Multilateralisme menjadi opsi terbaik untuk mengatasi krisis pangan di depan mata. Pertemuan Tingkat Sherpa G20 Ke-2 menyoroti pentingnya mencegah proteksionisme dagang dan mendorong kerja sama multilateral.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS – Ketahanan pangan global sedang terganggu di tengah krisis rantai pasok, ketegangan geopolitik, dan menguatnya tren proteksi pangan. Pertemuan Kedua Tingkat Sherpa G20 menyuarakan perlunya pelonggaran restriksi ekspor serta mendorong perdagangan pangan yang transparan dan dapat diprediksi demi mencegah krisis pangan berkelanjutan.
Akhir-akhir ini, jumlah negara yang menerapkan pembatasan ekspor pangan bertambah. Per Juni 2022, berdasarkan data yang dirangkum dari Food and Fertilizer Export Restrictions Tracker oleh International Food Policy Research Institute (IFPRI), 20 negara masih aktif membatasi ekspor komoditas pangan, lima negara menerapkan perizinan khusus ekspor, dan tiga negara menaikkan pajak atau pungutan ekspor.
Sejumlah komoditas pangan yang dibatasi ekspornya antara lain gandum dan turunannya, gula, daging sapi, daging ayam, kedelai dan turunannya, minyak nabati, beras, serta ada pula restriksi ekspor terhadap produk pupuk yang otomatis ikut berdampak signifikan pada ketahanan pangan.
Dalam hari pertama Pertemuan Kedua Tingkat Sherpa G20 (The 2nd Sherpa G20 Meeting), Minggu (10/7/2022), di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, persoalan krisis pangan yang kini melanda banyak negara pun menjadi salah satu isu yang mengemuka saat membahas kemajuan pembahasan Kelompok Kerja Agrikultur (Agriculture Working Group).
Ketua Kelompok Kerja Agrikultur Kasdi Subagyono mengatakan, Indonesia sebagai presidensi G20 mendorong terwujudnya perdagangan pangan yang lebih transparan dan bisa diprediksi demi mencegah terjadinya krisis pangan berkelanjutan di tengah ketidakpastian ekonomi dunia saat ini. Salah satunya, mendorong multilateralisme untuk mengatasi krisis pangan.
Di satu sisi, ia dapat memaklumi reaksi yang muncul dari banyak negara untuk menutup diri dan mengeluarkan kebijakan proteksionis demi menjaga pasokan di dalam negeri. Namun, tren pembatasan ekspor yang sedang menguat itu menyebabkan jebakan pangan dan mendorong banyak negara, khususnya negara berkembang, semakin rentan terkena krisis.
“Kita mengharapkan perdagangan yang bisa diprediksi dan transparan. Banyak yang menyuarakan agar “blokir” atau restriksi pangan tidak perlu dilakukan, terutama ke negara berkembang yang daya tahan pangannya masih lemah, mereka justru harus didukung,” kata Kasdi, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian.
Indonesia ikut menyuarakan perlunya pelonggaran restriksi ekspor itu, terutama mengingat ketergantungan yang cukup kuat pada bahan baku gandum dari Ukraina. Namun, Kasdi menegaskan, dalam pertemuan Sherpa, belum ada keputusan atau kesimpulan yang diambil.
Tren pembatasan ekspor yang sedang menguat menyebabkan jebakan pangan dan mendorong banyak negara, khususnya negara berkembang, semakin rentan terkena krisis.
Forum selama empat hari itu hanya akan mengulas dan memfinalisasi kemajuan pembahasan dari setiap kelompok kerja, sebelum pokok-pokok pikiran itu dituangkan dalam bentuk draf teks deklarasi pemimpin KTT G20. “Sifatnya baru mengajukan usulan dan harapan agar larangan ekspor tidak terlalu ketat, setidaknya sudah disuarakan di internal G20,” katanya.
Saat membuka pertemuan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan pentingnya meningkatkan semangat multilateralisme di tengah tantangan kondisi global. Multilateralisme, ujarnya, telah terbukti menjaga perekonomian dunia tidak terlalu terpuruk selama pandemi. Kali ini, multilateralisme juga menjadi opsi terbaik untuk mengatasi krisis baru di depan mata.
“Kita tidak ada pilihan lain selain menguatkan rasa percaya dan saling menghormati. Kalau kita tidak bisa mengesampingkan perbedaan dan bekerja sama, kita tidak akan bisa mengatasi tantangan global yang kompleks saat ini,” ujar Retno.
Keinginan untuk mendorong multilateralisme dan membendung polarisasi juga disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat membuka pertemuan hari pertama. Ia mengibaratkan G20 seperti restoran bintang lima yang seharusnya bisa menyajikan menu utama yang nikmat. Namun, karena kokinya sibuk saling bertengkar di dapur, makanan yang dinanti tak kunjung jadi.
“Dengan komitmen dan niat yang kuat, kita bisa bersama-sama mencari solusi untuk mengatasi krisis saat ini, sekaligus melanjutkan agenda prioritas dari presidensi G20,” katanya.
Multilateralisme menjadi opsi terbaik untuk mengatasi krisis baru di depan mata.
Tanpa “walk out”
Pertemuan yang bersifat tertutup di hari pertama itu juga membahas mengenai dampak perang Rusia-Ukraina terhadap ketahanan pangan global. Konflik tersebut berdampak signifikan pada kondisi rantai pasok global, mengingat kedua negara itu termasuk sumber pemasok komoditas pangan dan energi utama di dunia.
Dalam forum, beberapa negara sempat mempertanyakan secara langsung ke utusan delegasi Rusia perihal invasi Rusia ke Ukraina yang berdampak pada tertutupnya jalur perdagangan gandum global. Sampai sekarang, negosiasi diplomatik agar Rusia membuka koridor jalur aman untuk perdagangan gandum dan biji-bijian dari Ukraina memang belum mencapai titik terang.
Meski demikian, Kasdi mengatakan, diskusi tetap berlangsung kondusif tanpa ada perwakilan negara yang melakukan walk out meninggalkan ruangan sebagaimana sempat dilakukan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov pada Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 (Foreign Ministers’ Meeting) di Bali, 7-8 Juli 2022 lalu.
Usai sesi pertemuan utama, Minggu sore, para delegasi negara-negara anggota G20 melanjutkan pertemuan secara informal. Sesi tertutup itu diadakan di atas kapal pesiar Lako Sae Cruise yang mengelilingi perairan Labuan Bajo selama 2 jam 45 menit.
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Edi Prio Pambudi mengatakan, sesi tersebut sengaja diadakan di atas kapal pesiar untuk menyejukkan tensi geopolitik yang kini tengah memanas. Namun, kendati bersifat santai, pembahasan di atas kapal pesiar tetap akan menyangkut isu krusial saat ini. “Ini pendekatan baru yang berbeda, supaya suasananya lebih bebas dan cair,” kata Edi.