Tak Maksimal di KTT G-20, Isu Iklim Jadi Beban Berat di COP 26
Pertemuan puncak negara-negara G-20 gagal menghasilkan komitmen yang konkret untuk menangani krisis iklim dunia. Tugas berat menanti peserta COP 26.
Oleh
A TOMY TRINUGROHO, DARI GLASGOW, SKOTLANDIA
·5 menit baca
GLASGOW, KOMPAS — Para pemimpin negara-negara G-20 tak banyak menawarkan komitmen konkret dalam upaya membatasi pemanasan global dan mengatasi perubahan iklim dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-20 yang berakhir pada Minggu (31/10/2021) di Roma, Italia. Hasil tidak maksimal dari negosiasi berhari-hari oleh para diplomat itu meninggalkan pekerjaan besar dalam Konferensi Para Pihak (COP) 26 tentang Iklim di Glasgow, Skotlandia.
Dokumen hasil KTT menyebutkan, rencana negara-negara membatasi emisi harus diperkuat ”jika dibutuhkan”. Tak disebutkan batasan waktu secara spesifik untuk mencapai target bebas karbon pada 2050.
”Kami mengakui, dampak perubahan iklim pada 1,5 derajat celsius jauh lebih rendah dibandingkan pada 2 derajat celsius. Untuk mencapai target 1,5 derajat celsius, butuh langkah penting dan efektif serta komitmen seluruh negara,” demikian komunike KTT.
Selepas pertemuan di Roma, sebagian besar pemimpin G-20, termasuk Presiden RI Joko Widodo, terbang ke Glasgow untuk menghadiri COP 26. Pada sesi penutupan KTT di Roma, Perdana Menteri Italia Mario Draghi menyerahkan keketuaan atau presidensi G-20 kepada Presiden Joko Widodo.
Draghi secara simbolis menyerahkan palu kepada Presiden Jokowi yang kemudian mengetukkan palu tersebut. Dalam pernyataannya, Presiden Jokowi mengapresiasi Italia yang telah berhasil memegang presidensi G-20 tahun 2021. ”Saya sampaikan selamat kepada Italia yang telah sukses menjalankan presidensi G-20 di tahun 2021. Indonesia merasa terhormat untuk meneruskan presidensi G-20 di tahun 2022,” ujar Presiden Jokowi, seperti dirilis Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, Minggu.
Presidensi G-20 ini merupakan yang pertama bagi Indonesia dan akan dimulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022.
Presiden Jokowi menjelaskan bahwa presidensi G-20 Indonesia akan mendorong upaya bersama untuk pemulihan ekonomi dunia dengan tema besar ”Recover Together, Recover Stronger”. Pertumbuhan yang inklusif, people-centered, serta ramah lingkungan dan berkelanjutan menjadi komitmen utama kepemimpinan Indonesia di G20.
”Upaya tersebut harus dilakukan dengan cara luar biasa, terutama melalui kolaborasi dunia yang lebih kokoh dan inovasi yang tiada henti. G-20 harus menjadi motor pengembangan ekosistem yang mendorong kolaborasi dan inovasi ini. Hal ini yang harus terus kita perdalam pada pertemuan-pertemuan kita ke depan,” ujarnya.
Mengecewakan
Komunike para pemimpin G-20 dinilai banyak pihak sebagai hasil yang mengecewakan. Pernyataan mereka dinilai hanya setengah hati, minim tindakan nyata. Para pemimpin G-20 hanya menyebut relevansi utama untuk menghentikan emisi karbon ”pada atau sekitar tengah abad ini”. Frasa ini berubah dari draf awal, membuat target yang ditetapkan dalam KTT G-20 ini menjadi kurang spesifik.
China, negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, bersama Rusia dan Arab Saudi menargetkan tahun 2060. Para pemimpin dari tiga negara itu tidak langsung hadir di Roma.
Dalam komunike, para pemimpin G-20 berjanji menghentikan pembiayaan pembangkit listrik berbahan bakar batubara di luar negeri pada akhir tahun ini. Namun, mereka tidak menetapkan tanggal menghentikan penggunaan batubara untuk pembangkit-pembangkit di dalam negeri. Mereka hanya menyebutkan bahwa penghentian itu akan dilakukan sesegera mungkin.
Draf yang beredar sebelumnya menyebutkan, penghentian penggunaan batubara di level nasional ditetapkan tahun 2030. Ini menunjukkan betapa kuatnya lobi-lobi para pengusaha di beberapa negara yang bergantung pada batubara.
Menurut seorang pejabat Perancis, komunike yang disusun mencerminkan penegasan tujuan bersama, tetapi ingin memberikan fleksibilitas terkait ”keragaman negara-negara G-20, khususnya China, India, dan Indonesia”.
Kelompok kampanye lingkungan Greenpeace mengecam pernyataan hasil KTT itu sebagai pernyataan ”lemah, tidak memiliki ambisi dan visi”. Mereka menyebut para pemimpin G-20 ”gagal memenuhi momen”. ”Jika G-20 adalah geladi resik untuk COP 26, para pemimpin dunia mengacaukan tenggatnya,” kata Direktur Eksekutif Greenpeace Jennifer Morgan.
Isu lain yang juga disorot di KTT G-20 adalah pemulihan dari pandemi Covid-19. Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, negara G-20 menyepakati penyiapan mekanisme pencegahan pandemi Covid-19. Perbedaan kapasitas antarnegara dalam mengatasi ancaman kesehatan merupakan tantangan besar dalam pemulihan ekonomi global.
Dalam pertemuan antara para menteri keuangan dan menteri kesehatan negara G-20, Sri Mulyani menekankan, pemulihan ekonomi dunia bergantung pada seberapa cepat dunia mampu menahan penyebaran pandemi Covid-19. ”Kepemimpinan G-20 menjadi bagian penting dalam mempromosikan aksi global yang terkoordinasi untuk mendeteksi dan mengatasi ancaman kesehatan di masa depan,” kata Sri Mulyani dalam keterangan melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden yang dipublikasikan pada Sabtu (30/10/2021).
Sri Mulyani mengatakan, hingga saat ini ada negara dengan jumlah vaksinasi kurang dari 3 persen jumlah penduduk negara mereka. Vaksinasi di negara miskin rata-rata baru 6 persen dari jumlah penduduk. Sementara di sisi lain, negara-negara maju sudah melaksanakan vaksinasi untuk 70 persen penduduk.
Peran korporasi
Seusai KTT G-20, perhatian dunia kini tertuju pada COP 26 di Glasgow, Skotlandia. Selain dihadiri para pemimpin negara, tokoh bisnis dan pemimpin korporasi juga hadir. Korporasi memberi perhatian besar terhadap ancaman perubahan iklim. Korporasi memandang perlu dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi guna mengatasi ancaman tersebut.
Salah satu perusahaan penghasil bubur kertas terbesar di Indonesia, PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP), memiliki rangkaian kebijakan untuk mendukung pemerintah dalam mengatasi ancaman perubahan iklim. Dalam Visi April 2030, ada empat langkah yang hendak diwujudkan dalam mengurangi ancaman perubahan iklim. April merupakan grup induk dari PT Riau Andalan Pulp & Paper, penghasil 2,8 juta ton bubur kertas per tahun.
Sihol Aritonang, Presiden Direktur RAPP, di Edinburgh, Skotlandia, Minggu, mengatakan, salah satu dari empat langkah itu ialah pertumbuhan berkelanjutan. Target langkah ini sangat konkret, yakni membuat operasi di mill atau pabrik menjadi lebih hijau, antara lain dengan meningkatkan penggunaan panel surya. Target pada 2030 ialah 90 persen sumber energi di lokasi operasi bersifat terbarukan. ”Setiap langkah diturunkan jadi target kinerja setiap bagian hingga target tiap individu karyawan,” ujarnya.
Sihol ada di Edinburgh untuk menghadiri COP 26 dan berbicara dalam diskusi panel di Paviliun Indonesia mengenai langkah konkret korporasi mengatasi ancaman perubahan iklim. Para pemimpin korporasi yang akan datang antara lain Presiden Direktur Pertamina Nicke Widyawati, Presdir PT PLN Zulkifli Zaini, serta Managing Director RGE Anderson Tanoto.
COP 26 diharapkan menghasilkan terobosan berupa komitmen baru dari pemimpin negara guna mencegah pemanasan permukaan bumi lebih dari 1,5 derajat celsius ketimbang era sebelum ada mesin uap. Upaya mengatasi pemanasan suhu permukaan bumi dinilai tak hanya menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga korporasi yang mempekerjakan puluhan ribu karyawan. Kontribusi mereka ikut menentukan pencapaian target setiap negara. (AP/AFP/REUTERS/LUK/DIM/CAS/MHD)