Ekonomi Covid-19 dan Perang Ukraina
Pandemi Covid-19 adalah pukulan untuk dunia dan perekonomian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perang Rusia-Ukraina menambah malapetaka, selain isu dampak perubahan iklim. Perlu perhatian lebih pada kelompok miskin.
Baru-baru ini kami berkesempatan mengobrol dengan seorang penjual roti dan kue di sebuah pasar di Jakarta. Ia bercerita, kenaikan harga telur dan gandum membuatnya harus berjuang keras agar tetap dapat memasok roti untuk para pelanggan.
Ia harus menaikkan harga agar mampu bertahan dan menyisakan sedikit keuntungan. Tak hanya itu, agar bisa menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya, ia harus menjual perhiasan emas yang diberikan ibunya, asetnya di masa-masa sulit. Kisah seperti ini bukan kisah yang unik karena banyak orang saat ini harus bertarung dengan kenaikan harga pangan.
Pandemi Covid-19 adalah pukulan untuk dunia dan perekonomian yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jutaan orang di Indonesia kehilangan mata pencarian, terutama di sektor jasa utama, seperti restoran dan pariwisata. Penutupan pabrik di pelbagai belahan dunia, entah karena terlalu banyak pekerja yang sakit atau untuk membatasi penularan di masa depan, menyebabkan berkurangnya produksi, yang mendorong kenaikan harga.
Pandemi Covid-19 adalah pukulan untuk dunia dan perekonomian yang belum pernah terjadi sebelumnya
Kita semua menghela napas lega pada November 2020, ketika vaksin pertama memberikan harapan untuk mampu mengurangi jumlah orang yang dirawat di rumah sakit dan mengurangi kematian. Memang, upaya vaksinasi besar-besaran telah membuahkan hasil, secara dramatis mengurangi jumlah kasus Covid-19 yang parah, dan memungkinkan kegiatan ekonomi bergerak kembali dan pemerintah membangun kembali. Kita bersyukur untuk itu.
Belum sepenuhnya berlalu
Sayangnya, kehidupan belum sepenuhnya kembali seperti semula. Kisah- kisah seperti di atas, orang berjuang untuk memenuhi kebutuhan, terus menjadi hal biasa. Secara global, Covid- 19 terus menjadi ancaman karena keengganan untuk menggunakan vaksin.
Hal ini telah menghambat penyerapan vaksin. Selain itu, munculnya varian baru juga membawa dampak akan masa depan yang belum pasti. Penutupan aktivitas ekonomi (lockdown) di banyak negara untuk membendung ancaman penularan—termasuk China— memicu terjadinya kekurangan pasokan untuk beberapa waktu.
Baca juga Lorong Gelap Stagflasi
Sementara itu, tantangan ekonomi baru muncul. Perang Rusia-Ukraina, selain menciptakan krisis kemanusiaan dengan jumlah pengungsi yang belum pernah terjadi sebelumnya, juga menciptakan malapetaka pada ekonomi dunia. Orang mungkin bertanya: mengapa Ukraina memengaruhi kehidupan sehari-hari orang Indonesia? Letak Ukraina sangat jauh, jadi mengapa itu memengaruhi hidup saya?
Jawabannya adalah, kita semua terhubung secara ekonomi. Pertama, Ukraina adalah produsen besar kebutuhan pangan pokok, seperti minyak goreng, gandum, dan pupuk. Akibat perang, mereka tidak lagi dapat memproduksi dan mengekspor produk-produk ini, dan hal ini menaikkan harga barang-barang pokok tersebut. Misalnya, harga gandum dunia naik hampir 30 persen pada awal tahun ini, dan tetap tinggi sampai saat ini. Ini berarti harga roti di toko kelontong di Indonesia juga ikut naik, walaupun perang tak terjadi di sini.
Harga bahan bakar global juga melonjak karena perang. Harga bahan bakar bensin di Indonesia ditetapkan oleh pemerintah. Artinya, orang tidak melihat kenaikan harga bensin secara langsung ketika mereka mengisi sepeda motor mereka di pompa. Jadi, kita mungkin tidak menganggap ini sebagai masalah. Namun, warga biasa sebenarnya membayar kenaikan harga walaupun mereka tidak melihatnya secara langsung.
Pertama, pemerintah membayar lebih mahal untuk membeli minyak dan menjualnya dengan harga yang murah kepada masyarakat. Ini tidak gratis: pemerintah harus menemukan cara untuk membayarnya, baik melalui peningkatan pajak di masa depan atau pengurangan pengeluaran untuk investasi penting dalam masyarakat, seperti penurunan investasi infrastruktur atau penurunan pengeluaran kesehatan dan sosial.
Kedua, itu berarti secara global biaya transportasi akan naik, akan lebih mahal untuk mengirimkan barang. Akibatnya, harga produk naik lebih banyak lagi.
Seiring kenaikan harga, banyak orang miskin dan rentan harus mengurangi pengeluaran makanan dan kesehatan untuk anak mereka.
Perlindungan kelompok miskin dan rentan
Kenaikan harga-harga ini merupakan tantangan bagi banyak orang Indonesia, menekan anggaran rumah tangga dan mungkin memaksa orang untuk melupakan pengeluaran ekstra dalam hidup mereka: makan lebih sedikit di luar rumah, atau mungkin tak bepergian untuk bertemu keluarga tahun ini, atau memilih tidak membeli pakaian baru.
Namun, bagi mereka yang paling miskin dan paling rentan, kenaikan harga pangan bisa sangat merugikan karena makanan merupakan bagian terbesar dari pengeluaran rumah tangga orang miskin. Ini berarti banyak orang akan makan lebih sedikit dan kelaparan, juga mengurangi konsumsi makanan lebih bergizi (misalnya, sayuran dan daging).
Selain alasan moral bahwa orang tak boleh mengalami kelaparan akibat situasi ini, kenaikan harga memiliki implikasi bagi masa depan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Seiring kenaikan harga, banyak orang miskin dan rentan harus mengurangi pengeluaran makanan dan kesehatan untuk anak mereka.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa investasi pada anak usia dini sangat penting untuk masa depan mereka—penting untuk memiliki makanan bergizi dan melakukan investasi dalam kesehatan dan pendidikan.
Penelitian kami, misalnya, menunjukkan bagaimana memberikan bantuan tunai berkelanjutan melalui Program Keluarga Harapan Indonesia kepada anak-anak sejak lahir dapat secara dramatis mengurangi stunting dan meningkatkan kesehatan anak-anak. Jauh lebih sulit untuk ”mengejar ketertinggalan” jika investasi tak dilakukan sejak awal.
Tantangan kebijakan
Mengingat tantangan-tantangan ini, penting bagi pemerintah untuk bertindak—untuk memastikan bahwa orang miskin memiliki cukup makanan dan tidak terpinggirkan, dan untuk memastikan bahwa anak-anak memiliki apa yang mereka butuhkan untuk memulai hidup dengan baik.
Kita melihat ini terjadi selama krisis Covid-19. Seperti banyak pemerintah di seluruh dunia, Indonesia mengatasi krisis melalui perluasan bantuan sosial selama krisis Covid-19 melalui program- program seperti Kartu Sembako, Program Keluarga Harapan, Bantuan Langsung Tunai Desa, dan Kartu Prakerja. Kita banyak sekali belajar dari perluasan program ini: apa yang berhasil dan apa yang dapat ditingkatkan lebih lanjut. Kita harus mengambil pelajaran ini saat kita mendesain ulang kebijakan dan menghadapi kesulitan ekonomi saat ini.
Dalam dua tulisan ke depan, kami akan coba membahas masalah ini. Dalam bagian kedua dari tiga tulisan, Benjamin Olken akan mengusulkan beberapa prinsip untuk memandu bagaimana kebijakan ekonomi harus dirancang dan disesuaikan untuk memastikan bahwa yang paling rentan di antara kita bertahan menghadapi tantangan saat ini.
Pada bagian terakhir, Chatib Basri akan membahas iklim makroekonomi yang lebih luas, dan bagaimana memastikan bahwa anggaran pemerintah dapat memenuhi kebijakan yang dibutuhkan.
Baca juga Membangun Asa Ketahanan Pangan di Negeri Petani
Tentu perlu dicatat bahwa kita tidak boleh berpuas diri, masih banyak yang harus dilakukan. Perang Ukraina bukan satu-satunya ancaman terhadap ketahanan pangan hari ini. Ini juga bukan yang terakhir. Isu perubahan iklim, misalnya, akan terus menghambat ketahanan pangan global. Kenaikan suhu global berdampak pada hasil panen, selain itu telah terjadi peningkatan besar dalam bencana alam dibandingkan 30 tahun lalu yang menyebabkan pergeseran dan hilangnya panen. Bahkan jika hal ini terjadi jauh dari Indonesia, harga pangan global akan terpengaruh, dan orang di Indonesia juga akan terpengaruh.
Oleh karena itu, tulisan kami bertiga, selain membahas perubahan kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi ancaman hari ini, juga akan membahas secara lebih luas bagaimana membuat kebijakan yang lebih tahan terhadap guncangan masa depan, lebih tahan terhadap kerawanan pangan yang menghadang.
Rema Hanna The Jeffrey Cheah Professor of South-East Asia Studies, Harvard Kennedy School, Faculty Director of Evidence for Policy Design, Scientific Director of J-PAL Southeast Asia