China akan tetap memberlakukan kebijakan nihil Covid-19 meski bersifat lokal dan ”buka-tutup”. Jika ada kasus baru, daerah itu dikunci seperti Shanghai dan Beijing. Saat akan berangkat ke negara itu, rasanya deg-degan.
Oleh
LUKI AULIA
·7 menit baca
Kabar penugasan ke China itu datang sebelum bulan puasa lalu. Kaget, girang, lalu terdiam. Teringat Covid-19 muncul pertama kali di China dan sampai sekarang pun masih banyak kasus baru Covid-19 varian Omicron. Tercatat per 4 Juni, ada 162 kasus baru di negara itu: 56 bergejala dan 106 tanpa gejala. Hingga Sabtu (4/6/ 2022), total kasus mencapai 224.310 kasus dan 5.226 orang di antaranya tewas.
Di ibu kota Beijing, ada 19 kasus baru, bertambah dari 6 kasus sehari sebelumnya. Adapun di Shanghai, ada 22 kasus baru dari sebelumnya 14 kasus. Masih adanya kasus-kasus baru yang muncul, setidaknya di dua kota itu, menjadi alasan pemerintahan Presiden China Xi Jinping untuk tetap memberlakukan kebijakan nihil Covid-19 (zero Covid-19). Kebijakan tegas ini diberlakukan sejak awal pandemi awal 2020 itu dan juga pernah diterapkan negara-negara lain. Hanya saja, saat negara lain sudah meninggalkan kebijakan itu, China masih berat melepaskan.
Kebijakan nihil Covid-19 merupakan strategi mengendalikan Covid-19 dengan aturan-aturan yang tegas memberlakukan protokol kesehatan, mulai dari pelacakan kontak, tes Covid-19 massal, karantina, dan penguncian wilayah. Targetnya, tidak ada lagi kasus baru yang muncul. Ada dua tahapan dalam strategi nihil Covid-19, yakni menekan persebaran Covid-19 di tingkat lokal dengan memberlakukan aturan prokes yang agresif dan ketat serta tahapan melanjutkan kembali kegiatan ekonomi dan sosial, tetapi tetap harus ada prokes ketat.
Contohnya, Shanghai yang dua bulan lebih “dikunci’. Tak boleh ada yang keluar dari rumah. Warga harus kerja dari rumah. Jangka waktu yang lama dan tanpa kepastian membuat warga Shanghai akhirnya tak tahan untuk protes dan marah-marah kepada pemerintah. Hal seperti ini jarang sekali terjadi di China. Penguncian wilayah di Shanghai telah diperlonggar sejak 1 Juni lalu.
Bukan hanya sebagian rakyat China yang harus pasrah menjalani prokes ketat. Warga asing dan warga China yang hendak ke China juga ikut terkena kebijakan nihil Covid-19 yang ketat. Proses yang harus dijalani, selain pengurusan visa dan mencari penerbangan yang belakangan tak mudah karena jarangnya jadwal penerbangan ke China, adalah tes PCR dan karantina sebelum keberangkatan di hotel yang ditunjuk oleh maskapai penerbangan.
Pada bulan lalu, ketentuan karantina dari Pemerintah China tertulis 7 hari sebelum keberangkatan. Dua pekan lalu, aturan berubah menjadi cukup 5 hari dengan alasan situasi Covid-19 di China membaik. Kewajiban karantina tak berhenti di situ saja. Sesampainya di China, masih harus karantina lagi selama 14 hari di kota Fuzhou. Itu pun sudah berubah dari sebelumnya 21 hari.
Selesai karantina 14 hari tersebut, jadwal perjalanan lalu pindah ke kota Beijing. Di Beijing, sesuai aturan yang berlaku khusus di kota itu, masih harus karantina lagi selama 7 hari lagi sebelum akhirnya nanti boleh menjelajahi jalanan ibu kota. Karantina ketat ini wajib bagi warga asing karena pada awal-awal pandemi setiap bulan dikabarkan ada ratusan warga asing yang dinyatakan negatif dalam tes Covid sebelum terbang ke China, tetapi kemudian diketahui positif setelah menjalani karantina di China.
Awal mula kasus Covid-19 dari luar di China ditemukan di Nanjing, 20 Juli 2021. Ada petugas bandara yang positif. Setelah dilacak, diketahui asalnya dari penumpang pesawat dari Rusia yang tiba 10 Juli 2021. Kasusnya kemudian merebak cepat hingga 1.162 kasus pada waktu itu. China tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Namun, karena kasusnya kini dikabarkan membaik dan pemerintahan Xi mulai menggenjot lagi roda perekonomian, aturan prokes untuk warga asing yang hendak ke China dilonggarkan per 19 Mei 2022.
Tak bebas
Meski dilonggarkan, masih terasa sangat ketat, terutama bagi warga Indonesia yang mulai terbiasa dengan prokes longgar. Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia telah membolehkan lepas masker di luar ruangan yang tidak padat kerumunan. Ketentuan ”longgar rasa ketat” China itu mulai dari keharusan tes PCR di sebuah klinik di bilangan Cipete, Jakarta, sehari sebelum masuk karantina di hotel, dan membayar biaya tes sebesar Rp 940.000.
Jika negatif, boleh lanjut masuk hotel. Jika positif, seluruh biaya penerbangan dikembalikan dan boleh menjadwal ulang perjalanan secara gratis. Hotel tempat karantina sudah ditentukan maskapai penerbangan dan biaya kamar per harinya Rp 900.000 sehingga total Rp 4,5 juta untuk 5 hari. Biaya itu termasuk makan 3 kali sehari dan air mineral 12 botol berukuran 1,5 liter.
Tes PCR kembali dilakukan 48 jam sebelum keberangkatan sebanyak dua kali. Persis 12 jam sebelum penerbangan, ada tes lagi, tetapi cukup tes antigen. Biaya untuk ketiga tes itu sebesar Rp 2,9 juta dan dilakukan rumah sakit yang telah ditunjuk. Khusus untuk dua tes terakhir, petugas dari maskapai yang akan mendatangi kamar setiap calon penumpang. Bagi yang hasil tesnya negatif, akan menerima ”kode kesehatan” dan boleh naik ke pesawat.
Warga China yang mau pulang kampung juga menjalani proses yang persis sama. Selama berada di dalam pesawat, penumpang diwajibkan mengenakan masker N95, sarung tangan sekali buang atau medis, dan pelindung wajah serta diimbau mengenakan pakaian APD.
Aturan serba ketat juga diberlakukan selama menginap di hotel. Begitu masuk kamar, tak boleh meninggalkan kamar sama sekali, dilarang membuka pintu dalam waktu lama, dan tidak boleh memesan makanan dari luar hotel. Beruntung saja masih boleh membawa bekal makanan apa saja dari rumah. Jadwal pengiriman makanan juga ditentukan pukul 6.30, 11.30, dan 17.30. Tempat makan diletakkan saja di kursi depan pintu kamar dan akan ada suara bel pintu jika makanan sudah datang.
Setiap hari pukul 15.00 ada petugas dari maskapai dan hotel yang mendatangi setiap kamar untuk memeriksa suhu tubuh. Padahal, sejak seminggu lalu sudah diminta untuk mengecek suhu tubuh sendiri setiap hari selama di rumah.
Aturan mengenai karantina dan tes PCR ini dinamis dan bisa berubah setiap saat. Agar tak ada yang salah informasi atau ketinggalan kabar, seluruh calon penumpang yang hendak ke China dibuatkan grup di aplikasi Wechat, semacam Whatsapp buatan China oleh maskapai penerbangan.
Tes PCR berkali-kali ini juga diberlakukan pada warga China sendiri. Seperti di Beijing dan Shanghai, misalnya, warga harus tes PCR terlebih dahulu untuk menggunakan transportasi umum. Restoran dan kafe juga menetapkan wajib PCR 48 jam sebelum datang ke lokasi.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengkritik kebijakan nihil Covid-19 China yang tidak akan mempan total menahan Covid-19. Ia menyarankan agar China segera beralih ke kebijakan yang lebih lunak.
Beruntung Covid-19 mulai jinak di China. Pemerintah setempat pun melonggarkan kebijakan penguncian di Shanghai. Sebagian warga kota berpenduduk 25 juta jiwa itu akhirnya boleh keluar rumah dan jalan-jalan. Namun, masih ada sedikitnya 650.000 orang yang belum boleh keluar rumah.
Meski Shanghai melonggar, secara keseluruhan China masih memberlakukan kebijakan nihil Covid-19. Kebijakan ini berlaku spesifik per wilayah. Jika ditemukan kasus Covid-19 di lokasi A, harus segera dikarantina atau masuk rumah sakit. Mereka yang kontak dengan orang yang positif juga bisa ikut dipindah ke karantina, bahkan lingkungan sekitar rumahnya akan bisa dikunci lagi.
Lindungi warga
Dalam aturan baru, warga harus menunjukkan ”kode kesehatan hijau” yang ada di telepon genggam jika hendak meninggalkan kompleks tempat tinggal dan memasuki tempat-tempat tertentu. Sebelum naik transportasi umum atau masuk ke mal atau bank, warga harus mengantongi bukti tes PCR negatif yang berlaku dalam 72 jam terakhir.
Pemerintahan Xi, menurut media CGTN, mempertahankan kebijakan nihil Covid-19 ini karena di China ada 267 juta warga lanjut usia berusia di atas 60 tahun dan tingkat vaksinasi untuk orang tua belum banyak. Padahal, orang berusia lanjut paling berisiko terkena Covid-19. Belum lagi urusan layanan kesehatan di China yang dikhawatirkan akan kewalahan jika pandemi Covid-19 tak terkendali. Tenaga medis dan daya tampung rumah sakit dikhawatirkan akan lumpuh.
Para ahli yang mendukung kebijakan nihil Covid-19 menilai, pembangunan daerah di China tidak imbang dan sumber daya medis tidak mencukupi untuk seluruh wilayah sehingga jika Covid-19 menyebar, kasusnya bakal tak terkendali. Untuk itu, perlu tindakan pencegahan dan pengendalian Covid-19 yang ketat.
”Nihil Covid-19 itu tidak berarti tidak ada kasus sama sekali. Intinya, memutus penyebaran kasus baru secepatnya, bukan membiarkan situasi menjadi tidak terkendali. Pada saat yang sama, pemerintah harus mengembangkan lebih banyak obat dan vaksin,” kata Liang Wannian, Kepala Tim Ahli Penanganan Covid-19 di Komisi Kesehatan Nasional China.
Jadi, tampaknya China masih akan menerapkan kebijakan zero Covid-19 sampai entah kapan. Penerapan kebijakannya pun tidak akan bersifat nasional, tetapi lokal seperti kasus Shanghai dan Beijing. Sifatnya dinamis, kapan saja bisa buka-tutup penguncian jika ada kasus baru. Ini artinya, hidup bisa jadi tidak tenang karena senantiasa waswas jika ada kasus Covid-19 baru lagi, lalu harus dikarantina lama lagi. Sama seperti rasa deg-degan setiap kali harus menjalani tes PCR sebelum boleh berkelana ke China.