Perang Ukraina, Hadangan Baru Transisi Energi dan Pemanasan Global
Perang di Ukraina tidak memunculkan konflik geopolitik dan militer semata, tapi juga berdampak pada proses transisi energi global. Krisis energi di Eropa bisa berujung pada terancamnya tujuan COP26.
Agresi militer Rusia di Ukraina membuat pemerintahan baru Jerman di bawah Kanselir Olaf Scholz pusing. Ketergantungan Jerman yang sangat besar pada pasokan gas alam Rusia membuat negara itu bak terikat kakinya ketika harus bersikap tegas atas agresi militer tersebut. Jerman gamang ketika diajak sekutu Barat untuk mengembargo pasokan energi Rusia.
Scholz menyatakan, impor energi Rusia yang berkelanjutan penting bagi warga Jerman. “Pasokan energi Eropa untuk pembangkit panas, mobilitas, pasokan listrik, dan industri tidak dapat diamankan dengan cara lain saat ini,” katanya.
Jerman dalam kondisi sulit. Mereka tengah menghadapi krisis energi, terutama karena kenaikan harga listrik. Gas alam cair yang mereka impor dari Rusia adalah bagian dari transisi energi, dari pemanfaatan energi nuklir ke energi baru terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.
Baca juga : Eropa Kelabakan dengan Sinyal Ancaman Rusia Soal Pasokan Gas
Sementara, Jerman telah menutup tiga pembangkit listrik tenaga nuklir di pengujung 2021 lalu. Ini membuat pasokan energi Jerman berkurang hingga 4 gigawatt atau setara dengan daya listrik yang dihasilkan 1.000 pembangkit listrik tenaga angin (PLTB). Tiga pembangkit tenaga uap lainnya, yaitu Emsland, Isar, dan Neckarwestheim akan menyusul ditutup pada akhir tahun 2022.
Kesulitan pasokan energi itu membuat Markus Soder, Menteri Besar Negara Bagian Bavaria, mengusulkan penundaan penutupan tiga PLTN tersisa supaya bisa menunda proses transisi energi setidaknya 3-5 tahun ke depan. Bahkan, jika memungkinkan, Jerman bisa mengaktifkan kembali PLTN yang sudah ditutup.
“Kita tidak boleh menutup apa pun yang masih berjalan. Itulah mengapa kita membutuhkan perpanjangan moderat dari waktu operasi pembangkit listrik tenaga nuklir selama 3 hingga 5 tahun,” cuit Söder, dikutip dari laman Euroactiv.
Pemerintah Jerman melakukan penelitian dan penghitungan kembali opsi yang diusulkan Soder. Dalam kesimpulan yang disampaikan ke publik pada 8 Maret, tim pemerintah menyatakan tidak merekomendasikan kelanjutan operasional tiga PLTN tersisa. Tiga PLTN yang sudah ditutup juga tidak direkomendasikan untuk dibuka atau diaktifkan kembali.
Baca juga : Eropa Cari Selamat Soal Energi
Robert Habeck, Menteri Ekonomi dan Iklim Jerman, mengatakan, tim pemerintah telah melakukan pemeriksaan dengan sangat hati-hati atas pengoperasian tiga PLTN tersisa dan tiga PLTN yang sudah ditutup, terutama apakah pengoperasiannya akan membantu Jerman keluar dari situasi sulit saat ini. “Jawabannya negatif. Hal itu tidak membantu kami,” katanya.
Laporan Leopoldina, Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Jerman, dikutip dari laman Nature menyebutkan, dalam jangka pendek, untuk bisa bertahan tanpa impor energi dari Rusia, Pemerintah Jerman bisa meminta masyarakat menghemat penggunaan energi, termasuk menurunkan suhu termostat di rumah masing-masing hingga 1 derajat celcius. Pada saat yang sama, Pemerintah Jerman juga bisa memilih memanfaatkan energi yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap, dengan batubara sebagai sumber energinya.
Pilihan lain, dalam jangka menengah, Pemerintah Jerman meningkatkan bauran EBT dalam sektor kelistrikan, dari 40 persen menjadi 100 persen pada tahun 2035. Belum ada keputusan dari pemerintahan Jerman soal ini.
Negara miskin
Negara-negara ekonomi maju, seperti sebagian besar kawasan Eropa Barat, merupakan negara yang memiliki kelonggaran kapital besar untuk mengelola transisi energi. Akan tetapi, negara-negara miskin yang sebagian besar berada di kawasan Afrika, mengalami kesulitan berkali-kali lipat untuk melakukan transisi energi, dari energi fosil ke EBT.
Dikutip dari laman Council of Foreign Relations, negara-negara di Afrika bukanlah negara pengimpor minyak atau gas alam dari Rusia. Namun, dampak perang di Ukraina juga terasa di kawasan ini, terutama pada kenaikan harga bahan pangan dan bahan bakar minyak yang menjadi sumber energi utama pembangkit listrik.
Baca juga : KTT G-20 Hasilkan Komitmen Setengah Hati soal Penanganan Krisis Iklim
Di Afrika barat, misalnya, pembangkit listrik berbahan bakar solar menyumbang lebih dari 40 persen total listrik yang dikonsumsi warga. Senegal, salah satunya, sangat bergantung pada minyak untuk 50 persen pembangkit listrik yang dimilikinya. Adapun di Nigeria, biaya solar telah melambung hingga 200 persen dari harga semula akibat kenaikan harga minyak dunia karena konflik.
Harga bahan bakar fosil yang lebih tinggi seharusnya menjadi keuntungan untuk mengembangkan penggunaan EBT, termasuk gas alam, seperti yang dilakukan Jerman dan sejumlah negara Eropa Barat. Namun, kondisi pasar yang buruk dan kenaikan suku bunga akan memukul konsumen dengan sangat keras dalam proses peralihan teknologi ini, terutama di pasar dengan ekonomi rendah. Teknologi pemanfaatan EBT, seperti panel surya, angin, dan baterai semuanya terbebani dengan modal dan bunga, yang menjadi tumpuan bagi investor swasta untuk mendapatkan kembali uangnya.
Lihat juga : Aksi Perubahan Iklim di Pertemuan Lingkungan G-20
Situasi seperti inilah yang dikhawatirkan Nikos Tsafos, peneliti energi global dan geopolitik pada CSIS Washington DC. Dia menilai, keinginan John Kerry, Utusan Iklim AS, agar gas alam bisa digunakan di Afrika atau negara lain dalam proses transisi energi global akan sangat sulit dilakukan. Terlebih apabila Eropa dan negara-negara Barat memonopoli pasokan gas alam cair dunia untuk kepentingan ketahanan energi mereka. Tsafos, dikutip dari Nature, mengatakan, bila situasi ini global saat ini tidak teratasi dalam waktu singkat, dia mengkhawatirkan negara-negara berkembang seperti di kawasan Asia Tenggara dan Afrika akan beralih lagi menggunakan energi fosil, terutama batubara.
Skenario baru
Tiga hari setelah Rusia menyerbu wilayah teritorial Ukraina, 24 Februari 2022, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menerbitkan laporan lima tahun mengenai situasi Bumi global. Di dalam laporannya, tim panel menyebutkan, gelombang panas meningkat, kekeringan dan banjir sudah melebihi ambang batas toleransi bagi tanaman dan hewan, hingga mendorong kematian massal pada sejumlah spesies tanaman dan karang.
Tim panel juga menyebut, cuaca ekstrem di seluruh belahan Bumi terjadi secara bersamaan sehingga menimbulkan dampak berjenjang yang sulit dikendalikan. Situasi ini menimbulkan kerentanan bagi warga yang tinggal di Afrika, Asia, Amerika Tengah, Amerika Selatan, serta pulau-pulau kecil, hingga Kutub Utara.
“Laporan ini merupakan peringatan yang mengerikan tentang konsekuensi dari kelambanan tindakan. Ini menunjukkan bahwa perubahan iklim adalah ancaman serius dan meningkat bagi kesejahteraan kita dan planet yang sehat. Tindakan kami hari ini akan membentuk bagaimana orang beradaptasi dan alam merespons peningkatan risiko iklim,” kata Hoesung Lee, Ketua IPCC.
Baca juga : Tak Maksimal di KTT G-20, Isu Iklim Jadi Beban Berat di COP 26
Para ilmuwan mengatakan, untuk membatasi pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat celcius pada 2050, dunia perlu menurunkan emisi global hingga 45 persen pada akhir dekade ini dibandingkan level emisi tahun 1990. Menurut Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), dunia juga perlu menginvestasikan setidaknya 5,7 triliun dollar AS setiap tahun hingga tahun 2030 untuk transisi energi.
Akan tetapi, hasil konferensi tingkat tinggi negara-negara anggota G20, yang mewakili lebih dari 75 persen produsen gas rumah kaca terbesar dunia, pada akhir tahun lalu, dinilai sangat tidak memuaskan. Mereka dinilai setengah hati untuk menyatakan komitmen mengurangi penggunaan energi fosil.
Anggota G20 sepakat untuk mengakhiri pembiayaan atas proyek-proyek yang masih menggunakan energi fosil, khususnya pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara, di luar negeri. Namun, mereka tidak secara eksplisit menetapkan target penghapusan penggunaan batubara di dalam negeri masing-masing.
“Transisi energi masih jauh dari jalurnya. Tindakan radikal apa pun di tahun-tahun mendatang akan mengurangi, bahkan menghilangkan, peluang untuk memenuhi tujuan iklim kita,” kata Francesco La Camera, Direktur Jenderal IRENA.
Baca juga : Pegang Presidensi G-20, Indonesia Bisa Berperan Lebih di Glasgow
Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol mengatakan, perubahan iklim sebagai masalah utama bagi banyak pemerintahan di dunia dinilai sudah bukan menjadi prioritas utama lagi setelah perang berkecamuk di Ukraina. Apalagi setelah Wakil Presiden Komisi Eropa Frans Timmermans menyatakan tidak ada kata tabu dalam penggunaan batubara.
Fatima Denton, Direktur Institut Sumber Daya Alam Universitas PBB di Afrika, mempertanyakan sikap negara-negara kaya, termasuk negara-negara Eropa, yang membuka peluang kembali menggunakan batubara untuk mengatasi krisis energi saat ini. Pada saat yang sama, negara-negara miskin dan berkembang didesak untuk mengadopsi penggunaan energi bersih.
Denton mengatakan, banyak negara miskin yang kaya minyak masih ingin berkembang menggunakan bahan bakar fosil yang mereka miliki dan mengurangi emisi di kemudian hari. Ini seperti yang dilakukan negara-negara kaya, karena negara-negara miskin tidak memiliki sarana untuk tumbuh hanya dengan energi bersih. "Melakukan semuanya sekaligus terasa agak terlalu ketat," katanya.
Baca juga : G-20 dan Energi Terbarukan
Andrew Norton, Direktur Institut Internasional untuk Lingkungan dan Pembangunan yang berbasis di London, mengatakan, transisi energi global sebagai upaya untuk mendinginkan Bumi tidak akan tercapai bila hanya dilakukan oleh segelintir negara kaya. Komunitas internasional harus terlibat dalam proses transisi energi ini, termasuk negara-negara yang perekonomiannya bergantung pada pendapatan dari bahan bakar fosil.
Norton mengatakan, keterlibatan negara-negara penghasil batubara, seperti Indonesia, Brasil, Australia, dan India, bahkan Rusia serta sekutunya, China, menjadi sangat penting untuk meresonansi tujuan bersama ini. Tanpa keterlibatan negara-negara tersebut, transisi energi seperti yang dilakukan Jerman akan sia-sia belaka dalam mengurangi efek pemanasan suhu permukaan Bumi. (AP/AFP/Reuters)