Konflik Masih Panjang, Lebih 1,3 Juta Orang Mengungsi
Belum ada titik terang penyelesaian konflik pascakudeta di Myanmar membuat situasi semakin tidak pasti. Jumlah pengungsi terus bertambah seiring konflik bersenjata yang terus berlangsung.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
NAYPYIDAW, RABU – Konflik bersenjata di Myanmar, yang salah satunya dipicu kudeta militer pada 1 Februari 2021, telah mengakibatkan lebih dari 1 juta warga Myanmar menyandang status pengungsi. Jumlah ini diperkirakan terus bertambah seiring semakin masifnya kontak senjata antara militer Myanmar, sayap militer kelompok etnis tertentu, dan Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar.
Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNOCHA) pada 1 Oktober 2022 disebutkan, pertambahan itu mulai terlihat sejak bulan Agustus lalu ketika militer Myanmar (MAF) terlibat pertempuran di Negara Bagian Rakhine dan Chin selatan. pertempuran itu menyebabkan hampir 20.000 warga mengungsi ke berbagai wilayah.
Pada saat yang sama, kebijakan pembatasan pergerakan oleh pemerintah membuat pengiriman bantuan kemanusiaan menjadi lebih sulit untuk mencapai lokasi tempat pengungsi tinggal. Sebagian wilayah yang menjadi tujuan adalah wilayah terpencil yang sulit untuk dijangkau.
Laporan tersebut juga menyebutkan, sebanyak 2.316 warga sipil Myanmar, termasuk diantaranya 188 orang anak-anak tewas selama konflik yang terjadi pascakudeta. Berdasarkan pendataan lembaga-lembaga afiliasi UNOCHA, penggunaan peralatan militer, termasuk ranjau dan sisa bahan peledak mengakibatkan sekitar 206 orang tewas. Korban dari warga sipil itu berjatuhan dalam konflik yang terjadi antara Januari-Juli 2022.
“Banyak daerah yang terkontaminasi ranjau darat dan bahan peledak sisa perang karena pertempuran aktif di wilayah Rakhine dan sejumlah wilayah lainnya. Situasi ini mengancam warga yang hendak mencari lokasi tempat tinggal atau pengungsian yang aman,” tulis laporan tersebut.
Angka korban yang sesungguhnya, menurut laporan UNOCHA, mungkin lebih tinggi. namun karena kendala akses, ketidakamanan dan kendala komunikasi, laporan tersebut menyebut angka itu adalah angka moderat.
Dikutip dari Myanmar Now, salah satu korban ledakan ranjau adalah seorang perempuan bernama Kyi Kyi Win (42) dan putrinya yang baru berusia 12 tahun. Keduanya tewas pada pekan lalu setelah tidak sengaja menginjak ranjau di lahan pertanian di Kota Praja Kanbalu yang mereka lewati, Putra korban yang baru berusia delapan tahun selamat, meski mengalami luka cukup serius.
Salah satu anggota Batalion 3 PDF yang bertugas di Kanbalu mengatakan, militer Myanmar bertanggung jawab atas insiden itu karena mereka diyakini telah menanam ranjau darat di dekat lokasi kejadian.
Dikutip dari laporan UNOCHA, seorang perempuan yang semula tinggal di Kota Praja Mrauk-U menuturkan melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana militer melakukan serangan secara membabi-buta, menembak ke segala penjuru selama kontak senjata. “Itu sebabnya, ketika desa kami dihantam artileri berat di pagi hari, kami melarikan diri,” ujarnya.
Bersama sejumlah warga lain dia melarikan diri ke lokasi pengungsian Ywar Thit Kay tanpa membawa apapun. Meski ada tawaran untuk kembali ke daerah asal, dia mengaku masih belum mau karena khawatir soal keamanan. Dalam catatan UNOCHA, lebih dari 28 ribu rumah tempat tinggal warga di berbagai lokasi di Myanmar, rusak atau hancur selama konflik.
Kesulitan akses dan bantuan
Dalam laporannya UNOCHA menyebut anggaran rencana tanggap darurat kemanusiaan (humanitarian response plan atau HRP) 2022 masih jauh dari harapan. Sampai sejauh ini, jumlah dana untuk program HRP ini baru terkumpul 20 persen dari sekitar 800 juta dollar AS yang dibutuhkan. Pada saat yang sama, dengan jumlah pengungsi yang semakin besar dan tingginya kebutuhan untuk mengirimkan bantuan kemanusiaan, situasi ini cukup mengkhawatirkan.
Kebutuhan terbesar pendanaan adalah untuk pasokan bahan pangan, yaitu sebesar 330-340 juta dollar AS. Kemudian menyusul kebutuhan pendanaan untuk penyediaan air bersih sebesar 140 juta dollar AS, pendidikan sekitar 100 juta dollar AS, kesehatan dan obat-obatan sekitr 80 juta dollar AS dan hunian sekitar 50 juta dollar AS.
Pada saat yang sama, blokade yang dilakukan tentara Myanmar di sejumlah wilayah, seperti di Rakhine utara, telah membatasi pengirjman makanan dan obat-obatan pada para pengungsi. Kebijakan pembatasan pergerakan yang dikeluarkan militer pada 15 September bagi PBB dan LSM internasional, membuat tim kemanusiaan tidak bisa mengakses enam kota utama yaitu Buthidaung, Maungdaw, Rathedaung, Mrauk-U, Minbya, Myebon.
Gangguan ini tidak hanya membuat tim bantuan kemanusiaan sulit mengakses para pengungsi, akan tetapi membuat pasokan bahan makanan bagi warga yang bukan pengungsi juga tersendat. Akibatnya harga kebutuhan pokok di wilayah-wilayah tertentu yang terkurung oleh kebijakan keamanan tersebut melonjak. Upaya PBB untuk mendorong ada pembedaan perlakuan, khususnya untuk pengiriman bantuan kemanusiaan, sejauh ini belum membuahkan hasil.