Arab Saudi kini memasuki era baru. Pemerintah dan masyarakat bergegas mengembangkan ekonomi yang lebih mandiri, tanpa terus tergantung dari penghasilan minyak. Berbagai sektor pun semakin terbuka.
Oleh
ILHAM KHOIRI
·5 menit baca
”Sama-sama,” kata Sameeri (39), perempuan resepsionis, saat mendengar kata ”syukran” (terima kasih) dari jemaah haji asal Indonesia di Hotel Rose Garden, Misfalah, Mekkah, Arab Saudi, Jumat (24/6/2022) pagi. Jemaah itu diberi kunci cadangan setelah kunci kamarnya tertinggal di dalam.
Kelar satu jemaah, datang sejumlah anggota jemaah lain yang mengadukan hal serupa. Namun, mereka berbicara dalam bahasa Indonesia, malah beberapa dengan bahasa Sunda. Sempat celingukan sebentar, Sameeri lantas menyodorkan kertas dan pulpen. Jemaah menulis nomor kamar, lalu resepsionis itu memberikan kunci cadangan.
”Saya sudah setahun bekerja di hotel ini,” kata perempuan yang tinggal di Kota Mekkah itu. Saat bekerja di hotel, dia mengenakan jilbab dan burka warna hitam yang menutup seluruh wajahnya, kecuali mata.
Sameeri bercerita, sebenarnya sudah lama perempuan dizinkan bekerja di negeri itu. Namun, jenis dan sektor pekerjaan yang dapat dimasuki perempuan masih terbatas pada bidang-bidang tertentu. Jumlah perempuan pekerja pun terbatas. Kini, hampir semua sektor menerima pekerja perempuan, terutama warga lokal Arab. ”Ini kabar yang menggembirakan,” kata Sameeri dengan mata berbinar.
Dua pekan sebelumnya, Jumat (10/6), saat makan malam di Turkish Mazaq Restourant di kawasan Awali, Mekkah, ada juga seorang perempuan penyaji makanan. Dia membawakan jus delima dan roti. Perempuan itu mengenakan jilbab dan burka yang terbuka di bagian mata.
”Tiga tahun lalu, sulit menemukan perempuan bekerja di restoran seperti ini,” kata Konsul RI di Jeddah, Nasrullah Jasam, saat makan malam.
Selain perempuan pekerja di ruang publik, beberapa kawasan di Mekkah, katakanlah seperti di Awali dan Syauqiyah, sekarang juga dilengkapi dengan gerai makanan cepat saji atau gerai kopi dari brand global Amerika Serikat. Gerai-gerai itu mudah dijumpai di pinggir jalan. Buka dari siang sampai malam.
Alauddin Umar Siddiq (28), warga Indonesia yang lahir dan tinggal di Mekkah, mengungkapkan, kafe dalam bahasa Arab sering disebut ”maqha”. Istilah itu merupakan bentuk keterangan tempat dari kata ”qahwah” yang berarti kopi. Kafe umumnya terdapat di kawasan hunian elite. Harga kopi di situ sekitar 20 riyal (setara Rp 80.000) per gelas.
”Kalau saya lebih senang ngopi di warung kecil pinggir jalan biasa, lebih murah,” katanya.
Seusai shalat Jumat di Masjidil Haram, wartawan Kompas, Ilham Khoiri, bersama beberapa wartawan dari Indonesia mencoba blusukan ke pusat perbelanjaan Zamzam Tower. Ini gedung pencakar langit yang menjadi penanda kota dan dapat terlihat dari sekeliling Mekkah. Di beberapa lantai terdapat gerai makan cepat saji dari brand global. Gerai-gerai itu cukup ramai pengunjung. Sebagian mereka adalah anggota jemaah haji dari pelbagai negara yang baru kelar menunaikan umrah di Masjidil Haram.
Saat mencicipi makanan cepat saji di situ, rasanya kurang lebih serupa dengan brand itu di Indonesia. Hanya saja, porsinya jumbo. Satu porsi ayam goreng biasa di Arab, misalnya, cukup memadai untuk disantap dua orang Indonesia. Seorang pelayan di sini mencoba berbasa-basi. ”Bagus-bagus,” katanya sambil mengangkat jempol tangan saat memulai percakapan untuk pemesanan makanan.
Perempuan bekerja dan munculnya kafe hanya sebagian dari penanda gejala perubahan di Arab Saudi. Gejala lain terlihat dari emansipasi perempuan di pelbagai bidang. Kini, beberapa kampus menerima mahasiswi serta dosen perempuan pengajar. Perempuan juga boleh menyetir mobil di jalan.
Di bidang kesenian, acap digelar pentas seni. Peminat film juga bisa menikmati film baru di gedung bioskop. Pariwisata digenjot dengan dibuka taman-taman baru. Di bidang pendidikan, kini sekolah atau perguruan tinggi mengajarkan wacana keagamaan yang lebih moderat.
Mekkah memperlihatkan sebagian gejala. Gejala lebih kentara dapat ditunjukkan di Jeddah dan Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Di dua kota itu, geliat kehidupan modern lebih berdenyut. Tak hanya siang, bahkan lebih hidup pada malam hari. Maklum, warga lokal justru lebih banyak beraktivitas di malam hari ketimbang pada pagi hari.
Nasrullah Jasam menjelaskan, dalam penyelenggaraan haji, Pemerintah Arab Saudi memperlihatkan semangat progresif. Misalnya, saat jemaah internasional memerlukan miqat (batas) yang mudah untuk umrah atau haji, ditetapkanlah miqat di bandara di Jeddah. Di situ disediakan paviliun yang nyaman bagi jemaah untuk mengenakan kain ihram dan shalat sunat.
Layanan jalur cepat (fast track) diberikan untuk jemaah haji Indonesia yang berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta di Kota Tangerang, Banten. Pemerintah Arab Saudi mengirimkan petugas untuk memeriksa imigrasi jemaah sampai kelar di Jakarta. Ketika tiba di Jeddah atau Madinah, jemaah tinggal keluar bandara dan langsung diantar ke bus menuju hotel. Tak ada lagi pemeriksaan imigrasi di Arab Saudi.
”Sekarang juga diterapkan e-visa dan e-haj untuk memenuhi pengajuan visa dan pembayaran haji melalui jalur elektronik. Semua lebih mudah dan lebih cepat,” katanya.
Menurut pengajar antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Dhahran, Arab Saudi, Sumanto Al Qurtuby, semua perubahan itu merupakan turunan dari Visi Arab Saudi 2030, yang dicanangkan pada 2016 oleh Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dan Putra Mahkota Muhammad bin Salman al-Saud. Visi ini menargetkan negara tersebut bisa mandiri secara ekonomi, tidak tergantung semuanya dari minyak, pada tahun 2030.
Untuk itu, banyak sekali proyek reformasi yang digenjot dalam berbagai bidang di luar perminyakan. Pemerintah Arab Saudi mengembangkan pendidikan, wisata, teknologi, pertanian, serta menciptakan lapangan kerja baru dan membangun smart city. Semua untuk menopang perekonomian ke depan agar tak terus tergantung dari minyak yang selama ini memasok 80 persen dari total pendapatan negara.
Demi mencapai kemajuan, Pemerintah Arab Saudi mengambil langkah progresif serta membuka diri untuk bekerja sama dengan negara-negara maju lain. Sebenarnya keterbukaan pemerintahan saat ini merupakan kelanjutan dari langkah progresif yang juga diambil oleh pemerintah raja-raja sebelumnya. Sejauh ini, langkah itu mendapat respons positif.
”Ada banyak dampak positif dari keterbukaan yang dirasakan masyarakat. Masyarakat tak lagi datang ke Bahrain atau Emirat hanya untuk melihat film atau pentas seni. Masyarakat menikmati pembangunan wisata. Pendidikan dan lapangan kerja semakin terbuka untuk generasi muda dan perempuan,” katanya.