50 Juta Warga Afrika Timur Terancam Kelaparan Akut
Konflik dan munculnya berbagai penyakit baru memperparah krisis pangan global. Selain bantuan kemanusiaan, harus ada skema membangun ketahanan pangan dunia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
GENEVA, JUMAT — Musim kemarau berkepanjangan akibat krisis iklim, konflik internal, dan konflik global membuat dunia terpuruk dalam krisis pangan. Dari semua tempat, Benua Afrika menghadapi risiko paling serius. Diperkirakan, pada akhir tahun 2022 ada 50 juta orang dari Afrika timur saja yang menghadapi kelaparan akut.
”Kelaparan otomatis menurunkan daya tahan tubuh. Membuat manusia rentan tertular berbagai penyakit. Saat ini, pandemi Covid-19 belum berakhir, tetapi sudah muncul penyakit-penyakit baru. Cukup makan dengan asupan gizi yang sesuai adalah pertahanan paling mendasar,” kata Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Gebreyesus di Geneva, Rabu (17/8/2022).
Ia mengatakan, kelaparan membuat orang terpaksa memilih antara mengisi perut dan pilihan mengorbankan hal-hal lain, seperti pendidikan bagi anak-anak. Krisis akan bergulir menjadi bola salju karena merembet ke isu pernikahan anak, perdagangan orang, dan konflik politik.
Tedros mengambil contoh konflik dalam negeri di wilayah Tigray, Etiopia. Sebanyak 6 juta warga Tigray dikepung oleh pasukan Etiopia yang dibantu Eritrea. Pemerintah Etiopia berkonflik dengan kelompok separatis di wilayah Tigray. Selama konflik berlangsung, masyarakat tersandera selama 21 bulan terakhir.
Kepungan pasukan Pemerintah Etiopia dan Eritrea ini mengakibatkan masyarakat Tigray tidak memiliki akses telekomunikasi, listrik, dan bahan bakar. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Uni Eropa (UE) telah datang untuk memberi bantuan kemanusiaan, tetapi tidak cukup.
”Masyarakat sipil Tigray berisiko terkena malaria, antraks, kolera, dan diare. Harus ada pembukaan akses listrik dan air bersih. Ini kebutuhan dasar manusia,” kata Tedros. Jika risiko ini sampai terjadi, beban dunia untuk pulih dari hantaman pandemi Covid-19 semakin sulit. Segala sumber daya terpaksa dialihkan untuk bantuan darurat kebencanaan.
Krisis iklim
Laporan lembaga meteorologi Afrika Timur yang berbasis di Kenya, ICPAC, mengungkapkan bahwa tujuh negara di Tanduk Afrika mengalami krisis pangan akut. Mereka adalah Kenya, Djibouti, Somalia, Etiopia, Uganda, Sudan, dan Sudan Selatan. Total ada 50 juta jiwa terancam kelaparan pada akhir tahun 2022. Adapun 300.000 warga di Somalia dan Sudan sudah menuju kelaparan parah.
Saat ini, di seluruh dunia, ada 51 juta orang yang menjadi migran karena kehilangan tempat tinggal akibat bencana alam ataupun konflik. Sebanyak 24 persen dari migran itu berasal dari tujuh negara di Tanduk Afrika tersebut. Artinya, per akhir 2022, ada risiko penambahan jumlah imigran sebanyak 50 juta orang jika masalah krisis pangan tidak segera ditangani.
Perang yang meletus antara Rusia dan Ukraina memperparah ketahanan pangan. Negara-negara di Afrika bergantung kepada impor gandum dari Rusia (40 persen) dan Ukraina (30 persen). Oleh sebab itu, akses ekspor gandum kedua negara harus segera dibuka.
”Ini krisis pangan terburuk di Afrika Timur dalam 40 tahun terakhir. Hujan tidak turun selama dua tahun,” kata Chimimba David Phiri, Direktur Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB Wilayah Afrika Timur dalam situs resmi lembaga tersebut.
Menurut Phiri, semua negara harus melakukan rencana aksi jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan pangan saat ini. Pada saat yang sama, harus ada penggodokan rencana jangka panjang untuk membangun ketahanan pangan wilayah.
Dari pembahasan di PBB, yang perlu dilakukan ialah membuka keran ekspor-impor gandum dari Rusia dan Ukraina serta meningkatkan produksi dan distribusi pupuk. Adapun di daerah-daerah yang dilanda kekeringan harus ada intervensi lain, seperti peragaman tanaman pangan yang bisa bertahan di alam kering. Somalia, misalnya, akibat kemarau selama dua tahun, diperkirakan kegagalan panen tahun 2022 mencapai 80 persen.
”Tanduk Afrika semestinya memiliki dua musim hujan, yaitu periode Maret-Mei dan September-Desember,” kata ahli geografi Universitas Brighton, Inggris, David Nash, kepada The Conversation.
Akan tetapi, krisis iklim telah mengakibatkan munculnya fenomena La Nina yang sangat panas dan kering. Pemanasan global akibat ulah manusia menaikkan suhu di Samudra Pasifik yang berpengaruh mengurangi curah hujan di Kenya timur, Somalia, dan Etiopia.
”Saat ini sudah ada metode prakiraan penumpukan La Nina di Samudra Pasifik sehingga kita bisa meramal kemarau di timur Afrika. Apabila dikembangkan lebih mendalam, bisa menjadi peringatan mitigasi kemarau sehingga membangun sistem ketahanan pangan,” tutur Nash.