Strategi ”Tembok Besar” China untuk Hadapi Pandemi Covid-19
Upaya China menangkis Covid-19 dari luar ini terdengar ekstrem, terutama bagi negara-negara lain yang mencoba hidup berdampingan dengan Covid-19. Proses penyaringan berlapis itu melelahkan dan memakan banyak biaya.
Tes usap PCR, karantina, dan pelacakan kontak. China masih berpegangan pada tiga ”senjata” itu untuk melawan pandemi Covid-19. Strategi itu berlaku baik untuk warga China di dalam negeri, warga China yang baru pulang dari luar negeri, maupun warga asing.
Protokol kesehatannya sama-sama ketat karena China tak mau lagi kecolongan, apalagi penularan Covid-19 dari luar China. Bagi negara berpenduduk sekitar 1,4 miliar jiwa itu, risikonya terlalu besar jika pandemi Covid-19 sampai tak terkendali. Apalagi masih banyak warga usia lanjut yang belum divaksin, sekitar seperlima dari populasi berusia 60 tahun ke atas.
Upaya menangkis Covid-19 dari luar ini terdengar ekstrem, terutama bagi negara-negara lain yang malah sudah mencoba hidup berdampingan dengan Covid-19 dengan melonggarkan kebijakan dan protokol terkait Covid-19. Khusus bagi pendatang dari luar negeri, penyaringan awal dilakukan dengan wajib karantina lima hari sebelum keberangkatan ke China. Sebelum masuk karantina, orang harus tes reaksi berantai polimerase (PCR) terlebih dahulu. Selama karantina, tes usap PCR dilakukan tiga kali. Sesampainya di kota-kota penyangga (buffer), orang masih harus karantina lagi selama 14 hari. Di kota tujuan akhir, mereka harus karantina lagi tujuh hari. Selama karantina, tetap ada tes usap PCR, tiga hari sekali.
Baca juga: China Cegah Nihil Covid-19 Jadi Nihil Ekonomi
Proses penyaringan berlapis itu melelahkan dan memakan banyak biaya. Namun, mau tak mau, setiap orang harus menjalani prosedur yang termasuk dalam kebijakan Presiden China Xi Jinping yang disebut ”nihil Covid-19 dinamis”. Kebijakan ini dinilai Perserikatan Bangsa-Bangsa bukan kebijakan yang efektif dan mempan membendung virus varian Omicron yang sangat mudah menular. Namun, China tetap berkeyakinan ini cara terbaik meski membuat rakyat bagai terbelenggu. Jika pandemi Covid-19 sampai tak terkendali, sistem layanan kesehatan China dikhawatirkan akan lumpuh.
Dinamis
Dalam berbagai media China, seperti China Daily, CGTV, dan kantor berita Xinhua, Pemerintah China kerap mencoba meluruskan konsep ”nihil Covid-19 dinamis” yang sering diartikan keliru oleh masyarakat dunia, terutama negara-negara Barat. Kebijakan ”nihil Covid dinamis” itu tidak bertujuan mencegah kasus hingga nol atau betul-betul tidak ada kasus. Liang Wannian, Kepala Panel Ahli Covid-19 pada Komisi Kesehatan Nasional China, menegaskan kebijakan itu upaya untuk mengendalikan Covid-19 secara aktif.
Dalam artikel yang dipublikasikan Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit China, Januari 2022, disebutkan, kebijakan itu merupakan strategi transisi yang diadopsi setelah strategi menahan Covid-19 berhasil dan ketika kekebalan populasi belum terbentuk dalam menghadapi risiko lanjutan kasus Covid-19 impor dan penularan varian yang tinggi. Intinya, Pemerintah China memilih mengambil langkah efektif dan komprehensif untuk menangani Covid-19 dengan melokalisasi kasus, memutus rantai penularan dengan cepat, dan mengakhiri epidemi tepat waktu.
China seperti ingin selalu memperingatkan bahwa pandemi Covid-19 ini belum berakhir dan seluruh dunia harus tetap waspada dan siaga. Perasaan senantiasa waswas dan khawatir seperti itu yang terasa selama proses menuju ke China dan saat berada di karantina di China. Selesai karantina, setiap warga asing atau pendatang yang hendak ke Beijing juga harus mengisi semacam aplikasi Peduli Lindungi.
Baca juga: Cegah Omicron, China Bergegas Tes Covid-19 Massal
China sudah menyiapkan aplikasi khusus bagi warga asing yang disebut Health Kit atau Jiankang Bao. Platform layanan informasi digital ini diluncurkan oleh Pusat Bank Data Beijing. Hanya dengan aplikasi ini orang bisa masuk Beijing dan memeriksa status kesehatan masing-masing. Seperti halnya Peduli Lindungi, aplikasi ini menjadi media terpenting untuk bisa mengakses lokasi dan mengendarai transportasi umum.
Sebagai bagian dari kebijakan ”nihil Covid-19 dinamis”, China tengah membangun ratusan ribu layanan tes usap PCR permanen di seluruh wilayah. Harian Financial Times, 9 Juni 2022, menyebutkan, kebijakan tes usap PCR massal dan karantina kemungkinan tetap diberlakukan hingga tahun 2023.
Seluruh aturan yang terkait kebijakan itu bersifat dinamis, bisa mendadak berubah. Seperti aturan karantina, semula 21 hari menjadi 14 hari. Semua bisa berubah bergantung pada situasi Covid-19. Warga Shanghai yang baru saja dibebaskan dari karantina selama dua bulan harus kembali masuk karantina dua hari dan tes usap PCR massal gara-gara ada kasus baru lagi.
Kota-kota besar di China sekarang diwajibkan memiliki lokasi tes usap PCR yang berjarak kurang dari 15 menit jalan kaki dari pemukiman warga. Lokasi tes usap PCR permanen itu dibangun perusahaan-perusahaan swasta di bidang kesehatan. Seluruh daerah juga diminta menyiapkan rumah sakit baru dan fasilitas karantina untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19.
Baca juga: China Yakin Kebijakan "Nihil Covid-19" Atasi Lonjakan Kasus
Tembok besar
Melihat situasi China sekarang, terbayang sejarah terbentuknya Tembok Besar. Setidaknya ada semangat yang serupa antara pembangunan infrastruktur pertahanan raksasa itu dan strategi China kini menakhodai pandemi Covid-19 dan berbagai tantangan ekonomi.
Nama Kaisar Dinasti Qin (221-206 SM), Kaisar Shi, paling lekat dengan sejarah Tembok Besar. Dia dikenal membangun tembok untuk menghalangi serangan dari kaum nomaden Asia Tengah. Sejatinya, tembok sudah dibangun secara sporadis setidaknya sejak 800 tahun SM.
Ketika itu belum ada kekaisaran China. Negara-negaranya masih berupa kota-kota mandiri dengan wilayah masing-masing. Setiap negara membangun tembok-tembok pertahanan karena mereka saling berperang satu sama lain. Kerajaan-kerajaan kecil saling menyerang. Kerajaan-kerajaan besar pecah akibat perebutan takhta. Selama hampir 400 tahun, China memasuki era yang disebut Zaman Peperangan (Zhan Guo). Singkat cerita, Kerajaan Qin yang berada di tepi barat tumbuh sebagai kekuatan politik dan militer yang disegani.
Di bawah Kaisar Shi, pada abad ke-2 SM, Qin menjadi dinasti pertama yang menyatukan kerajaan kecil-kecil tersebut. Ini cikal-bakal China sebagai kekaisaran terpusat. Salah satu wujud pertahanannya, Kaisar Shi juga menyatukan tembok-tembok kerajaan yang sudah ada dari dulu dan membangun tembok baru.
Total, Dinasti Qin membangun 1.400 kilometer tembok selama masa kekuasaan mereka. Setelah Qin hancur, dinasti-dinasti lain merenovasi dan menambah panjang ataupun cabang dari Tembok Besar. Kegiatan ini berlangsung selama ribuan tahun. Bukti arkeologis menunjukkan panjang keseluruhan Tembok Besar, baik yang masih ada maupun yang sudah hancur, mencapai 21.000 kilometer.
Baca juga: China Sulit Capai Nirkasus Covid-19, Shanghai Catat Belasan Kematian Harian
Namun, fungsi Tembok Besar masih menjadi pertanyaan arkeolog, sejarawan, dan antropolog. Berbagai kisah roman menyebutkan, Tembok Besar sejak zaman Dinasti Qin dipakai untuk melindungi mereka dari serangan kelompok nomaden Mongolia dan Asia Tengah. Sejarawan Nicola Di Cosmo dalam makalahnya yang terbit di jurnal History tahun 1993 menjelaskan, tidak ada bukti terkait teori itu.
Ada dua bukti yang ia jadikan dasar. Pertama, kerajaan-kerajaan China dan sejumlah suku nomaden sudah hidup berdampingan jauh sebelum Tembok Besar dibuat. Kedua, setelah ada Tembok besar, masih terjadi penyerangan musuh, yaitu suku-suku nomaden yang tidak memiliki hubungan kemitraan dengan kerajaan. Berdasarkan bukti ini, Tembok China tidak efektif sebagai pertahanan.
Penafsiran Di Cosmo ialah fungsi Tembok Besar bukan secara harfiah sebagai benteng pertahanan, melainkan simbol. Ini simbol Kekaisaran China untuk memperlihatkan ekspansi mereka ke wilayah utara. Walaupun secara militer tidak efektif, tembok ini bisa menggetarkan hati bangsa lain, bahkan para pemberontak di dalam negeri berpikir dua kali sebelum mencari perkara.
Tidak realistis
Yanzhong Huang, peneliti di lembaga kajian Dewan Hubungan Internasional, menilai Pemerintah China meyakini akan bisa mengekang Covid-19, tetapi pada kenyataannya tidak realistis. Apalagi dengan varian Covid-19 yang lebih mudah menular, kebijakan itu seperti sia-sia. Sebagian besar kota besar di China sudah memberlakukan persyaratan untuk tes usap PCR rutin, terlepas dari ada gejala atau tidak.
Pemerintah kota Beijing mewajibkan warganya menunjukkan tes negatif Covid-19 yang diambil 72 jam terakhir jika hendak bepergian dengan bebas, termasuk mengendarai transportasi umum. Shanghai juga membangun sekitar 15.000 lokasi tes usap PCR untuk 26 juta penduduk. Lanzhou, kota berpenduduk 4 juta jiwa, sudah memiliki tempat tes yang bisa melayani 150.000 orang setiap hari.
Untuk fasilitas-fasilitas karantina, semua daerah diminta bersiap. Seperti di kota Ningbo, Shanghai selatan, yang membuka fasilitas karantina pertama dengan 4.356 kamar isolasi, termasuk 200 kamar isolasi untuk keluarga dan 880 kamar untuk staf.
Baca juga: Pengalaman Karantina di China, Sehari Hanya Tiga Kali Bersua Manusia
Kebijakan nihil Covid-19 dinamis China dinilai berhasil menahan varian Omicron dan menjaga angka kematian tetap rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Inggris dan Amerika Serikat. Jumlah kasus harian Covid-19 sudah mendekati posisi terendah tiga bulan dengan rata-rata sepekan sekitar 150 kasus, turun dari ketika di titik puncak sekitar 30.000 kasus pada April. Namun, kebijakan itu membuat banyak orang frustrasi.
”Kebijakan nihil Covid-19 ini benar-benar gila, tidak manusiawi, dan tidak terlalu berhasil,” kata seorang kurator seni di Beijing. ”Pemerintah Shanghai dan Beijing berbohong. Di Shanghai, mereka bilang tidak akan memberlakukan penguncian. Tetapi nyatanya sampai dua bulan,” ujarnya.
Menurut penelitian oleh bank Jepang, Nomura, sebanyak delapan kota di China dan 74 juta jiwa sekarang masih harus menjalani penguncian penuh atau sebagian. Pada April, 355 juta orang mengalami lockdown. Pihak berwenang juga mengerahkan sumber daya cukup besar untuk memberlakukan kebijakan nihil Covid-19 dinamis. Bahkan beberapa pemerintah daerah terpaksa mengalihkan dana dari prioritas lain, seperti program pengentasan warga dari kemiskinan dan pembangunan infrastruktur.
Beban biaya ekonomi untuk kebijakan ini signifikan. Menurut analisis Nomura, jika setiap kota mengadopsi persyaratan tes 72 jam seperti di Beijing, sekitar 814 juta orang perlu menjalani tes usap PCR rutin dan biayanya mencapai 1,7 persen dari produk domestik bruto nasional. Menurut Direktur Pusat Scottish untuk Penelitian China di University of Glasgow, Jane Duckett, biaya yang digunakan untuk tes usap PCR yang rutin seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan lain seperti meningkatkan program vaksinasi bagi penduduk usia lanjut dan kelompok masyarakat rentan.
Banyak kalangan memperkirakan kebijakan nihil Covid-19 ini akan direvisi setelah Xi sudah pasti meraih masa jabatan ketiga sebagai presiden yang ditentukan saat Kongres Partai Komunis China, November. ”Semua keputusan ada di tangannya. Semua langkah kebijakan nihil Covid-19 ini reaksi dari kesalahan dalam menangani Covid-19 di Shanghai. Covid-19 jadi tidak terkendali. Sekarang dengan tempat tes usap PCR di mana-mana, penularan bisa segera dideteksi dan ditangani sejak dini,” ujar Duckett.
Meski direvisi, Huang meyakini kebijakan ini akan tetap dipertahankan kemungkinan sampai tahun 2023 meskipun tidak ada manfaat epidemiologisnya. ”Kebijakan itu tidak akan membasmi virus. Akan terus ada varian baru dan kasusnya terus menyebar dan bertambah. Jika malah dikarantina terus, rakyat China justru tidak akan bisa kebal seperti penduduk dunia lainnya,” ujarnya. (LARASWATI ARIADNE ANWAR)