Disrupsi Pangan dan Energi Global Menguji Ketahanan Dunia
Sirkulasi pangan global akan semakin terdisrupsi dan berpotensi kehilangan produksi hingga jutaan ton. Keamanan energi tak kalah kompleks daripada permasalahan pangan.
Ratusan karung berisi gandum teronggok di rumah kecil Imad Abdullah di Al Lapota, Negara Bagian Gezira, Sudan. Sudah dua bulan sejak panen, karung-karung itu tidak segera berkurang atau berpindah tangan ke konsumen. ”Saya tidak bisa menyimpannya lebih lama lagi,” kata Abdullah.
Saat panen, Maret lalu, Pemerintah Sudan berjanji akan membeli hasil panen petani seperti Abdullah seharga 43.000 pound Sudan atau sekitar 75 dollar AS (Rp 1,12 juta) per karung. Namun, tampaknya hal itu tidak akan terwujud dalam waktu dekat.
Bulan lalu, rekan-rekan Abdullah yang tinggal di wilayah utara Sudan memprotes kebijakan bank pertanian milik pemerintah yang menolak membeli hasil panen mereka. Modawi Ahmed, salah satu petani, mengaku lahan seluas 16 hektar miliknya menghasilkan sekitar 12 ton gandum. Akan tetapi, bank hanya mau membeli kurang dari separuh hasil panennya. Alasannya, dana pemerintah tidak mencukupi untuk membeli hasil panen petani.
”Kami telah meminta dana dari Kementerian Keuangan dan bank sentral, tetapi kami tidak mendapat tanggapan," kata salah satu pejabat bank pertanian yang meminta identitasnya disembunyikan itu. Dia mengatakan, pemerintah tidak punya uang untuk menampung hasil panen petani seperti Abdullah dan kawan-kawan.
Baca juga : Krisis Harga Pangan Global
Kementerian Keuangan Sudan berencana membangun cadangan gandum strategis sebanyak 300.000 ton. Jumlah ini jauh dari kebutuhan Sudan yang mencapai 2,2 juta ton gandum per tahun. Seorang pejabat Kementerian Keuangan, yang juga berbicara dengan syarat anonim, membenarkan persoalan yang membelit pemerintah saat ini, yaitu kurangnya dana.
Pada saat yang sama, Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WFP) memperingatkan, 15 juta penduduk Sudan, atau sepertiga dari populasinya, menghadapi kerentanan pangan akut. Dengan kemiskinan yang makin meningkat dari tahun ke tahun, dari 36,5 persen pada 2015 menjadi hampir 60 persen pada 2021, Direktur WFP Sudan Eddi Rowe menyebut, situasi yang dihadapi Sudan merupakan efek gabungan konflik, perubahan iklim, krisis ekonomi dan politik, hingga kenaikan biaya dan hasil panen yang tidak memuaskan.
Serealia
Perang di Ukraina yang dimulai saat Rusia menyerang pada 24 Februari mendisrupsi dunia. Proses pemulihan ekonomi global yang diharapkan bisa cepat terlaksana setelah dua tahun terakhir luluh lantak oleh pandemi Covid-19 kini berada pada titik nadir.
Sudan, yang 80 persen pasokan gandumnya bergantung pada Rusia dan Ukraina, hanyalah satu dari sekian banyak negara di Afrika yang terdampak tidak langsung perang Ukraina. Hampir 80 persen produk berbahan dasar gandum di Afrika dipasok kedua negara yang berkonflik itu.
Tidak hanya itu, negara-negara Timur Tengah, seperti Mesir, Tunisia, Lebanon, Irak, dan Maroko, juga bergantung pada gandum Ukraina dan Rusia. Secara global, kedua negara menjadi pemasok 80 persen minyak biji matahari, 29 persen gandum, 19 persen jagung, dan sebagian pupuk.
Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2019 menyebutkan, rata-rata produksi gandum dunia mencapai 750 juta ton, dengan produsen utamanya Eropa, kawasan Amerika Utara, dan sebagian Asia (China dan India). Sebagian besar konsumen berada di Asia dan Afrika, termasuk Sudan, yang menjadikan wilayah ini sebagai pengimpor gandum utama.
Baca juga : Kelaparan Global Memburuk, PBB Upayakan Akses Ekspor Gandum Ukraina
Dwi Andreas Santosa, pakar pangan IPB University, saat dihubungi akhir pekan lalu mengatakan, sirkulasi pangan global akan semakin terdisrupsi dan berpotensi kehilangan produksi hingga 60 juta ton gandum serta 38 juta ton jagung dan jelai. Potensi kehilangan bahan pangan utama dunia itu, menurut dia, bisa berujung pada pergolakan tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga regional.
Dikutip dari jurnal SIPRI nomor 11, November 2020, tim penulis Jiayi Zhou, Lisa Maria Dellmuth, Kevin M Adams, Tina-Simone Neset, dan Nina von Uexkull menyebutkan, kerawanan pangan yang dimulai dengan konflik bersenjata bisa berujung pada kerusuhan sosial, hingga akhirnya memiliki dampak geopolitik. Situasi itu pernah terjadi di Brasil, Meksiko, hingga wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara tahun 2008, yang berujung pada peristiwa Musim Semi Arab 2010-2011.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengingatkan hal yang sama. Disrupsi bahan pangan global akan menjadi momok bagi warga dunia, tidak hanya di masa perang, tetapi juga selama beberapa tahun mendatang.
Guterrres, dikutip dari laman The Economist, mengatakan, tingginya harga kebutuhan pokok yang telah naik beberapa kali lipat menambah jumlah orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dari semula 440 juta orang menjadi 1,6 miliar jiwa. Sebanyak 250 juta orang di antaranya telah berada di ambang kelaparan.
Situasi itu tidak terlepas dari tingginya ketergantungan sumber pangan sebuah negara pada negara lain. Selain itu, sumber bahan pangan pokok lain yang bisa menjadi pengganti apabila sewaktu-waktu terjadi disrupsi minim. Negara-negara miskin dan berkembang bergantung pada produksi bahan pangan dari negara maju akibat pergeseran budaya makan dan bahan yang dikonsumsi setelah beberapa dekade,
Hasil studi FAO yang terbit tahun 2013, dikutip dari laman UN.org, menyebutkan, dalam skenario normal, untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia tahun 2050, dunia membutuhkan peningkatan hingga 70 persen dari basis perhitungan tahun 2009, yakni sekitar 1,5 miliar ton karbohidrat. Ini untuk memenuhi kebutuhan penduduk Bumi yang jumlahnya mencapai hampir 10 miliar jiwa. Ketersediaan kalori harian rata-rata dunia diproyeksikan meningkat dari 2.789 kilokalori (kkal) per orang per hari pada 2000 menjadi 3.130 kkal per orang pada 2050, atau meningkat 12 persen.
Baca juga : Mesir dan Krisis Ukraina, dari Gandum hingga Air
Untuk memenuhi asupan kalori itu, FAO memproyeksikan serealia akan memainkan peranan penting bagi ketahanan pangan setidaknya hingga tahun 2050. Serealia dan berbagai produk pangan sumber karbohidrat menyumbang separuh dari asupan kalori dan protein harian bagi penduduk di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Untuk itu, FAO menyatakan, pertumbuhan populasi dunia harus dibarengi dengan peningkatan produktivitas sereal dan bahan pangan sumber karbohidrat selama beberapa dekade ke depan, dalam batas-batas tertentu.
Semakin tingginya kebutuhan pangan pada tahun-tahun mendatang berbanding terbalik dengan beberapa faktor pendukung, seperti lahan dan sumber daya air. Berdasarkan perhitungan World Research Institute, setidaknya dibutuhkan lahan seluas dua kali ukuran wilayah geografis India untuk ditanami bahan pangan sumber karbohidrat, mulai dari padi, gandum, dan tanaman serealia lainnya.
Akan tetapi, hal itu bertolak belakang dengan upaya global untuk mengurangi laju penggundulan hutan atau beralihnya fungsi hutan heterogen, kemudian dialihfungsikan sebagai lahan pertanian. Sebagai alternatif, pengembangan sistem pertanian baru menggunakan lahan terbatas atau lahan vertikal menjadi pilihan masuk akal mengingat warga dunia harus menahan laju pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius pada tahun 2050.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan dari negara maju, Dwi Andreas mendorong diversifikasi sumber bahan pangan, terutama yang digunakan sebagai sumber karbohidrat. Serealia, dalam hal ini produk pangan berbentuk biji-bijian, diyakini akan tetap menjadi bahan pangan pokok yang dibutuhkan manusia.
Menurut FAO, selain padi dan gandum, ada sekitar 15 jenis serealia lain yang menjadi bahan pangan pokok penghasil karbohidrat, seperti oat, granola, rye atau gandum hitam, barley atau jelai, hingga soba (buckwheat).
Baca juga : Harga Pangan Global Capai Rekor Tertinggi Satu Dekade
Akan tetapi, tidak semua negara berhasil mengembangkan varietas tersebut. Untuk itu, Dwi Andreas menyarankan agar sumber karbohidrat lain terus dikembangkan guna mengurangi ketergantungan dari produk pangan negara maju. Di Indonesia, dia menyebut, sumber karbohidrat seperti ubi, singkong, sagu, dan sorgum yang banyak ditemui di wilayah Indonesia timur, khususnya Nusa Tenggara Timur.
Ia mengakui, tidak akan mudah mengubah ketergantungan sebuah negara atas produk pangan tertentu, seperti halnya warga Indonesia terhadap beras, yang saat ini mengimpor dari Thailand. ”Butuh waktu. Tapi, hal ini juga dijalankan ketika gandum sudah dikenal dan menjadi sumber pokok bahan baku pangan di luar beras,” katanya.
Energi
Situasi keamanan pasokan energi tidak kalah rumit dibandingkan ketergantungan sebuah negara pada produk bahan pangan tertentu dari negara lain. Ini terjadi di tengah serbuan Rusia ke Ukraina. Ketergantungan negara-negara Eropa yang sangat besar terhadap pasokan gas Rusia membuat pemerintah dan warganya kalang kabut ketika Gazprom memutuskan untuk mengurangi penyaluran gas ke Jerman dan Austria.
Negara-negara Eropa Barat yang sebagian besar berstatus sebagai negara maju memilih menggunakan gas alam untuk memenuhi sumber energi mereka sebagai pengganti sumber energi fosil, salah satu sumber polutan dan penyumbang kenaikan gas rumah kaca. Gas alam digunakan sebagai sumber energi alternatif di masa transisi, dari sumber energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) secara penuh.
Jerman, yang sebelumnya menggunakan nuklir sebagai salah satu sumber bauran energinya, memilih menutup enam pembangkit listrik tenaga nuklir secara bertahap sejak 2021. Tiga PLTN terakhir akan ditutup akhir tahun ini. Eropa pun mulai menjalani masa transisi dengan menggunakan gas alam.
Baca juga : Transisi Energi dan Krisis Iklim
Akan tetapi, perang Ukraina membuat Jerman dan Austria berpikir ulang soal hubungannya dengan Rusia dan pasokan gasnya. Apalagi setelah Uni Eropa secara kolektif memutuskan untuk mulai mengurangi ketergantungan terhadap pasokan gas Rusia dan mencari sumber baru. Ternyata tidak mudah.
Pada saat yang sama, Rusia telah memulai mengurangi pasokan gas alam melalui jaringan pipa Nordstream 1. Kebijakan terbaru yang diambil Gazprom dengan dalih perbaikan jaringan pipa ini membuat pemimpin kedua negara memutuskan kembali mengaktifkan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara.
Energywiende, atau lebih dikenal dengan istilah transisi energi di Jerman, saat ini terancam setidaknya untuk sementara waktu. Begitu juga di Eropa, yang sebagian besar berencana sesegera mungkin menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, termasuk batubara dan minyak.
Ketergantungan Eropa terhadap gas alam Rusia dinikmati oleh ”Negeri Beruang Merah” sebagai sebuah pengaruh geopolitik. Hal ini sama seperti negara-negara penghasil minyak yang harus berpikir ulang mengenai pengaruh global mereka karena semakin menguatnya desakan transisi energi dari minyak atau batubara ke energi baru terbarukan.
Penurunan pendapatan negara dari penjualan bahan bakar fosil berpotensi mengganggu stabilitas negara-negara yang belum mempersiapkan ekonomi mereka secara memadai. Negara-negara Teluk penghasil minyak sejak lama memiliki kesadaran yang memadai untuk segera melakukan transisi energi. Apalagi, menurut catatan Badan Energi Terbarukan Internasional (Irena), biaya produksi energi baru terbarukan mengalami penurunan signifikan. Biaya produksi panel surya sudah turun hingga 77 persen. Sementara biaya produksi energi angin turun hingga 22 persen sejak diperkenalkan pada 2010.
Lebih jauh lagi, Irena menghitung harga penyimpanan berbasis baterai akan turun hingga 60 persen pada 2025. Hal itu akan berdampak pada harga kendaraan listrik berbasis baterai yang diperkirakan setara dengan kendaraan konvensional dengan bahan bakar fosil pada tahun yang sama.
Mencapai pasokan energi baru dengan 100 persen bauran dari energi baru terbarukan, dalam pandangan Irena, bisa dilakukan. Albania, Norwegia, Paraguay, dan Tajikistan adalah contoh negara dengan pasokan energi listrik berasal dari pembangkit listrik tenaga air. Sementara Brasil, Kosta Rika, Selandia Baru, dan Kenya menghasilkan 80 persen pasokan listriknya dari kombinasi tenaga air, panas bumi, angin, biomassa, dan tenaga surya.
Walau terbuka peluang untuk tidak menggantungkan ketersediaan energi dalam negeri dari luar, yang perlu diperkuat adalah penguasaan teknologi untuk mengubah potensi sumber energi seperti matahari, air, biomassa, dan angin menjadi energi yang bisa dimanfaatkan warga. Jika ini bisa dikuasai, swasembada energi bisa tercapai dan ketergantungan akan jauh berkurang. (AFP)