Masjidil Haram, tempat Kabah berada, di Mekkah, Arab Saudi, menjadi situs sangat penting bagi umat Islam. Pada musim haji, jemaah dari berbagai penjuru dunia berkumpul, beribadah, saling terhubung dalam persaudaraan.
Oleh
ILHAM KHOIRI
·4 menit baca
Setiap Jumat, Masjidil Haram di Mekkah, Arab Saudi, menjadi pusat kumpul manusia dari berbagai belahan dunia. Apa pun warna kulit, bahasa, negara, pendidikan, kaya atau miskin, semuanya bersimpuh setara di depan Kabah. Kemuliaan hanya milik Allah.
Seperti Jumat (17/6/2022), jemaah berdatangan ke Masjidil Haram sejak pagi. Lama sebelum shalat Jumat dimulai pada tengah hari, mereka memenuhi ruangan di beberapa lantai yang memutari Kabah. Sambil menunggu azan, jemaah duduk berzikir, termenung, atau mendaras Al Quran.
Di lantai bawah, orang-orang terus tawaf atau berkeliling Kabah seraya baca doa. Pakaian ihram putih-putih yang mereka kenakan menyatu dengan lantai marmer masjid. Siang dengan suhu udara 40-an derajat celsius seperti diabaikan saja.
Di lantai masjid, penampilan jemaah yang berasal dari sejumlah negara menciptakan pemandangan unik. Ada yang berkulit sawo matang, hitam, merah, kuning langsat, atau putih. Ada yang berhidung mancung, besar, kecil, atau pesek. Ada yang berperawakan tinggi, gempal, kerempeng, atau pendek. Berambut lurus, keriting, merah, coklat, atau hitam. Pun bahasa yang terucap terdengar berbeda-beda. Tanpa saling kenal, semua duduk bersama.
Sekitar pukul 11.50 siang waktu Arab Saudi, azan berkumandang. Lagunya sederhana, tapi merdu dan memendar ke mana-mana. Setelah jeda dan azan kedua, khatib menyampaikan khotbah dalam bahasa Arab. Dia berpesan bahwa haji adalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Barang siapa berniat haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berdebat dalam masa mengerjakan haji.
Setelah mendirikan dua rakaat, shalat Jumat pun kelar. Jemaah berdoa, saling memberi salam kepada jemaah lain di dekatnya. Sebagian kemudian merapat ke depan untuk melihat atau memotret Kabah dengan telepon genggam. Sebagian lagi mengambil foto selfie alis swafoto dengan latar belakang Kabah.
Bagaimana perasaan jemaah? ”Shalat Jumat di Masjidil Haram memberikan ketenangan, kedamaian. Semua manusia duduk sama rendah di hadapan Allah Yang Mahatinggi,” kata Munawar Syarif (60), asal Mumbai, India. Dia sudah 10 kali berhaji, tetapi tak pernah bosan mengunjungi Baitullah.
Tak jauh dari situ, ada anggota jemaah haji asal Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat. Namanya Sultan Made Ali (48). Seusai khusyuk berdoa, dia bercerita telah menyelesaikan ibadah Arba’in atau shalat 40 waktu di Masjid Nabawi di Madinah. Kini, begitu tiba di Mekkah, dia bahagia dapat shalat Jumat di Masjidil Haram, yang diriwayatkan memiliki banyak keutamaan.
”Saya tadi juga tawaf. Karena berada di lantai dua, putaran tawafnya melambung jauh, total sekitar 7 kilometer, dikerjakan sampai 1,5 jam,” katanya. Meski lelah, dia sangat terharu bisa beribadah langsung di depan Kabah.
Kesan serupa diungkapkan Ahmad Muhammad, pemuda asal Mesir. Mengutip banyak riwayat, dia bilang, shalat Jumat di Masjidil Haram punya keutamaan berkali-kali lipat. Dia menikmati shalat di sini karena bisa berjumpa dengan umat Islam dari berbagai belahan dunia dengan suasana persaudaraan. ”Kita semua dipertemukan di sini sebagai saudara. Saya menghargai umat Islam di Indonesia yang damai,” katanya saat wartawan Kompas memperkenalkan diri berasal dari Indonesia.
Sekira pukul 13.00 waktu Arab Saudi, sebagian jemaah berangsur keluar dari masjid. Di lorong jalan keluar, para askar—petugas keamanan Masjidil Haram yang berbaju seragam loreng—mengatur aliran manusia agar bergerak lebih tertib. Tiba di luar, langsung disambut sengatan terik matahari. Suhu udara sekitar 43 derajat celsius.
Jemaah sering berbagi senyum atau menyapa dengan mata karena banyak yang mengenakan masker. Sebagian mereka mengucapkan salam sebagai tanda doa keselamatan. Tidak banyak percakapan satu sama lain karena terhambat masalah bahasa yang berbeda. Namun, senyum atau tatapan mata gembira sudah cukup mengungkapkan pesan persahabatan.
Seorang anggota jemaah haji asal Cirebon, Jawa Barat, Mahmud Jawa (48), terharu dengan perilaku manusia yang membaur di Masjidil Haram. Perbedaan budaya, asal-usul, dan perawakan badan benar-benar tak menghalangi jemaah untuk menerima dan duduk berbarengan satu sama lain. Ketika imam shalat bilang ”shawwu” (luruskan) barisan, misalnya, seluruh jemaah langsung merapat, tanpa ada kecanggungan siapa yang berada di sampingnya. Sajadah yang sudah digelar bisa dipakai bersama.
”Kalau di Indonesia, ketika seseorang menggelar sajadah, ada kesan seolah lebar sajadah itu jadi kavlingnya. Padahal, lebar sajadah sering lebih luas dari yang dibutuhkan badan untuk shalat. Di sini, batasnya ditentukan oleh besaran badan. Kalau ada ruang kosong, tidak ada keberatan orang lain masuk,” tutur Mahmud.
Keistimewaan hanya diberikan berdasaran kebutuhan atas dasar kemanusiaan. Contohnya, memberi keleluasaan bagi jemaah yang menggunakan kursi roda. Atau untuk jemaah yang sakit dan perlu dievakuasi segera.
”Di Masjidil Haram, manusia dari seluruh penjuru dunia membaur tanpa strata. Semua sama, setara, di hadapan Allah Yang Mahakuasa,” kata Mahmud Jawa, yang juga anggota DPRD Cirebon.