Sukun Tahan Perubahan Iklim, Berpotensi Menjadi Pangan Masa Depan
Ketika sejumlah tanaman pokok lain dari biji-bijian terancam pemanasan global, sukun diprediksi masih bisa bertahan. Tanaman endemik Indonesia yang bernutrisi ini dianggap sebagai sumber pangan masa depan.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah sumber pangan biji-bijian, seperti beras, jagung, dan kedelai, dinilai sangat rentan menghadapi perubahan iklim. Riset terbaru menemukan, buah sukun yang kaya nutrisi dan merupakan endemik di Kepulauan Indonesia relatif tahan perubahan iklim sehingga berpotensi menjadi sumber pangan masa depan.
Daya tahan sukun terhadap perubahan iklim ini disampaikan para peneliti dari Northwestern University dalam laporan kajian terbaru di PLOS Climate pada Rabu (17/8/2022). Selain memiliki data tahan terhadap perubahan iklim, tanaman sukun (Artocarpus communis Forst) juga sangat cocok untuk tumbuh di daerah yang mengalami kerawanan pangan tingkat tinggi sehingga bisa menjadi bagian dari solusi untuk krisis pangan global.
”Sukun adalah spesies yang diabaikan dan kurang dimanfaatkan, padahal relatif tangguh dalam proyeksi perubahan iklim kami,” kata Daniel Horton dari Northwestern University, penulis senior studi tersebut, dalam keterangan yang dirilis universitas.
Perubahan iklim lebih lanjut menekankan perlunya diversifikasi pertanian sehingga dunia tidak bergantung pada sejumlah kecil spesies tanaman untuk memberi makan banyak orang.
Menurut Horton, temuan ini menjadi kabar baik karena saat ini bahan pokok lain yang menjadi andalan konsumsi global, seperti beras, jagung, dan gandum. Dalam kondisi yang sangat panas, beberapa tanaman pokok dari biji-bijian itu kesulitan bertahan dan hasil panennya menurun.
”Saat kami menerapkan strategi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, sukun harus dipertimbangkan dalam ketahanan pangan,” katanya.
Horton merupakan asisten profesor ilmu Bumi dan planet di Northwestern's Weinberg College of Arts and Sciences dan memimpin Climate Change Research Group. Sementara yang menjadi penulis pertama makalah ini adalah Lucy Yang, mantan mahasiswa di laboratorium Horton. Dalam penelitian ini, Horton dan Yang bekerja sama dengan ahli sukun Nyree Zerega, Direktur Program Biologi dan Konservasi Tumbuhan dari Chicago Botanic Garden.
Selain kaya karbohidrat, makanan kaya nutrisi ini juga tinggi serat, vitamin, dan mineral. Di kawasan tropis, orang telah memakan sukun selama ribuan tahun, baik dikukus, dipanggang, digoreng, atau difermentasi. Sukun juga dapat diubah menjadi tepung untuk memperpanjang umur simpan.
”Pohon sukun bisa hidup puluhan tahun dan menghasilkan buah dalam jumlah besar setiap tahun,” kata Zerega. ”Di beberapa budaya ada tradisi menanam pohon sukun ketika seorang anak lahir untuk memastikan anak itu akan memiliki makanan selama sisa hidupnya.”
Daya tahan sukun
Dalam kajian ini, para peneliti ingin melihat pengaruh peningkatan suhu dan perubahan iklim pada kemampuan sukun untuk tumbuh. Para peneliti terlebih dahulu menentukan kondisi iklim yang diperlukan untuk membudidayakan sukun. Kemudian, mereka melihat bagaimana kondisi ini diprediksi akan berubah di masa depan, antara tahun 2060 dan 2080.
Untuk proyeksi iklim di masa depan, mereka melihat dua skenario, yaitu skenario yang mencerminkan emisi gas rumah kaca yang tinggi dan skenario yang di mana emisi relatif stabil. Dalam kedua skenario, sebagian besar wilayah yang cocok untuk budidaya sukun tetap tidak terpengaruh.
Sekalipun demikian, di daerah tropis dan subtropis, area yang cocok untuk menanam sukun berkurang 4,4-4,5 persen. Para peneliti juga menemukan sejumlah wilayah baru yang cocok bagi pertumbuhan pohon sukun, misalnya di sub-Sahara Afrika. Pohon sukun tidak ditanam secara tradisional sehingga ke depan dapat menyediakan sumber makanan yang penting dan stabil.
”Meskipun fakta bahwa iklim akan berubah secara drastis di daerah tropis, iklim tidak diproyeksikan untuk menyebabkan sukun menjadi sulit tumbuh dan berkembang,” kata Yang.
Menurut dia, dari perspektif iklim, ke depan kita bisa menanam sukun di sub-Sahara Afrika. ”Ada petak besar di Afrika, di mana sukun bisa tumbuh hingga berbagai tingkat. Hanya saja, hal itu belum diperkenalkan secara luas di sana. Dan, untungnya, sebagian besar varietas sukun tidak berbiji dan memiliki kemungkinan kecil untuk menjadi invasif,” katanya.
Menurut Zerega, setelah ditanam, pohon sukun dapat bertahan lebih lama terhadap panas dan kekeringan dibandingkan tanaman pokok lainnya. Terlebih lagi, manfaatnya tidak berakhir di situ.
Karena merupakan tanaman tahunan, sukun juga membutuhkan input energi yang lebih sedikit (termasuk air dan pupuk) dibandingkan tanaman yang perlu ditanam kembali setiap tahun. Seperti pohon lainnya, tanaman ini juga menyerap karbon dioksida dari atmosfer selama masa hidupnya.
”Banyak tempat sukun bisa tumbuh memiliki tingkat kerawanan pangan yang tinggi,” kata Yang. ”Sering kali, mereka memerangi kerawanan pangan dengan mengimpor tanaman pokok, seperti gandum atau beras, dan itu menimbulkan biaya lingkungan dan jejak karbon yang tinggi. Namun, dengan sukun, komunitas ini dapat memproduksi makanan lebih lokal.”
Ketika perubahan iklim, pandemi Covid-19, dan perang Ukraina-Rusia memperburuk kerawanan pangan global, tim Northwestern percaya bahwa produksi sukun dan makanan lain yang terabaikan dan kurang dimanfaatkan dapat ditingkatkan untuk membangun lebih banyak ketahanan dalam sistem pangan global. Di sisi lain, hal ini juga bisa memperkuat keanekaragaman hayati dari produksi pangan.
”Perubahan iklim lebih lanjut menekankan perlunya diversifikasi pertanian sehingga dunia tidak bergantung pada sejumlah kecil spesies tanaman untuk memberi makan banyak orang,” kata Zerega. ”Manusia sangat bergantung pada segelintir tanaman untuk menyediakan sebagian besar makanan kita, tetapi ada ribuan tanaman pangan berpotensi di antara sekitar 400.000 spesies tanaman yang dijelaskan. Ini menunjukkan perlunya diversifikasi pertanian dan tanaman secara global.”
Endemik Indonesia
Walaupun sukun saat ini dikenal dari Kepulauan Pasifik, sejumlah studi lain menyebutkan tanaman ini justru berasal dari wilayah Malaysia dan Indonesia, ketika masih bergabung menjadi Paparan Sunda. Ini, misalnya, diungkapkan Vietmeyer (1992) dalam Purwantiyo (2007). Selain di Paparan Sunda, sukun juga dipercaya sebagai endemik Papua-New Guinea, yang kemudian disebarkan ke Kepulauan Pasifik.
Orang Eropa menemukan sukun pada akhir tahun 1500-an. Sir Joseph Banks, yang berlayar dengan HMS Endeavour bersama Kapten Cook ke Tahiti pada tahun 1769, menyadari potensi sukun sebagai tanaman pangan untuk daerah tropis lainnya. Dia mengusulkan kepada Raja George III bahwa ekspedisi khusus ditugaskan untuk mengangkut tanaman sukun dari Tahiti ke Karibia.
Di Indonesia, tanaman sukun terdapat di hampir semua kawasan dan dikenal dengan berbagai nama lokal, seperti suune (Ambon), amo (Maluku Utara), kamandi, urknem, atau beitu (Papua), karara (Bima, Sumba dan Flores), susu aek (Rote), naunu (Timor), hatopul (Batak), dan baka atau bakara (Sulawesi Selatan).