Pengalaman Karantina di China, Sehari Hanya Tiga Kali Bersua Manusia
Bepergian ke China selama masih ada pandemi Covid-19 tak akan bisa murah. Selain biaya tiket pesawat, ada biaya karantina. Seluruh proses ke China ini tak lepas dari dua urusan: identitas diri dan status kesehatan.
Oleh
LUKI AULIA, DARI FUZHOU, CHINA
·5 menit baca
”Ting tong!” Terdengar bunyi bel yang diikuti ketokan di pintu. Bersegera jalan ke arah pintu sambil memakai masker, pelindung wajah (faceshield), dan jaket. Mestinya pakai sarung tangan juga, tetapi cairan sanitasi saja cukup rasanya. ”Xie xie”, terlontar ucapan terima kasih kepada mas-mas pegawai hotel yang mengantarkan jatah makanan ke setiap kamar hotel itu. Si mas-mas berpakaian hazmat putih lengkap itu mengangguk sambil membalas ”buxie” dan segera berlalu. Dari balik kacamata goggle-nya, sepertinya ia sedang tersenyum.
Jatah makanan diletakkan saja di kursi yang sudah tersedia di depan setiap kamar. Begitu terus setiap hari, tiga kali sehari. Petugas hotel karantina di Fuzhou Seaview Fliport Resort, Fuzhou (sekitar 1.800 kilometer selatan Beijing), Provinsi Fujian, China, akan mengantarkan makanan untuk sarapan pada pukul 08.00, makan siang pukul 12.00, dan makan malam pukul 17.00 waktu setempat. Makanan terbungkus plastik berlapis diletakkan di kursi saja untuk meminimalisasi kontak antarmanusia.
Di bawah kursi itu tersedia kotak sampah dari stereofoam yang juga berplastik. Pengambilan sampah dilakukan dua kali sehari. Semua kantong sampah harus tertutup rapat. Selain pengambilan sampah, sehari sekali terdengar petugas kebersihan mengoperasikan vacuum cleaner dan menyemprotkan lorong-lorong kamar dengan cairan beraroma kaporit.
Hanya mas-mas pengantar makanan itu saja manusia yang bisa disapa tiga kali sehari saat karantina. Prosedur karantina seperti ini sama dengan ketika karantina selama lima hari di sebuah hotel di bilangan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, yang menjadi syarat keberangkatan ke China.
Bedanya, di Fuzhou, karantina akan berlangsung selama 14 hari sesuai aturan Pemerintah China terkait kebijakan nihil Covid-19. Setiap orang yang datang dari luar negeri harus dikarantina terlebih dahulu sebelum kembali ke kampung halaman atau melanjutkan perjalanan ke kota tujuan akhir. Khusus bagi maskapai penerbangan Xiamen Air, Fuzhou menjadi kota buffer-nya. Ada banyak kota buffer lain, seperti Wuhan dan Kunming, bergantung pada maskapai penerbangannya.
Isi data kesehatan
Selama dalam karantina, begitu masuk kamar bagaikan terputus dengan dunia luar. Tidak boleh berinteraksi dengan siapa pun, kecuali petugas hotel dan petugas kesehatan setempat yang bertugas memeriksa suhu tubuh setiap hari dan tes usap PCR. Selain dicek petugas, setiap orang juga harus mengecek suhu tubuh sendiri-sendiri dua kali sehari, pukul 07.00 dan pukul 18.00. Hasil cek suhu lalu diunggah ke situs tim satgas Covid-19 setempat dan situs kesehatan Pemerintah China.
Jika tak dilaporkan, tidak akan bisa memproses ”kartu hijau kesehatan” yang akan menjadi penunjuk status kesehatan paling penting selama berada di China. Seluruh proses ke China ini selalu tak lepas dari dua urusan. Identitas diri dan status kesehatan. Seusai check-in di kamar karantina Fuzhou, setiap orang harus mengisi identitas diri, berikut seluruh status kesehatan.
Saat karantina di Jakarta, tes usap PCR dilakukan satu kali sebelum masuk karantina dan tiga kali selama karantina. Lalu selama karantina di Fuzhou, satu kali saat mendarat di bandara, kemudian empat kali sampai waktunya pindah ke kota selanjutnya, yakni Beijing. Di Fuzhou, tes usap PCR dilakukan di depan kamar masing-masing.
Imbauan untuk tak keluar kamar tertulis di selembaran kertas dalam kamar. Bahkan ketika di Jakarta, imbauan disampaikan melalui grup WA. ”Please continue to observe the quarantine hotel management regulations. Tomorrow, we will check 24 hour monitor. Any violators will be disqualified”. Begitu bunyi peringatannya.
Karena karantina, seluruh kebutuhan sudah disiapkan di dalam kamar dengan jumlah sesuai jangka waktu karantina. Contohnya, botol air minum, 3-5 handuk, 4-5 tisu gulung, peralatan mandi lain, dan detergen. Di kamar karantina Fuzhou juga fasilitasnya sama. Jika ada yang kurang, boleh meminta lagi ke hotel. Makan tiga kali juga terasa lebih dari cukup karena porsi yang besar, terutama nasi. Setiap orang diperbolehkan membawa bekal makanan kecil, buah-buahan, dan mi instan. Tetapi tidak diperbolehkan memesan makanan dan minuman dari luar hotel.
Bepergian ke China selama masih ada pandemi Covid-19 tidak akan bisa murah karena selain tiket pesawat, ada biaya karantinanya. Untuk karantina lima hari di hotel Jakarta saja, biayanya Rp 4,5 juta untuk lima hari. Biaya itu termasuk tiga kali makan dan air mineral 8 liter. Untuk hotel karantina di Fuzhou dimulai dari harga Rp 13.667.000 untuk 14 hari dan orang tidak bisa memilih hotel. Tim Pencegahan Pandemi Fuzhou-lah yang akan menentukan. Satu kamar satu orang.
Biaya kamar itu tidak termasuk biaya PCR. Untuk empat kali PCR dan satu kali tes antigen di Jakarta, biayanya Rp 3,8 juta. Itu pun masih ada kemungkinan gagal berangkat karena terdeteksi positif Covid-19. Dan itu terjadi pada beberapa calon penumpang. Jadwal penerbangan bisa dijadwal ulang dan biaya karantina di Fuzhou yang sudah disetorkan langsung dikembalikan. Namun, biaya PCR di China jauh lebih murah ketimbang di Indonesia. Untuk empat kali PCR, biayanya hanya Rp 140.000.
Selain cek suhu tubuh, tidak ada ”tugas” lain yang harus dikerjakan selain menanti tes usap PCR, bekerja, dan menanti hari berakhirnya karantina. Terkadang beres-beres kamar dan gerak-gerak badan agar tak pegal saja. Pintu kamar disarankan dibuka setiap hari selama minimal 30 menit agar ada pergantian udara di dalam kamar.
Sesekali terdengar dari kamar-kamar lain suara orang berlatih alat musik saksofon, suara orang tiba-tiba berteriak seperti menonton pertandingan sepak bola, dan suara seperti orang sedang olahraga lompat-lompat. Selebihnya, hanya terdengar suara gelombang air laut pecah di bibir pantai depan hotel dan hujan yang selalu menghampiri setiap hari ke Fuzhou.