Jalan Panjang Damai di Myanmar
Lima poin konsensus yang dihasilkan di Jakarta tidak diindahkan oleh junta militer Myanmar. ASEAN harus bersusah payah untuk mencari jalan keluar yang adil, meski harus menempuh jalan berliku.
Kudeta yang dilakukan militer Myanmar, 21 Februari 2021, telah mengakibatkan ratusan ribu warga menjadi pengungsi di negara sendiri. Permasalahan menjadi lebih rumit ketika pengungsi adalah etnis minoritas, yang sejak awal dipinggirkan dalam struktur negara dan sosial Myanmar.
Seorang pengungsi di Myo U Gaung, Distrik Mrauk-U, Rakhine tengah, dikutip dari laman Frontier Myanmar menuturkan, dirinya harus meminjam beras untuk bisa memberi makan keluarganya. “Persediaan beras saya hanya cukup untuk makan sepekan. Jika habis, saya tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk memberi makan mereka,” kata perempuan yang tidak mau disebut namanya itu.
Tidak hanya masalah bahan pangan, dia dan lima anaknya tinggal di kamp pengungsi yang kondisinya porak poranda akibat angin kencang, pertengahan April. Dari 259 tenda pengungsi di lokasi tesebut, 150 di antaranya rusak berat karena angin kencang. “Tidak hanya bantuan bahan makanan, kami juga butuh bahan bangunan untuk memperbaiki tempat penampungan,” katanya.
Baca juga : Menjelang Pemilu, Harapan pada Transisi Demokrasi di Myanmar Meredup
Thae Chaung, penghuni kamp pengungsi di Sittwe, mengatakan, jatah makanan yang mereka peroleh terus menurun sejak kudeta. Selama beberapa bulan terakhir, tutur dia, mereka belum menerima bantuan dari organisasi mana pun. “Banyak pengungsi kelaparan karena kekurangan makanan,” ujarnya.
Situasi senada terjadi pada para pengungsi dari kelompok minoritas Rakhine yang menguni di kamp Kyauktaw, Mrauk-U, Buthidaung, Myebon, dan Kotapraja Ponnangyun. Mereka mengaku tidak lagi menerima dukungan rutin tiap bulan, baik dari junta militer maupun organisasi internasional, selama dua bulan terakhir. Tidak ada kejelasan terhentinya bantuan itu.
Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Myanmar Noeleen Heyzer, dikutip dari situs resmi PBB, mengatakan, komunikasi intensif dengan berbagai pihak, terutama organisasi masyarakat sipil dan organisasi kemanusiaan setempat, telah memberikan gambaran riil mengenai bencana kemanusiaan yang terjadi di negara tersebut. “Perlu akses kemanusiaan segera dan tanpa hambatan untuk semua kelompok tanpa terkecuali, terutama untuk kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Akses yang aman dan tanpa hambatan untuk semua aktor bantuan tidak dapat dinegosiasikan,” katanya, menggambarkan kemendesakan bantuan kemanusiaan bagi warga Myanmar.
Kontra agenda
Sejak pertemuan para pemimpin ASEAN di Jakarta, 24 April 2021, lima poin konsensus yang menjadi “jalan tengah” bagi organisasi ini untuk menyelesaikan konflik di Myanmar tidak kunjung menampakkan hasil. Berbeda dengan Uni Eropa yang memiliki “legitimasi” untuk menekan anggotanya yang bandel, ASEAN dengan prinsip non-intereference tidak mampu memperlihatkan sikap tegas atas situasi yang terjadi di Myanmar. Banyak pihak menilai ASEAN terlalu lambat bergerak.
Lima poin konsensus yang meliputi penghentian kekerasan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya, dialog konstruktif di antara semua pihak untuk mencari solusi damai, penunjukan utusan khusus ASEAN sebagai fasilitator mediasi dan dialog, pengiriman bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus disertai delegasi untuk bertemu semua pihak terkait, boleh dikatakan sama sekali tidak berjalan. Sebaliknya, junta militer Myanmar atau Tatmadaw yang dipimpin Jenderal Senior Min Aung Hlaing menetapkan berbagai syarat sebelum menerapkan lima poin konsensus itu.
Baca juga : Merangkul Kamboja, Menjaga ASEAN
Hlaing, dikutip dari media projunta, The Global New Light of Myanmar, mengatakan, mereka akan mengindahkan keinginan ASEAN untuk menghentikan kekerasan hanya ketika kondisi negara sudah stabil. Selain itu, penerapan lima poin konsensus ASEAN secara luas akan dipertimbangkan apabila sesuai dengan Piagam ASEAN, ASEAN Way, dan Semangat ASEAN, serta kepetingan Myanmar (Kompas.id, 29 April 2021).
Untuk menstabilkan situasi, menurut laporan Fortify Rights, lembaga HAM yang berbasis di Amerika Serikat dan Swiss, yang diluncurkan 24 Maret 2022, menyebutkan, Tatmadaw melakukan pembunuhan, penyiksaan, pemenjaraan, penghilangan paksa, pemindahan penduduk secara paksa, dan penganiayaan untuk mencapai tujuannya. Mengutip data Asosiasi Bantuan Tahanan Politik Burma (AAPP), hingga 10 Mei 2022, sekitar 1.833 warga tewas, termasuk anak-anak.
Baca juga : Memulihkan Marwah ASEAN
Situasi ini membuat resistensi membesar. Sejak akhir Agustus 2021, perlawanan bersenjata dilakukan warga sipil yang ikut serta dalam gerakan pembangkangan nasional. Menurut penjabat Presiden Myanmar, Duwa Lashi, kepada media Perancis, France24, Selasa (10/5/2022), warga sipil bersama-sama kelompok paramiliter etnis, Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), telah menguasai 50 persen wilayah Myanmar.
Lashi mengatakan, jika Hlaing dan pasukannya ingin menciptakan situasi stabil di Myanmar, ada tiga hal yang harus dilakukan, yaitu Tatmadaw harus menghentikan serangan kepada warga sipil dan segera kembali ke barak, militer tidak boleh ikut campur dalam urusan politik kenegaraan, dan harus mengembalikan kekuasan pada pemerintahan yang sah serta dipilih oleh rakyat dalam pemilu November 2020.
Baca juga : ASEAN Masih Terbelah Soal Myanmar
Fleksibel atau keras
Peneliti ASEAN pada lembaga The Habibie Center, Luthfy Ramiz, dalam perbincangan dengan Kompas, Rabu (11/5/2022) mengatakan, harus diakui bersama bahwa ASEAN tidak satu suara dalam menghadapi persoalan Myanmar. Namun, situasi tersebut tidak menutup peluang bagi ASEAN untuk membantu proses penyelesaian konflik di Myanmar.
Luthfy menilai, meski sikap Kamboja selaku Ketua ASEAN 2022 kontroversial karena bertemu langsung Hlaing di Naypidaw, langkah tersebut bagian dari upaya mencairkan situasi yang tegang antara sejumlah negara ASEAN dan junta. Dia menilai, tindakan itu bagian dari upaya membangun kepercayaan antara ASEAN dan junta, walau tidak semua pihak menyepakatinya.
“Kunjungan itu bisa memberi kesempatan untuk berdialog dengan Tatmadaw. Apalagi setelah itu ada keputusan untuk memperpanjang gencatan senjata antara Tatmadaw dan kelompok etnis bersenjata hingga akhir 2022,” kata Luthfy.
Meski begitu, tidak semua sepakat. Mengutip media Myanmar, The Irrawady, gencatan senjata itu hanya bersifat parsial dan dilakukan hanya untuk mengunci gerak Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) dan PDF, yang didukung sebagian besar kelompok etnis bersenjata.
Luthfy mengatakan, usulan pembentukan troika, yang terdiri dari Kamboja, Brunei Darussalam, dan Indonesia, bisa dipertimbangkan sebagai opsi lain dalam kerja-kerja mendukung Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar. Opsi lain adalah pembentukan platform negosiasi seperti ketika ASEAN membantu menyelesaikan konflik di Kamboja-Vietnam. ASEAN bisa memfasilitasi mitra wicara organisasi ini seperti Jepang, Amerika Serikat, Rusia, China, hingga Australia untuk mendukung kerja mereka mencari solusi konflik Myanmar.
Baca juga : Fokuskan Sanksi Pada Junta Myanmar
Jeremie P Credo, peneliti senior Masalah Hubungan Luar Negeri pada Institute Layanan Luar Negeri Filipina, dikutip dari buletin Counterpoint Southeast Asia Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew edisi Mei 2022 mengatakan, ASEAN harus membuka peluang dialog dengan NUG yang selama ini terlihat terpinggirkan. Selain membentuk forum dialog dan negosiasi yang lebih inklusif, hal ini juga menantang legitimasi kekuasaan junta.
Credo mengatakan, tidak ada salahnya bagi ASEAN untuk bersikap lebih tegas terhadap junta bila mereka tidak mengindahkan isi lima poin konsensus. Sikap junta yang menolak untuk melaksanakan isi lima poin konsensus, bila perlu, dibalas dengan menangguhkan keanggotaan Myanmar pada organisasi ini.
Pada saat yang sama, ASEAN, menurut dia, juga harus mendorong agar posisi Utusan Khusus ASEAN tidak bergiliran sesuai dengan negara yang menjabat keketuaan ASEAN. Akan tetapi, perlu penjabat khusus dengan masa kerja tertentu dan disertai target tertentu yang setiap waktu bisa dikaji ulang pencapaiannya.
Baik Lutfhy maupun Credo meyakini, permasalahan Myanmar tidak akan bisa diselesaikan dalam waktu singkat.