Energi terbarukan dan berkelanjutan tidak hanya berupa peralihan, tetapi juga terkait perilaku manusia. Penggunaan energi terbarukan ini diharapkan akan mengatasi ketergantungan pada sumber daya alam yang terbatas.
Oleh
Ahmad Najib Burhani
·5 menit baca
Presidensi Indonesia pada G20 telah menggerakkan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah untuk mengarahkan kegiatannya dalam mendukung tiga isu prioritas dari presidensi saat ini, yaitu penanganan kesehatan yang inklusif, transformasi berbasis digital, dan transisi menuju energi berkelanjutan. Tulisan ini memfokuskan pada aspek sosial budaya pada isu ketiga, transisi menuju energi berkelanjutan, yang di antaranya sering dimaknai sebagai upaya peralihan energi dari yang berbasis fosil menjadi energi nol karbon.
Pentingnya beralih ke renewable and sustainable energy (energi terbarukan dan berkelanjutan) ini adalah karena kita perlu mempertimbangkan kehidupan generasi-generasi yang akan datang. Bahwa bumi ini tidak hanya untuk kita yang hidup saat ini, tetapi juga untuk anak cucu kita. Karena itu jangan sampai alam ini lantas rusak demi kepentingan ekonomi atau keperluan energi dalam kehidupan sekarang saja. Di sinilah perlunya mengurangi emisi karbon, mengurangi ketergantungan pada batubara, menggunakan air seperlunya, pengelolaan sampah yang baik, dan selalu mempertimbangkan keseimbangan ekosistem.
Penelitian kerja sama antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dimulai 15 Maret 2022 mengambil tema yang sangat terkait dengan gagasan energi terbarukan ini, yaitu ”Pembangunan ekonomi hijau dan kondisi sosial demografi penduduk Indonesia: Mewujudkan kesejahteraan penduduk dan lingkungan berkelanjutan”. Titik temu antara energi terbarukan dan ekonomi hijau di antaranya terletak pada keinginan agar manusia selalu berada pada pusat (people centered) dari transisi ke arah itu.
Seperti ditulis Yunita Winarno (2021), memang kita mengejar ”people’s prosperity” (kesejahteraan manusia), termasuk kesejahteraan ekonomi, tetapi kita harus memperhatikan ”planet sustainability” atau keberlangsungan hidup dari planet yang kita tempati ini. Bahwa dalam pembangunan ekonomi itu kekayaan alam dan lingkungan harus dipastikan tetap terjaga. Jika ekonomi hijau memiliki tiga dimensi, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan, maka energi terbarukan juga memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan selain dari tentunya dimensi energi itu sendiri.
Energi terbarukan dan berkelanjutan tidak hanya berupa peralihan, misalnya, dari energi menggunakan batubara menjadi energi berbasiskan tenaga surya atau solar system, tetapi juga terkait perilaku manusia. Salah satunya terkait dengan kesadaran publik (public awareness) terkait dengan perubahan iklim dan upaya mewujudkan kelestarian alam. Memang, bisa jadi biaya untuk energi terbarukan saat ini masih lebih mahal dibandingkan dengan penggunaan batubara sebagai sumber energi. Penggunaan listrik yang tidak hemat juga masih menjadi kebiasaan sehari-hari. Karena belum ada inovasi yang membuat energi terbarukan sebagai sesuatu yang murah, maka banyak yang masih enggan berpindah ke sana. Padahal, bisa jadi degradasi lingkungan yang diakibatkan penggunaan batubara itu lebih mahal daripada keuntungan yang diperoleh.
Bersama dengan 195 negara lain, Indonesia sebetulnya sudah menandatangani Paris Agreement tentang Perubahan Iklim pada 2016 untuk komitmennya dalam pengurangan emisi karbon, menjaga kenaikan temperatur bumi pada 1.5 derajat Celsius dan tidak melebihi 2 derajat Celsius. Secara nasional, Indonesia juga sudah membuat regulasi berupa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement sebagai upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca pada 2030, yaitu 29 persen dari Business as Usual (BaU) dalam upaya mandiri nasional dan 41 persen dari BaU bila ada kerja sama internasional. Namun, saat ini Indonesia dinilai belum sepenuhnya memenuhi komitmen tersebut.
Dalam artikel yang berjudul ”The cultural barriers to renewable energy and energy efficiency in the United States” (2009), secara detail Benjamin Sovacool menguraikan tentang berbagai persoalan kultural terkait dengan transisi menuju energi terbarukan ini. Misalnya, ia menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak memahami bagaimana listrik atau energi itu dibuat. Mereka lantas cenderung cuek dalam penggunaannya, tak terlalu peduli dengan dampaknya atau merasa masih memiliki cadangan sumber daya alam yang banyak dan kaya. Mereka tidak paham kalau banjir dan panas yang ekstrem itu di antaranya disebabkan oleh kebiasaan kita dalam mengonsumsi energi. Mereka ingin agar harga bakar kendaraan itu selalu murah, memprotes kalau ada kenaikan harga, dan tak terlalu peduli terhadap polusi yang diciptakan. Sovacool berkesimpulan bahwa tantangan terberat dalam transisi menuju energi terbarukan itu sebetulnya bukan terletak pada ”engineering and science” (rekayasa dan sains), tetapi pada culture and institutions (budaya dan kelembagaan).
Secara ringkas, Sovacool melihat tiga persoalan kultural dalam persoalan energi terbarukan ini, yaitu apati masyarakat dan kesalahpahaman, pemahaman masyarakat terkait konsumsi energi dan ketersediaanya, dan persoalan psikologis dengan penggunaan energi terbarukan ini. Ia lantas menyarankan agar selain melakukan kajian terkait teknologi energi terbarukan, perlu berbagai kajian tentang penanganan persoalan sosial dan kultural dalam melihat persoalan ini. Jika tidak, target pengurangan emisi karbon tahun 2030 itu bisa jadi gagal tercapai. Ini mirip dengan penanganan pandmei Covid-19 yang tidak cukup dengan mengandalkan vaksinasi, rumah sakit, tenaga medis, dan ilmu kesehatan. Kita sudah melihat, resistensi sebagian masyarakat terhadap vaksinasi dan protokol kesehatan bisa menjadi penghalang bagi upaya penanganan pandemi.
Terakhir, penggunaan energi terbarukan ini sebetulnya diharapkan akan mengatasi ketergantungan pada sumber daya alam (SDA) yang tidak terbatas jumlahnya, perubahan iklim (climate change), ancaman lingkungan, dan krisis energi. Seperti disampaikan oleh Emil Salim pada webinar ”Transisi Energi: Menuju Pembangunan Berkelanjutan” (17/2/2022), pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu memiliki sense of urgency dalam menghadapi isu transisi energi dan perubahan iklim karena Indonesia merupakan negara kepulauan. Berbeda dari negara kontinen, seperti Australia, Amerika Serikat, Tiongkok, dan India, Indonesia yang berada di jalur katulistiwa dan terdiri dari ribuan pulau akan menjadi tempat paling terdampak dari perubahan iklim itu. Di tambah lagi dengan ekonomi kita yang memiliki ketergantungan pada iklim. Jika musim berubah, produksi pangan pun juga akan berubah.
Ahmad Najib Burhani
Profesor Riset di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional)