Pegang Presidensi G-20, Indonesia Bisa Berperan Lebih di Glasgow
Posisi Indonesia sebagai Presidensi G-20 dinilai strategis untuk menggalang komitmen para pemimpin politik untuk mengatasi perubahan iklim.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN
Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen Indonesia dalam menangani perubahan iklim saat berpidato di KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26, Senin (1/11/2021), Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia.
JAKARTA, KOMPAS — Posisi Indonesia sebagai Presidensi G-20 dinilai strategis untuk menggalang komitmen para pemimpin politik untuk mengatasi perubahan iklim. Selain langkah maju untuk mengakhiri deforestasi, transfer teknologi, terutama di bidang energi, menjadi kunci penting untuk menekan emisi gas rumah kaca.
”Dari aspek sains dampak perubahan iklim sebagaimana dilaporkan IPCC sudah sangat jelas. Jika laju pemanasan seperti sekarang, suhu bisa 4 derajat celsius di akhir abad ini dan pada 2030-2042 kita sudah mencapai titik kritis 1,5 derajat celsius dibandingkan pra-industri. Tinggal komitmen politik dari para pemimpin,” kata Edvin Aldrian, profesor riset tentang iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Antarpemerintah terkait Perubahan Iklim (IPCC), di Jakarta, Selasa (2/11/2021).
Menurut Edvin, negosiasi iklim dalam COP26 kali ini hanya akan berhasil jika para pemimpin dunia, terutama dari negara-negara G-20 yang menjadi emiter utama gas rumah kaca memiliki komitmen kuat untuk mengatasinya. ”Sebagai Presidensial G-20, peran Indonesia dalam satu tahun ke depan sangat menentukan perubahan kebijakan iklim,” katanya.
Selain posisinya di G-20, menurut Edvin, Indonesia juga bisa berperan strategis karena besarnya populasi dan keberadaan hutan hujan tropis, yang bisa jadi potensi untuk menyerap karbon atau sebaliknya, yaitu malah memicu emisi. ”Indonesia adidaya dalam hal perubahan iklim karena populasi kita nomor empat di dunia. Apa yang kita lakukan menentukan,” katanya.
Negara maju menganut asaz kapitalisme dan tidak sepenuh hati menjalankan transfer teknologi.
Terkait sektor hutan dan lahan (forest and land use/FoLU), Presiden Joko Widodo dalam pernyataan nasional (national statement) di World Leaders Summit COP 26, bertekad menjadikan sektor hutan dan lahan Indonesia menjadi penyerap karbon (net carbon sink) selambat-lambatnya pada 2030. Hal ini juga sejalan dengan Global Forest Deal yang diluncurkan di Glasgow di mana 100 negara termasuk Indonesia menjanjikan akan mengakhiri deforestasi pada tahun 2030.
Selain sektor FoLU, Edvin mengatakan, sektor energi menjadi kunci untuk menurunkan emisi. ”Kita harus menetapkan target. Kapan kita akan mengakhiri pembangkit batubara. Targetnya harus jelas dan sekali lagi ini tergantung kemauan pemerintah,” katanya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Seorang ibu, warga Kinipan, Lamandau Kalimantan Tengah, menanam kembali lahan yang sudah dibuka perusahaan sawit pada Sabtu (19/1/2019). Hal itu dilakukan sebagai bentuk melawan deforestasi. Ia menanam tanaman yang biasa digunakan untuk memasak oleh ibu-ibu di Kinipan.
Selain itu, kesuksesan mitigasi di sektor energi bakal menjadi tantangan besar bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang masih memiliki keterbatasan teknologi. ”Upaya mitigasi di sektor ini sangat tergantung teknologi yang diterapkan. Ini masalah berat, karena negara maju menganut asas kapitalisme dan tidak sepenuh hati menjalankan transfer teknologi,” katanya.
Perlu komitmen
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengapresiasi target terkait FoLU ini. Namun, dibutuhkan langkah-langkah yang tegas agar target tersebut bisa terealisasi.
”Presiden Jokowi harus tegas mengeluarkan kebijakan pembangunan, termasuk pemulihan ekonomi nasional, yang konsisten dengan agenda net sink FoLU dan tujuan untuk mengakhiri deforestasi pada 2030,” kata Nadia.
Menurut dia, melindungi seluruh bentang hutan alam dan ekosistem gambut tersisa akan membantu Indonesia mencapai aspirasi tersebut. Ia menyebut saat ini masih ada 9,6 juta hektar bentang hutan alam tersisa yang belum terlindungi kebijakan penghentian pemberian izin baru dan oleh karenanya bisa terancam.
Selain itu, menurut Nadia, pascamoratorium sawit, perlu ada kebijakan tegas dan tertulis untuk tidak memberikan izin perkebunan sawit baru di wilayah yang berhutan alam dan ekosistem gambut. ”Jika tidak dihentikan, sekitar 1,73 juta hektar hutan alam di kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK) yang tidak terlindungi Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), di luar Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), dan di luar izin eksisting bisa terancam,” kata Trias Fetra, Program Officer Tata Kelola Sawit Yayasan Madani Berkelanjutan.
Menurut Trias, jika penyelesaian ketelanjuran izin sawit di kawasan hutan turut mencakup area yang masih berhutan alam dan ekosistem gambut, sekitar 0,76 juta hektar hutan alam juga bisa terdampak pelepasan kawasan hutan. ”Jika seluruh hutan alam di atas hilang, hingga 78 persen jatah deforestasi Indonesia untuk mencapai target Updated NDC pada 2020-2030 akan habis,” kata Trias.