapi juga risiko merebaknya berbagai wabah lain. Caranya, dengan membangun arsitektur kesehatan kawasan untuk membuat sistem peringatan dini dan distribusi bantuan. Selain itu, turut dibangun sistem pemulihan ekonomi regional pascapandemi atau kejadian luar biasa.
Pertemuan para menlu ASEAN itu adalah kegiatan pertama ASEAN di bawah keketuaan Kamboja. Negara ini akan memimpin ASEAN sepanjang tahun 2022. Pembicaraan didominasi isu pemulihan ekonomi, terutama dengan mempercepat penerapan Kerangka Kerja Pemulihan Komprehensif ASEAN (ACRF) dan Kerangka Koridor Perjalanan ASEAN (ATCAF). Isu Myanmar dan Laut China Selatan dibahas, tetapi tidak menjadi sorotan utama.
Hubungan ASEAN dengan Kamboja sempat renggang terkait urusan Myanmar. Pasalnya, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen datang berkunjung ke Myanmar dan bertemu dengan pemimpin junta militer, Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Hal ini dianggap kurang pantas karena seolah Kamboja mengakui pemerintahan junta yang direbut melalui kudeta tahun 2021.
ASEAN secara umum masih mengucilkan Myanmar sampai mereka mau menerima Utusan Khusus ASEAN dan melaksanakan lima poin konsensus pemimpin ASEAN tahun 2021. Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Singapura merupakan anggota ASEAN yang paling vokal menyuarakan keberatan serta mendesak junta menyegerakan pelaksanaan lima poin konsensus itu. Lima poin ini, antara lain, termasuk menghentikan segala kekerasan dan persekusi terhadap warga serta mengizinkan Utusan Khusus ASEAN bertemu dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar.
Manfaatkan situasi
”Persepsi Kamboja ialah agar tetap menjaga hubungan dengan Myanmar dan tidak memadamkan harapan maupun kepercayaan mereka terhadap ASEAN,” kata Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn. Ia juga memegang peranan sebagai Utusan Khusus ASEAN tahun ini.
Peneliti isu ASEAN pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Khanisa Krisman, melihat, dorongan Indonesia untuk meningkatkan kemampuan kerja ASEAN sebenarnya secara tidak langsung menyentil Kamboja dan Myanmar. Penguatan kelembagaan ini tidak hanya pada level pejabat tinggi di Sekretariat ASEAN, tetapi juga membutuhkan kemauan politik setiap negara anggota dan kerja keras masing-masing.
”Otomatis, harapannya ini juga akan membuat Kamboja dan Myanmar berusaha keras mengikuti standar kelembagaan ASEAN. Hampir dapat dipastikan tidak ada anggota ASEAN yang ingin dituduh sebagai penyebab kemunduran lembaga,” ujar Khanisa.
Selain merangkul Kamboja, terkait situasi di Myanmar, anggota ASEAN hendaknya juga memanfaatkan adanya kedekatan PM Hun Sen dengan junta militer Myanmar. Ini bisa menjadi upaya untuk membuka jalan kepada Utusan Khusus ASEAN agar bisa datang ke Myanmar untuk berbicara dengan junta, Pemerintahan Nasional Bersatu (NUG), dan rakyat yang mencakup kelompok-kelompok minoritas.
Jika para pemimpin ASEAN tetap mempermasalahkan tindakan Hun Sen yang telah terjadi, lanjut Khanisa, dikhawatirkan hal itu akan membuat Kamboja dan Myanmar semakin dekat ke China. ”Lebih baik memikirkan setelah kejadian itu semestinya ada langkah yang di luar kebiasaan, tetapi bisa menjadi cara pendekatan yang baru ke Myanmar. Tujuan terpenting tetap pelaksanaan lima poin Konsensus ASEAN,” kata Khanisa. (AP)