Kerajaan Inggris Raya memasuki masa baru. Masa Raja Charles III. Publik bertanya mampukah ia menjaga reputasi dan kewibawaan monarki seperti era ibunya, Ratu Elizabeth II?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·7 menit baca
AFP/POOL/OLI SCARFF
Raja Inggris Charles III. Foto diambil pada 15 Agustus 2020 ketika statusnya masih merupakan Pangeran Charles, Putra Mahkota Kerajaan Inggris Raya.
Ratu Elizabeth II mangkat, putra sulungnya, Charles Philip Arthur George, menjadi penguasa Monarki Inggris menggantikan ibundanya. Kini, ia dikenal dengan nama resmi Raja Charles III dan pada hari Sabtu (10/9/2022) akan dinobatkan sebagai Raja Inggris Raya. Publik—tidak hanya rakyat Inggris, tetapi juga warga dunia—bertanya-tanya mengenai raja semacam apa Charles III ini dan kemampuannya mempertahan keutuhan monarki sekaligus menjaga kewibawaan keluarga kerajaan yang di zaman internet ini semakin terkuak isinya.
Charles resmi menjadi putra mahkota pada usia 3 tahun ketika ibunya dinobatkan sebagai ratu. Setelah ibu dan ayahnya, Pangeran Philip, Charles merupakan anggota keluarga kerajaan yang paling lama mengabdi. Kesempatan ia menjadi raja datang setelah mendiang ibunya bertakhta selama 70 tahun. Di sisinya, ada Camilla Parker-Bowles yang menjadi permaisuri.
Naiknya Charles menjadi raja membuat posisi putra mahkota kini dipegang oleh anak sulungnya, Pangeran William. Ahli waris takhta berikutnya adalah anak-anak William dan Kate Middleton, yaitu Pangeran George, Putri Charlotte, dan Pangeran Louis. Adik William, Pangeran Harry otomatis menjadi ahli waris yang kelima.
Adapun anak-anak Harry dengan Meghan Markle, yakni Archie dan Lilibet kini juga bergelar pangeran dan putri karena merupakan cucu raja. Sebelumnya, ketika Ratu Elizabeth masih hidup, Archie dan Lilibet tidak memiliki gelar karena urutan mereka terlalu jauh dari posisi sebagai ahli waris takhta.
Balada para Charles
Dalam sejarah Monarki Inggris, ada dua Charles yang pernah menjadi penguasa. Charles yang pertama atau dikenal dengan Raja Charles I naik takhta pada tahun 1625 dan berkuasa hingga tahun 1649. Nasibnya apes karena di zaman itu ia berhadapan dengan parlemen. Sejarawan Pauline Gregg memaparkan dalam bukunya King CharlesI (1984) bahwa Charles I memiliki pemikiran sebagai raja, ia merupakan pilihan dari Yang Mahakuasa sehingga segala keputusan bisa diambil sesuai dengan keinginan dia. Singkat cerita, parlemen dan rakyat menganggap ia sebagai pengausa yang zalim.
AFP/CENTRAL PRESS
Ratu Inggris ELizabth II menobatkan anak sulungnya, Pangeran Charles menjadi Putra Mahkota Kerajaan Britania Raya di Istana Caernarfon, Wales, pada 1 Juli 1969.
Selama kekuasaan Charles I, Inggris jatuh ke dalam perang saudara antara pendukung kerajaan dengan pendukung parlemen yang dipimpin oleh Oliver Cromwell. Sikap Charles I dan pendukungnya yang mengatakan bahwa raja adalah segalanya akhirnya membuat perang saudara ini merembet ke Skotlandia dan Irlandia. Charles I ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1645. Ia diadili dan dijatuhi hukuman mati. Eksekusi dilakukan pada Januari 1649. Era monarki berakhir dengan bergulingnya kepala Charles I setelah dipenggal.
Inggris Raya masuk ke dalam era republik persemakmuran selama hampir dua dekade ke depan. Akan tetapi, masa ini ternyata sulit karena di dalam pemerintahan yang dikuasai parlemen terdapat banyak faksi. Berbagai kebijakan dikritisi oleh sesama anggota parlemen maupun rakyat.
Apalagi, faksi terbesar, yakni kaum Puritan sangat ketat dalam membuat aturan, termasuk yang berhubungan dengan agama dan kehidupan sehari-hari rakyat. Hal-hal seperti seni dan hiburan dianggap dosa. Bahkan, sejumlah kelompok Puritan menginginkan peryaan Natal ditiadakan. Fundamentalisme ini membuat mereka tidak populer.
Perpecahan di parlemen ini kemudian membuat sejumlah faksi mengusulkan pengembalian monarki, tepatnya Wangsa Stuart untuk memimpin Inggris. Anak sulung Charles I, yaitu Charles II yang selama 19 tahun mengungsi di Belanda akhirnya dipanggil pulang ke tanah airnya pada tahun 1660.
Dalam buku King Charles II oleh Antonia Fraser yang terbit pada tahun 1979 dijelaskan bahwa masa kekuasaan Charles II ini mengembalikan berbagai kreativitas dan kebebasan berekspresi di Inggris. Akan tetapi, di tahun 1665, London dilanda wabah pes. Penelitian arkeologi dan kedokteran memperkirakan setidaknya ada 100.000 warga London yang meninggal akibat wabah ini. Jumlah tersebut setara dengan seperempat penduduk London pada masa itu. Setahun setelah itu, pada 1666, London dilanda kebakaran hebat yang menghanguskan puluhan ribu rumah, ditambah dengan gedung-gedung pemerintahan dan Katedral St Paul.
Dari sisi politik, Charles II juga terus “diganggu” oleh parlemen. Ia menghadapi situasi serba sulit karena Charles II tidak bisa bersikap sebagai monarki absolut jika tidak mau berakhir di tempat hukuman pancung seperti ayahnya. Di sisi lain, ia juga terus berkonfrontasi dengan parlemen karena pilihan politiknya, antara lain mendukung perang Inggris-Belanda. Ditambah juga permaisurinya berkali-kali keguguran sehingga Charles II tidak memiliki keturunan. Ia meninggal setelah 25 tahun menjadi raja yang tidak populer.
AFP/DANIEL LEAL
Pada foto yang diambil pada 2 Juni 2022 ini tampak Ratu Elizabeth II berdiri berdampingan dengan Putera Mahkota, Pangeran Charles. Mereka tengah menyaksikan pertunjukkan udara dari Angkatan Udara Kerajaan Inggris dari balkon Istana Buckingham, London.
Bagaimana dengan Charles III? Bagi masyarakat Inggris, ia terkenal senang bermain polo, berkuda, berkebun, mempromosikan pengobatan alternatif yang kontroversial, dan kisah cintanya yang berliku. Bahkan, gara-gara kehidupan pribadinya ini Charles bukan anggota keluarga kerajaan yang disenangi.
Berdasarkan jajak pendapat YouGov pada Juni 2022 menyambut 70 tahun takhta Ratu Elizabeth, Sri Ratu menempati urutan pertama anggota monarki yang disenangi masyarakat Inggris. Peringkat kedua adalah cucu-menantunya, Kate Middleton, disusul oleh Pangeran William. Charles sendiri menempati posisi ketujuh setelah ayahnya, Pangeran Phillip, dan adiknya, Putri Anne. Responden menganggap, Charles III tidak bisa menjadi raja yang baik.
Ketidaksukaan publik terhadap Charles ini adalah karena perceraiannya dengan mendiang Diana. Keduanya dijodohkan karena sebenarnya di masa muda Charles berpacaran dengan Camilla Parker-Bowles yang berstatus janda cerai. Keluarga kerajaan menolak hubungan mereka berdua dan menginginkan bahwa putra mahkota harusnya menikahi seorang gadis dari kalangan bangsawan pula.
Pernikahan dengan Diana sejak awal selalu dieksploitasi oleh media. Diana sendiri bertransformasi menjadi sosok yang dikagumi dan membumi. Hingga 25 tahun setelah kematiannya di tahun 1997 akibat kecelakaan mobil, Diana tetap menjadi anggota keluarga kerajaan nomor dua terfavorit setelah Ratu Elizabeth. Perselingkuhan Charles dengan Camilla membuat masyarakat menyalahkan dia atas kepergian Diana.
AFP/JOHNNY EGGITT
Kiri ke kanan: Putri Diana, Pangeran Harry, Pangeran William, dan Pangeran Charles dari Inggris menghadiri sebuah acara di London, pada 19 Agustus 1995. Charles dan Diana bercerai pada tahun 1994 dan Diana meninggal akibat kecelakaan mobil di Paris, Perancis pada 1997.
Pada tahun 2005, Charles akhirnya menikahi Camilla setelah melalui proses yang panjang dan kemarahan publik terhadapnya mereda. Akan tetapi, popularitasnya tetap tidak meningkat. Bahkan, ketika Pangeran William menikahi Kate Middleton pada 2021, publik mengharapkan agar ia segera menjadi ahli waris takhta.
Pendapat ini masih terjadi dan ditunjukkan dengan hasil jajak pendapat majalah Newsweek yang terbit pada 24 Mei 2021. Sebanyak 58 responden memilih agar William segera menjadi raja. Hanya 23 persen yang menginginkan Charles mewarisi mahkota kerajaan. Sisa 19 persen menjawab tidak tahu.
Di dalam keluarga, ada persoalan cekcok antara dia dengan anak bungsunya, Pangeran Harry beserta istrinya, Meghan Markle. Dalam wawancara dengan pembawa acara kenamaan Amerika Serikat Oprah Winfrey, Markle yang merupakan keturunan kulit putih dan kulit hitam mengungkapkan bahwa Charles menampakkan sikap khawatir jika anak-anak yang dilahirkan Markle berkulit lebih gelap dibandingkan sepupu-sepupunya. Komentar ini disangkal oleh humas Istana Buckingham.
Selain itu, juga ada skandal dari Pangeran Andrew, adik Charles yang terlibat dengan kasus pelecehan seksual. Andrew terseret kasus pengusaha AS Jeffrey Epstein yang terungkap merupakan seorang pedofilia dan muncikari dengan sejumlah korban gadis-gadis di bawah umur.
Di segi politik, ada isu semakin menurunnya pamor Persemakmuran. Dari 56 negara anggota Persemakmuran, ada 15 negara yang menganggap kepala negara mereka adalah pemimpin Monarki Inggris. Sisanya telah memiliki pemerintahan tersendiri, misalnya Barbados yang tahun 2021 memilih menjadi republik yang dipimpin oleh presiden.
Namun, terkait hal ini, Direktur Institut Kajian Persemakmuran Universitas London, Philip Murphy dalam media The Conversation edisi 7 Maret 2021 menjelaskan bahwa terlepas tidak lagi mengakui raja atau ratu Inggris sebagai kepala negara mereka, para anggota Persemakmuran tetap bersatu karena lembaga ini melebihi kesetiaan terhadap monarki. Lembaga ini berlandaskan solidaritas antaranggotanya.
“Dalam hal Persemakmuran, keberadaan perhimpunan ini memberi akses komunikasi, kerja sama, dan pendanaan antara negara-negara anggotanya. Terutama kemitraan anggota yang berperekonomian maju dengan yang masih berkembang. Terjadi pula pertukaran nilai dan perluasan perspektif terkait nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia,” ujarnya.
Dari sisi keberlanjutan monarki, jajak pendapat YouGov pada Juni 2022 menunjukkan bahwa 62 persen responden menginginkan agar monarki terus berlanjut. Alasannya karena tanpa Kerajaan Britania Raya tidak akan ada persatuan. Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara akan pecah menjadi republik masing-masing.
Toh, keluarga kerajaan tidak memiliki kekuasaan politik. Keberadaan mereka, dilihat dari peran Ratu Elizabeth selama 70 tahun, adalah menjadi penyatu rakyat Inggris Raya. Terlepas dari latar belakang ekonomi, sosial, ras, dan agama, mereka semua setidaknya segan terhadap ratu. Akan tetapi, keseganan ini akan teruji di masa Charles III. Semua tergantung kemampuan dia menampilkan kewibawaan seperti mendiang ibunya.