Merangkul Kamboja, Menjaga ASEAN
Keputusan Kamboja melangkah sendiri menyelesaikan masalah Myanmar mengulangi sejarah satu dekade lalu. Indonesia dan negara yang sejalan harus merangkul Kamboja demi menyelamatkan ASEAN.
Gelagat berbeda telah diperlihatkan Pemerintah Kamboja dengan sejumlah negara anggota ASEAN lainnya ketika mereka menyebut tidak ingin mengisolasi, mengucilkan junta militer Myanmar dari berbagai pertemuan ASEAN. Saat Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina mengisyaratkan pengucilan Myanmar dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN, Oktober 2021 lalu, Kamboja memilih bersikap lain.
Keputusan itu terbukti saat Perdana Menteri Hun Sen - ketika baru saja menerima tugas Keketuaan ASEAN 2022 dari tangan ketua sebelumnya, Brunei Darussalam - terbang bersama Menteri Luar Negeri Prak Sokhonn serta sejumlah pejabat tinggi Kamboja lainnya.
Berbagai pihak menyayangkan tindakan Hun Sen itu. Dalam pandangan Hun Sen, kunjungan itu merupakan tindakan wajar dalam kapasitasnya sebagai tetangga yang baik. Namun, posisinya sebagai Ketua ASEAN selama satu tahun ke depan, di mata banyak pihak dan dalam kaca mata diplomasi, hal itu dianggap sebagai “pengakuan” ASEAN terhadap keberadaan junta.
Presiden Joko Widodo, dalam perbincangan dengan Hun Sen via telepon, Jumat (21/1), menegaskan pentingnya implementasi lima butir konsensus ASEAN dalam penyelesaian masalah Myanmar, yang disepakati saat para pemimpin ASEAN bertemu pemimpin Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing di Jakarta, 24 April 2021. Jokowi mengatakan, pendekatan ASEAN terhadap Myanmar harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama.
Baca juga : Presiden Jokowi: Penting, Implementasi Lima Butir Konsensus ASEAN bagi Myanmar
Pada Hun Sen, Jokowi menyampaikan, pelaksanaan lima poin konsensus tidak digunakan untuk mendukung peta jalan militer Myanmar yang dijadikan syarat Tatmadaw untuk mau melaksanakan isi kesepakatan tersebut.
”Pelaksanaan 5-point consensus seharusnya tidak digunakan untuk mendukung 5-point roadmap-nya Tatmadaw. Jangan sampai dikaitkan karena dapat dinilai sebagai bentuk dukungan ASEAN ke militer Myanmar,” kata Presiden Jokowi (Kompas.id, 22 Januari 2022).
Rekam Jejak
Sikap berbeda yang diperlihakan Hun Sen dan pemerintahannya dengan negara-negara ASEAN lainnya bisa dilihat ke belakang. Kamboja memiliki rekam jejak yang mirip seperti yang ditunjukkannya saat ini dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya dalam menyikapi suatu isu.
Kita bisa menilik sikap Kamboja satu dekade lalu, jelang Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang digelar di Phnom Penh. Sikap Kamboja yang saat itu juga dalam posisi memegang keketuaan ASEAN, persis seperti yang saat ini tengah berlangsung, membuat asosiasi negara-negara Asia Tenggara ini gagal menghasilkan komunike bersama. Kegagagalan itu adalah untuk pertama kalinya dalam sejarah sejak ASEAN berdiri.
Baca juga : Hun Sen Disambut Demonstrasi Antijunta Myanmar
Yang menjadi pangkal persoalan saat itu adalah keinginan Filipina untuk memasukkan insiden sengketa wilayah di perairan sekitar Beting Scarborough di Laut China Selatan dimasukkan dalam substansi isi komunike bersama.
Saat itu, Kamboja berpandangan pertemuan antarmenlu ASEAN yang menjadi bagian dari rangkaian pertemuan sebelum KTT bukan sebuah mekanisme persidangan untuk menjatuhkan vonis atas sebuah sengketa. Menlu Kamboja saat itu Hor Namhong menyatakan, pihaknya meminta komunike bersama tak perlu menyebut sengketa di sana. Menurut dia, ada negara anggota AEAN yang berulang kali ngotot memasukkannya.
Sikap itu dikecam keras Filipina dan Vietnam, yang memiliki kepentingan dalam isu tersebut, terutama karena mereka juga bersengketa dengan China di LCS. Menlu Filipina saat itu Albert de Rosario menuding Kamboja memihak China dalam isu tersebut, meski Kamboja adalah bagian dari keluarga ASEAN. Filipina juga mengecam China karena dinilai menggunakan kekuatannya untuk menekan Kamboja serta menunjukkan sikap bemuka dua dalam persoalan itu. (Kompas, 14 Juli 2012)
Baca juga : Junta Mulai Mau Berkompromi dengan ASEAN
Menteri Luar Negeri Singapura saat itu K Shanmugam, dikutip dari laman BBC, mengatakan, kegagalan Kamboja membentuk komunike bersama dan menghasilkan pernyataan penting mengakibatkan kerusakan parah terhadap kredibilitas ASEAN.
Menyelamatkan ASEAN
Setahun setelah kudeta berlangsung di Myanmar, tidak ada perubahan yang berarti. Di lapangan, perlawanan rakyat Myanmar tak berhenti meski sebagian besar dari mereka harus bertarung dengan tangan kosong menghadapi junta militer yang terus dibekali persenjataan yang dipasok oleh Rusia maupun China.
Dalam catatan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), dalam dua pekan terakhir, jumlah korban tewas akibat konflik bersenjata di Myanmar bertambah 40 orang menjadi 1547 orang, termasuk anak-anak dan perempuan yang sedang hamil. Situasi tersebut membuat beberapa pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa menilai konflik politik di Myanmar telah berubah menjadi perang saudara dan genosida.
Kecemasan dan desakan dunia internasional agar ASEAN, sebagai tetangga untuk menyelesaikan persoalan ini, berbanding terbalik dengan kenyataan riil di lapangan. Penolakan Myanmar ditambah pandangan yang menilai bahwa konflik tersebut adalah urusan dalam negeri, yang terbatasi dengan prinsip non-interference, membuat ASEAN tidak bisa berbuat banyak dan bahkan terjebak dalam kekakuan prinsip yang dinilai sudah usang.
Baca juga : Memulihkan Marwah ASEAN
Pengamat hubungan internasional sekaligus pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja situasi yang dihadapi rakyat Myanmar tak ubahnya dengan rakyat Korea Utara. Rakyat Myanmar, dalam pandangannya, dijadikan tawanan oleh sekelompok orang yang berkuasa dengan menghalalkan kekerasan bersenjata. Tatmadaw, militer Myanmar, adalah wadah untuk mengekalkan penggunaan kekerasan dan penyebarluasan ketakutan agar mereka bisa berkuasa.
Di sisi lain, Dinna melihat, ASEAN tidak solid. Indonesia yang sejak awal dinilai progresif untuk membantu menyelesaikan persoalan Myanmar, termarjinalkan karena dikekang oleh prinsip non-interference.
“Bukti termajinalkannya upaya Indonesia antara lain adalah pernyataan Hun Sen yang mengatakan "biarkan saya mengambil keputusan sendiri" dalam urusan Myanmar. Bahkan sampai datang sendiri ke Myanmar dan menunda pertemuan para Menlu ASEAN,” kata Dinna.
Menurut Dinna, ada berbagai alasan mengapa Kamboja bersikap berbeda dengan sebagian anggota ASEAN, termasuk kekhawatiran Kamboja sendiri soal suksesi pemerintahan di dalam negerinya. Kamboja tidak menginginkan ada preseden di ASEAN bahwa urusan pergantian pemerintahan di satu negara dicampuri oleh negara anggota lainnya.
“Kamboja lebih tepatnya sebenarnya khawatir kalau dia kritis terhadap Tatmadaw, maka bisa menjadi bumerang ke Hun Sen yang notabene adalah tokoh militer yang kini paling lama berkuasa di ASEAN,” kata Dinna.
Dalam pandangan Kamboja, menurut Dinna, Keketuaan ASEAN tidak sekadar simbol tapi juga power agenda dan power convening. “Jika ketua mau, bisa ada terobosan agenda dan pertemuan. Tapi, kalau ketua menolak, ya sepi saja,” ujarnya.
Baca juga : ”Shuttle Diplomacy” Retno Berlanjut, RI Desak Akses Kemanusiaan di Myanmar
Pengamat ASEAN dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Dafri Agussalim mengatakan, Kamboja mengambil sikap yang berbeda dengan sejumlah negara ASEAN, termasuk dengan Indonesia karena ketergantungan yang sangat pada China. Dengan pengaruh ekonominya yang besar pada Kamboja dan China, menurut Dafri, Beijing mampu mengontrol ketidaksolidan dan kohesivitas ASEAN.
Dalam pandangannya, ketika negara-negara ASEAN tidak mampu mendorong kemajuan dan pemerataan ekonomi di kawasan, dalam hal ini Kamboja dan Myanmar, peran itu akan diambil oleh aktor luar, dalam hal ini China. “Tidak ada makan siang yang gratis,” ujarnya.
Dafri mengatakan, sebagai pelaku sejarah dalam Perang Indochina III yang melibatkan Vietnam dan Kamboja di akhir tahun 1970-an, Hun Sen sadar bahwa dia melangkahi sejarah negaranya dengan mendekatkan diri ke China. "Tetapi,semua tahu siapa Hun Sen sebenarnya. Kalaupun dia kembali dekat dengan China, bisa dipahami karena kepentingan ideologis dan pragmatis soal ekonomi,” katanya.
Agak sedikit berbeda dengan Dafri, Dinna menilai, walau belum 100 persen melepaskan ketergantungan dari China, Kamboja sudah mulai mendiversifikasi hubungan politik dan militernya dengan beberapa negara, sepeti Jepang, Rusia, Korea dan India. Dibanding dengan tahun 2012, menurut Dinna, suasananya tidak serupa.
Oleh karena itu, negara-negara ASEAN harus keluar dari rutinitasnya dan mencari jalan tengah yang bisa disepakati oleh semua pihak untuk menyelamatkan rakyat Myanmar. Usulan pembentukan troika, yang terdiri dari Menlu Indonesia sebagai calon Ketua ASEAN 2023, Menlu Brunei dalam kapasitas mantan Ketua ASEAN dan Utusan Khusus untuk Myanmar saat ini yang didukung oleh Sekretaris Jenderal ASEAN, menurut Dinna, menunjukkan pergeseran sikap dan keinginan Kamboja mendapat dukungan dari Indonesia. “Indonesia tinggal mengawalnya,” kata Dinna.
Baca juga : Tantangan bagi Kamboja
Selain troika, yang perlu didekati juga adalah China. Menurut Dafri, negara-negara ASEAN diharapkan bisa membuka komunikasi dengan China untuk membantu organisasi ini menyelesaikan persoalan Myanmar. Dia meyakini, dengan keuntungan yang dimiliki oleh ASEAN, sebagai pasar dan mitra politik – apalagi dalam situasi rivalitas dengan Amerika Serikat di kawasan Indo Pasifik, China diharapkan bisa “memainkan pengaruhnya” terhadap junta agar mau mengembalikan demokrasi pada rakyat Myanmar.
Deepak Nair, asisten profesor Ilmu Politik pada Universitas Nasional Singapura (NUS), dikutip dari laman New Mandala mengatakan, untuk bisa menyelesaikan persoalan Myanmar, diplomasi ASEAN membutuhkan kreativitas. Diplomat-diplomat ASEAN bisa menggali memori institusionalnya pada masa Perang Indochina III ketika ASEAN berhasil mengakomodir perbedaan persepsi ancaman (China dan AS di satu sisi, Vietnam-Uni Soviet di sisi lain) untuk menyelesaikan persoalan Kamboja.
Nair menilai, selain Indonesia, Thailand dan Singapura dinilai bisa mengulangi peran tersebut dalam persoalan Myanmar ini.