Jalan Panjang Menuju Pulang
Kebijakan nihil Covid-19 membuat Pemerintah China tidak main-main dengan semua ketentuan pembatasan yang mereka terapkan. Pemeriksaan ketat diberlakukan sejak pengunjung mengajukan izin memasuki China

Proses mengantri untuk penyerahan dokumen deklarasi kesehatan, menunjukkan paspor, dan menandatangani kesediaan untuk tes PCR di Bandara Fuzhou Changle, China pada Kamis (9/6/2022). Waktu antrian sekitar 10 menit. Setelah menyerahkan dokumen, setiap penumpang bergantian masuk ke ruang tes PCR lalu menuju ke imigrasi.
”Selamat datang di Bandara Internasional Fuzhou Changle.” Begitu pengumuman dari pramugari maskapai penerbangan Xiamen Air itu terdengar, sesaat setelah pesawat mendarat dengan mulus di landasan pacu Bandara Fuzhou Changle, Kamis (9/6/2022). Lega rasanya.
Akhirnya, sampai juga di daratan China meski belum sampai di jantungnya China, yakni Beijing. Ada persyaratan bagi orang yang datang dari luar negeri, yaitu wajib karantina terlebih dahulu selama 14 hari di kota-kota lain di luar Beijing. Kebetulan maskapai Xiamen Air tujuannya ke ibu kota Provinsi Fujian ini. Sebelumnya, ketentuan karantina sampai 21 hari dan kini dikurangi hanya menjadi 14 hari karena situasi Covid-19 yang dinilai kian membaik.
Selain lega karena sudah sampai China, juga lega karena bisa selamat melewati turbulensi yang membuat pesawat sering terguncang. Lima jam perjalanan terasa lama karena tak ada makanan mengenyangkan seperti biasa. Hanya ada roti, camilan, dan air putih. Tak ada makan besar seperti biasanya karena khawatir dengan Covid-19 katanya.
Kelegaan sampai China juga karena akhirnya bisa terbebas dari karantina selama lima hari di Jakarta. Lepas dari hotel karantina di Jakarta untuk bersiap ke bandara juga tak mudah. Sejak pukul 07.30 harus tes antigen lagi di hotel sambil membawa semua koper dan tas. Setelah itu langsung masuk ke bus khusus penumpang Xiamen Air dan menuju bandara, check-in, lalu duduk di ruang tunggu pintu keberangkatan selama dua jam.
Pesawat dijadwalkan pukul 12.50, tapi terlambat 20 menit karena cuaca buruk. Di ruang tunggu, banyak penumpang bersegera mengenakan pakaian pelindung atau hazmat berwarna putih berikut perlengkapan lain, seperti masker dan kacamata (goggle). Sejak sehari sebelum keberangkatan, pihak maskapai sudah mewanti-wanti jangan duduk-duduk di restoran atau tempat-tempat ramai yang berisiko tertular Covid-19. Imbauan berulang-ulang seperti itu secara tak sadar membuat orang menjadi waswas dan cenderung khawatir, tetapi cukup efektif karena tak terlihat ada yang nongkrong di restoran.
Wanti-wanti lain adalah ”direkomendasikan dengan sangat untuk mengenakan alat-alat perlindungan diri”, seperti masker N95, goggle, sarung tangan medis, dan atau baju hazmat. Khusus untuk baju hazmat, ada yang mau pakai ada yang tidak. Begitu pula dengan sarung tangan medis yang membuat tangan cepat berkeringat dan tidak nyaman serta bisa berakhir bolong di ujung-ujung jari jika tertarik terlalu kencang.
Baca juga: China Sulit Capai Nirkasus Covid-19, Shanghai Catat Belasan Kematian Harian
Ketika masuk pesawat, jangan harap bisa melihat senyum manis dari mas dan mbak pramugari yang ganteng dan cantik seperti biasanya. Itu karena semuanya mengenakan alat pelindung diri (APD) rapat lengkap sampai cuma terlihat bagian mata. Sebelum masuk pesawat pun suhu tubuh semua penumpang diperiksa lagi dan disemprot dengan cairan sanitasi yang baunya seperti kaporit.
Setelah mengarungi udara selama lima jam dan mendarat, semua penumpang diminta sabar menunggu giliran untuk keluar pesawat. Kru pesawat dengan suara tinggi menegur para penumpang yang sudah berdiri dan tak sabar keluar. Dengan isyarat tangan, mereka meminta para penumpang duduk kembali. Begitu berkali-kali sampai terdengar mereka seperti sedang memarahi penumpang yang ngeyel.
”Pramugari itu bicara apa, kok, seperti marah-marah?” tanya saya kepada salah satu penumpang. ”Stay still. Duduk saja. Jangan jalan-jalan. Tunggu,” ujarnya dalam bahasa Indonesia patah-patah sambil tersenyum. ”Nanti dia panggil 10 orang keluar. Giliran. 10-10. Kita sama-sama,” kata seorang bapak warga China.


Mayoritas penumpang Xiamen Air yang datang dari hotel karantina mengenakan alat pelindung diri seperti masker, goggle, sarung tangan, hingga pakaian APD. Foto diambil di Bandara Soekarno-Hatta, Kamis (9/6/2022). Imbauan itu dari pihak maskapai dan pemerintah China yang memberlakukan kebijakan nihil Covid-19. Tetapi ada juga penumpang yang tidak mengenakan pakaian APD.
Baru mau mengobrol lebih panjang, kru kabin telah meminta 10 penumpang lagi untuk keluar. Waktu antara pesawat mendarat hingga giliran saya keluar dari pesawat memakan waktu sekitar satu jam.
Perut keroncongan karena hanya mencamil roti dan keinginan untuk ke toilet membuat kesabaran menipis. Akhirnya giliran saya tiba. Sebelum keluar pesawat, ada dua petugas berjalan dari depan ke belakang sambil membawa semacam alat pemindai suhu tubuh. Setelah keluar dari pesawat, rupanya ada proses mengantre 10 menit untuk menjalani tes PCR (lagi).
Pemeriksaan ketat
Sebelum masuk ke ruangan tes PCR, setiap penumpang harus menghadap petugas untuk menunjukkan paspor, menandatangani surat kesediaan untuk menjalani tes PCR, dan menunjukkan kode batang ”deklarasi kesehatan” yang sudah diisi terlebih dahulu di Jakarta. Untuk mendapatkan deklarasi kesehatan dari Pemerintah China itu, setiap orang harus menunjukkan hasil tes negatif dari dua kali tes PCR, mengunggah semua dokumen paspor, KTP, hasil tes PCR, hasil pemeriksaan suhu tubuh harian yang dilakukan sendiri di kamar, dan bukti vaksinasi. Proses pengurusan dan pengesahan itu dilakukan oleh Kedutaan Besar China di Jakarta.
Baca juga: Karakter Pokemon Psyduck Wakili Frustrasi Warga China
Prosesnya hanya beberapa jam saja. Jika dapat kode berwarna biru, artinya lulus dan boleh berangkat. Jika berwarna lain, merah, misalnya, tak boleh berangkat. Dari sekitar 200 penumpang, ada beberapa orang yang mendapat warna merah dan kabarnya hasil PCR menunjukkan positif. Kode batang dari kedutaan itu harus diubah dengan deklarasi kesehatan Pemerintah China dengan pita kuning. Hanya dengan itu, boleh masuk China.
Beres urusan dengan petugas pengecek dokumen, lanjut melangkah masuk ruangan tes PCR. Begitu berdiri, ada petugas yang langsung menyemprotkan cairan pembersih berbau kaporit. Itu dilakukan di setiap titik orang berdiri atau duduk. Selesai PCR, berlanjut ke imigrasi. Antrean tak panjang, tetapi prosesnya menjadi agak lama karena lupa mencantumkan nomor telepon orang yang akan ditemui di China. Hambatan komunikasi membuat proses menjadi lama karena petugas yang tak lancar berbahasa Inggris. Beruntung, kontak dari pihak Kementerian Luar Negeri bisa dilakukan. Nomor kontak orang yang bisa dihubungi di China itu rupanya sangat penting.

Perempuan dengan mengenakan masker dan Hanfu, pakaian tradisional China, bersiap masuk ke Kota Terlarang (Forbidden City) di Beijing, China, Selasa (7/6/2022). Pemerintah China mulai melonggarkan beberapa pembatasan terkait Covid-19. Museum menjadi salah satu tempat yang sudah bisa dikunjungi.
Dari imigrasi, harapannya selesai sudah semua ”penderitaan”. Bayangan toilet dan makanan sudah di depan mata. Rupanya, kedua hal itu masih harus ditahan selama hampir dua jam. Bagasi lama keluar. Begitu keluar, semua berbau kaporit sangat menyengat dan koper-koper basah.
Urusan bagasi selesai, antrean panjang terlihat lagi. Rupanya, antrean untuk diangkut ke hotel yang akan menjadi tempat karantina selama 14 hari. Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 waktu setempat. Terakhir melihat jam ketika pesawat mendarat pukul 19.30 waktu setempat.
Fuzhou lebih awal satu jam dari Jakarta. Fuzhou sudah gelap dan hujan. Di atas kendaraan menuju hotel yang ternyata hanya berjarak 15 menit dari bandara, terbayang nasib penumpang lain yang masih harus mengantre.
Sesampainya di hotel karantina, petugas resepsionis berbaju hazmat lengkap menyambut di pintu. Hanya terlihat kedua matanya yang menyiratkan senyum. Kunci kamar dan makan malam terbungkus plastik transparan diserahkan dan kami diantar ke kamar.

Orang tua siswa menunggu di luar sekolah saat anak mereka mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Nasional (NCEE) yang juga dikenal dengan sebutan gaokao di Beijing, China, Selasa (7/6/2022). Lebih dari 11 juta siswa sekolah menengah di seluruh China mengikuti ujian tahunan ujian masuk perguruan tinggi yang dimulai pada Selasa. Ujian bisa digelar setelah Pemerintah China melonggarkan aktivitas warga menyusul klaim keberhasilan dalam megatasi penyebaran Covid-19 di Shanghai dan Beijing.
Di sepanjang lorong menuju kamar tercium bau kaporit tajam. Setelah masuk kamar, proses karantina pun dimulai. Sama seperti di Jakarta, setiap orang mendapat jatah makan tiga kali sehari (diantar oleh petugas) dan ada petugas lain yang setiap hari bertugas mengukur suhu tubuh setiap penumpang.
Setiap orang juga harus mengukur suhu tubuhnya sendiri dua kali sehari dan harus diunggah ke situs resmi pemerintah. Pemandangan pantai yang indah dari jendela kamar membuat semua itu terasa ”lebih ringan”.
Baca juga: ”Lockdown” Shanghai Ganggu Rantai Logistik Global
Akan tetapi, dari grup WeChat yang berisi penumpang Xiamen Air, mereka tak seberuntung kami. Mereka mengeluhkan kondisi kamar yang kurang nyaman. Banyak yang marah, protes, dan merasa dirugikan karena biaya hotel karantina yang tak murah, sekitar 300 yuan.
Ada yang menceritakan, kamarnya seperti kos-kosan, ada yang jendela kamarnya ditutup keresek plastik hitam, ada yang lokasinya di tengah kawasan gersang tanpa pemandangan, tapi ada pula yang kamarnya berpemandangan laut.
Dari banyak orang yang marah-marah itu, ada sebagian yang mengingatkan rekan-rekannya, sesama warga China, untuk tetap bersyukur karena masih bisa pulang ke kampung halaman meski prosesnya panjang dan melelahkan. Apalagi mengingat banyak yang belum beruntung bisa ikut pulang karena deklarasi kesehatannya ditolak.
Ada juga yang mengingatkan teman-temannya bahwa proses karantina panjang ini mau tak mau harus dijalani agar keluarga mereka terhindar dari Covid-19. ”Pemerintah sudah bekerja dengan susah payah mengendalikan virus ini. Kalau aturannya tidak ketat seperti ini, bisa celaka banyak orang,” tulis salah satu penumpang di grup WeChat.
”Jangan banyak mengeluh. Pulang ke rumah ini tidak mudah. Yang penting kita sudah bisa pulang ke rumah. Sedikit lagi sampai rumah. Itu saja sudah membuat bahagia. Yang penting bisa pulang,” kata penumpang yang lain.
Pandemi mengubah kehidupan rakyat China. Strategi kebijakan nihil Covid-19 yang diberlakukan Presiden China Xi Jinping memang terasa ekstrem karena di negara-negara lain memulai pelonggaran, termasuk Indonesia.
Dari semua proses keberangkatan, dari Jakarta hingga Fuzhou, terlihat Pemerintah China tidak main-main dan jelas-jelas tak mau kecolongan. Meski seluruh prosesnya senantiasa membuat deg-degan, di ujung hari bisa dipahami ini semua demi keselamatan banyak orang.