Perayaan Platinum Jubilee pekan lalu mungkin merupakan perayaan naik takhta terakhir yang bisa dinikmati masyarakat Inggris untuk setidaknya satu dekade ke depan. Transisi penerus takhta tengah berlangsung.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Acara peringatan 70 tahun bertakhtanya Ratu Elizabeth II atau Platinum Jubilee telah selesai pada Minggu (5/6/2022). Di balik kemeriahan perayaannya, ada rasa senang, sedih, dan juga sinis yang menyeruak. Masa depan monarki Inggris dipertanyakan. Akan tetapi, mungkin hampir semua yang mengikuti acara itu, baik secara langsung maupun melalui siaran televisi, memiliki rasa sayang kepada Ratu Elizabeth.
”Ratu Elizabeth selalu konsisten dalam bersikap, tidak pernah terbawa emosi setiap kali ada skandal di Inggris. Ini yang bikin orang Inggris merasa dia selalu bisa diandalkan, terlepas betulan suka dengan dia ataupun tidak,” kata Dewi Fortuna Anwar, Profesor Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Dewi dan adik-adiknya tumbuh besar di Inggris selama hampir 20 tahun. Sejak masih tinggal di London, mereka selalu mengikuti perayaan naik takhta ratu Inggris. Setiap tahun selalu ada Trooping the Colour, yaitu ketika pasukan berkuda melakukan kirab dari Istana Buckingham ke Horse Guard Parade di Taman St James. Di sepanjang jalan yang disebut The Mall Avenue, Dewi dan adiknya biasa berdiri menonton.
”Di kereta pertama selalu ditumpangi anggota kerajaan senior yang aktif bertugas, biasanya ahli waris takhta,” ujar Dewi.
Dulu, Putri Diana yang duduk di kereta bersama putra mahkota, Pangeran Charles. Setelah Diana meninggal akibat kecelakaan, Charles selalu duduk dengan kedua putranya, Pangeran William dan Pangeran Harry. Bahkan, setelah Charles menikah lagi dengan Camilla Parker-Bowles, istrinya itu tidak pernah mengikuti arak-arakan Trooping the Colour. Oleh sebab itu, ketika Platinum Jubilee Camilla duduk di kereta kencana yang pertama meninggalkan Buckingham, maknanya ia sudah diterima oleh monarki sebagai calon permaisuri.
Sosok yang paling akhir meninggalkan Buckingham biasanya tentu Ratu Elizabeth. Ia selalu duduk menyamping di atas kuda. Ini satu-satunya acara setiap tahun saat rakyat bisa melihat Sang Ratu tanpa halangan kaca jendela mobil ataupun kereta.
Tahun ini, Ratu Elizabeth tidak mengikuti Trooping the Colour. Ia digantikan Pangeran Charles yang mengenakan seragam militer. Di belakangnya ada putranya, Pangeran William, dan kakak Charles, Putri Anne. Keduanya juga mengenakan seragam militer tempat mereka menjadi anggota kehormatan.
”Sedih juga karena ini Platinum Jubilee pertama dalam sejarah. Ratu Victoria saja dulu cuma sampai Diamond Jubilee (60 tahun bertakhta). Kelihatannya enggak bakalan ada lagi perayaan jubilee untuk waktu yang lama di Inggris,” kata jurnalis televisi Desi Anwar, adik Dewi.
Jubilee adalah peringatan setiap sepuluh tahun. Jika Ratu Elizabeth bisa bertakhta hingga 80 tahun, pada tahun 2032 ia akan merayakan Oak Jubilee, yang istilahnya diambil dari pohon ek. Akan tetapi, itu berarti Ratu berusia 106 tahun. Apabila ia digantikan oleh Pangeran Charles yang saat ini berusia 73 tahun, jubilee pertama Raja Inggris ini ketika ia berusia 83 tahun.
Menurut Desi, jika Charles naik takhta menjadi raja, kepopulerannya tidak akan sama dengan ibunya. Demikian pula jika Pangeran William yang menjadi raja. Kemungkinan besar, monarki Inggris akan seperti monarki lain di Eropa, antara lain di Belanda, Spanyol, dan Swedia. Keluarga kerajaan ada, tetapi tidak terlalu mencolok.
Monarki Inggris berbeda karena hingga pada abad modern, mereka tetap memiliki daya tarik tidak hanya bagi masyarakat Inggris, tetapi juga global. Mereka bagaikan perusahaan, merek dagang, sekaligus pesohor. Gosip-gosip mengenai mereka laku keras di dalam dan luar negeri. Bahkan, Amerika Serikat yang berhaluan politik republik demokratis pun masyarakatnya gandrung membaca gosip keluarga Kerajaan Inggris.
”Dari sisi politik, monarki pula yang memastikan persatuan Britania Raya. Tanpa monarki, tidak akan ada Republik Britania karena Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara pasti memilih menjadi republik sendiri-sendiri,” tutur Dewi.
Ia melihat masa depan monarki Inggris akan kehilangan negara-negara anggota Persemakmuran yang menjadikan ratu atau raja Inggris sebagai kepala negara mereka. Misalnya, Barbados yang baru-baru ini memutuskan memilih presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan.
Meskipun demikian, berkat monarki pula ada semangat persaudaraan di antara anggota Persemakmuran yang semuanya telah menjadi republik. Ini tidak hanya soal kekompakan, tetapi telah menjadi hal intrinsik bagi monarki Inggris ataupun Persemakmuran.
Ratu Elizabeth memang telah banyak mundur dari kewajibannya. Pangeran Charles sebagai putra mahkota mengambil alih sebagian besar tugas Ratu. Salah satunya saat ia berpidato di hadapan parlemen yang merupakan tugas paling penting bagi seorang simbol negara.
Namun, sambutan publik cenderung kurang hangat. Butuh bertahun-tahun bagi rakyat Inggris untuk memaafkan ketidaksetiaan Charles. Meski demikian, Charles siap kapan pun dia diperlukan.
”Pangeran Charles adalah putra mahkota terlama, setahu kita. Dia ada di sana. Dia siap sedia untuk melakukan apa pun yang diperlukan saat Ratu tidak ada,” kata Robert Hardman, penulis buku Queen of Our Times: The Life of Elizabeth II.
Survei YouGov terhadap rakyat Inggris berusia 18-25 tahun menunjukkan, mayoritas menginginkan negara berubah menjadi republik. Sisanya menganggap sistem pemerintahan saat ini sudah baik karena pada akhirnya monarki hanya simbol dan tidak memiliki kekuatan politik.
Tanpa monarki, tidak akan ada lagi perayaan Jubilee ataupun Trooping of the Colour. Walaupun tidak suka terhadap monarki, acara-acara itu adalah magnet wisatawan yang kuat dan membawa pendapatan negara.
Silver Jubilee (25 tahun bertakhta) tahun 1977 menjadi kesempatan Ratu mengambil jeda, melihat ke belakang ataupun ke depan masa pemerintahannya. Golden Jubilee (50 tahun) pada 2022 adalah tombol reset setelah badai skandal menerpa kerajaan. Lantas, tahun 2021, Diamond Jubilee (60 tahun) adalah penegas tempat Sang Ratu dalam hati rakyatnya.
Platinum Jubilee berbeda. Ini perpisahan. Bukan pada diri Ratu saja, melainkan pada 70 tahun pelayanannya dan kehadirannya bagi bangsanya. Sebuah era akan ditutup. (AP/FRO)