NATO Tak Siap Perang Melawan Rusia
Saat ini, Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO tidak siap berperang melawan Rusia. Pada saat yang sama, NATO terus mendorong Ukraina berperang melawan Rusia dengan memasok persenjataan ke negara itu.
LONDON, RABU - Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO, sponsor militer Ukraina, tidak memiliki kesiapan yang memadai jika Presiden Russia Vladimir Putin, pada titik tertentu, misalnya, memutuskan berhadapan langsung dengan NATO. Inggris pada saat ini termasuk di antara anggota NATO yang tidak memiliki kesiapan untuk berperang melawan Rusia.
Pandangan ini disampaikan Jenderal Sir Richard Barrons, mantan Komandan Pasukan Gabungan NATO 2013-16 dalam dengar pendapat di Komite Pertahanan Parlemen Inggris, Selasa (19/4/2022). Saat itu, ia ditanya, apa yang bisa dilakukan jika NATO tak punya pilihan kecuali berperang melawan Rusia.
Baca juga : Rusia: Menyerah atau Mati, Mariupol Akan Digempur Habis
“NATO, pada titik tertentu, harus mengambil keputusan apabila militer Rusia mampu membalikkan situasi dan mengancam wilayah Ukraina yang lebih luas daripada target awal serangan, yakni Ukraina wilayah timur,” kata Barrons sebagaimana dikutip dari The Independent, media Inggris.
Keputusan itu, Barrons melanjutkan, akan lebih mudah untuk diambil apabila NATO telah mempersiapkan diri sepenuhnya dalam situasi sedemikian rupa dengan kecepatan yang dibutuhkan. “Tapi, sayangnya, kita tidak memiliki itu,” ujarnya.
Aspek kedua, menurut Barrons, adalah apa pun hasil yang terjadi di Ukraina akhirnya menyebabkan Putin mengeskalasi krisis ke wilayah negara anggota NATO. Dalam hal ini, responnya jelas karena urusannya dengan Artikel 5 NATO.
Isinya adalah bahwa serangan terhadap salah satu anggota NATO adalah serangan terhadap NATO. Artikel ini menjamin sumber daya seluruh anggota NATO dapat digunakan untuk melindungi anggota NATO tersebut.
"Jawaban saya secara umum terhadap pertanyaan-pertanyaan itu adalah bahwa alasan utama kita ingin menghindari perang antara Rusia dan NATO adalah karena NATO belum siap. Dan kita harus malu akan hal itu," katanya.
Rudal jelajah Rusia ada dan kita benar-benar tidak memiliki sarana untuk menghadapinya kecuali dalam jumlah yang kecil.
Pada kesempatan itu, Ketua Komite Pertahanan Parlemen Inggris, Tobias Ellwood, bertanya, apakah Inggris memiliki kesiapan sistem pertahanan yang dibutuhkan untuk melindungi diri bila Rusia menyerang. “Kita sama sekali tidak (siap),” jawab Barrons.
Barrons juga berpendapat bahwa banyak orang Inggris belum memikirkan konsekuensi manakala rudal jelajah Rusia menghantam London. "Itu (rudal jelajah Rusia) ada dan kita benar-benar tidak memiliki sarana untuk menghadapinya kecuali dalam jumlah yang kecil,” katanya.
Apabila Inggris diminta untuk mempertahankan negara NATO lain dari Rusia, Barrons menambahkan, pasukan Inggris akan dihancurkan oleh angkatan udara Rusia dalam sekitar seminggu. Negara yang menjadi contoh rujukan adalah Estonia, negara NATO yang wilayahnya termasuk paling kecil.
Inggris menyusun rencana untuk memperbarui angkatan bersenjatanya dalam Tinjauan Keamanan Terpadu tahun lalu. Dari sisi anggaran, alokasi sudah melampaui komitmen NATO sebesar 2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per tahun. Inggris juga mencabut batas maksimal persenjataan nuklir dan menciptakan Pasukan Siber Nasional untuk bertahan melawan peretas.
Namun rencana itu dinilai Barrons tidak cukup untuk menangani situasi keamanan yang dihadapi Inggris di tahun-tahun mendatang. Dia memperingatkan bahwa ketegangan dengan Rusia dapat berlanjut sepanjang abad ini. "Pemerintah harus mempertimbangkan untuk meningkatkan pengeluaran militer menjadi 3 persen untuk lima tahun ke depan untuk merevitalisasi angkatan bersenjata Inggris," katanya.
Baca juga : Getirnya Peperangan bagi Lansia Ukraina
Dalam beberapa hari terakhir, Pemerintah Russia memperingatkan negara-negara anggota NATO setelah Kremlin menilai adanya peningkatan aktivitas pasukan NATO di Kutub Utara. Kremlin mengingatkan adanya kemungkinan risiko insiden yang tidak diinginkan terjadi di kawasan tersebut.
Hal ini disampaikan Duta Besar Rusia untuk Kerja Sama Arktik, Nikolai Korchunov sebagaimana dikutip kantor berita TASS. Korchunov merujuk pada latihan militer gabungan NATO di wilayah Norwegia utara. Ia berpendapat, latihan militer skala besar tidak berkontribusi pada keamanan kawasan tetapi justru meningkatkan risiko insiden yang tidak diinginkan.
Kemungkinan pecahnya konflik terbuka antara NATO dan Rusia juga ditekankan oleh Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev. Medvedev menyatakan, penguatan NATO di perbatasan Rusia bukan lagi kiasan. Moskwa, katanya, harus bersiap untuk kemungkinan tindakan yang agresif, termasuk pengerahan senjata nuklir dan rudal hipersonik.
Meski tidak secara terbuka menyatakan keinginannya untuk berkonflik dengan Rusia, NATO melalui sejumlah negara anggotanya terus mengirimkan bantuan peralatan militer kepada Ukraina untuk mempertahankan wilayah dari gempuran militer Rusia di wilayah timur dan selatan.
Norwegia misalnya, terus memasok peralatan tempur bagi Ukraina, termasuk 100 sistem pertahanan udara Mistral buatan Perancis, 4.000 rudal anti-tank, hingga peralatan pelindung serta peralatan militer lainnya. Amerika Serikat (AS) juga terus memasok persenjataan ke Ukraina. Salah satunya adalah pesawat tempur.
Namun Pentagon menolak untuk menyebutkan jumlah pesawat yang diberikan ke Ukraina dan asal masing-masing pesawat. Tidak disebutkan juga apakah pesawat tempur yang dimaksud adalah MiG-29 buatan Rusia, yang diminta oleh militer Ukraina atau bukan.
Baca juga : Serangan ke Ukraina Masih Intensif, Rusia Ancam Swedia dan Finlandia
Pemerintah AS pekan lalu menetapkan untuk menggelontorkan paket bantuan keamanan senilai 800 juta dollar AS ke Ukraina. Termasuk di dalam paket bantuan itu adalah helikopter serbu dan sistem persenjataan terbaru militer AS yang bisa dimanfaatkan untuk menghalau militer Rusia dari kota-kota utama yang ingin direbut oleh Rusia, seperti Mariupol dan Donbas.
Komitmen bantuan AS ke Ukraina itu melengkapi komitmen yang total nilainya mencapai 3,5 miliar dolar AS. Bentuknya berupa peralatan tempur dan perlengkapan militer lain yang telah digelontorkan sebelumnya, awal Februari dan awal Maret.
Sementara itu, upaya untuk menaklukkan Kota Mariupol terus dilakukan militer Rusia. Penguasaan kota ini akan menyambungkan penguasaan Rusia atas Ukraina timur dan selatan.
Moskwa mengultimatum militer Ukraina yang masih bertahan di Mariupol untuk menyerah pada Rabu (20/4), pukul 14.00 waktu setempat. Moskwa juga sepakat untuk membuat koridor kemanusiaan bagi warga dan anggota militer Ukraina yang menyerah.
Baca juga : Perang Ukraina Menjadi Pukulan Balik bagi Rusia
Menyadari bahwa Mariupol dalam kondisi gawat, Wali Kota Mariupol, Vadym Boychenko, meminta warganya untuk mengungsi ke kota terdekat, terutama Zaporizhzhia. Ia meminta orang-orang yang telah meninggalkan Mariupol untuk menghubungi kerabat yang masih berada di kota dan mendesak mereka untuk mengungsi.
Menurut dia, 200.000 orang telah meninggalkan Mariupol. Sebelum perang, kota itu memiliki populasi lebih dari 400.000 orang.
Komandan Brigade Marinir ke-36 Ukraina, Serhiy Volyna, mengatakan, kekuatan Rusia-Ukraina timpang, yakni 10 berbanding satu. Sejumlah pihak menganggap Kota Mariupol akan jatuh ke Rusia dalam waktu yang tidak lama lagi.
Meski begitu, sekitar 1.000 tentara Ukraina dan warga sipil masih berlindung di kompleks industri baja Azovstal. Situasi di tempat tersebut juga tidak baik karena mereka kekurangan persediaan air minum dan makanan.
Baca juga : Ukraina Bersedia Jadi Negara Netral
Di tengah situasi yang makin memburuk di Ukraina, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa Antonio Guterres mengeluarkan seruan gencatan senjata empat hari untuk menandai Pekan Suci Ortodoks. Pekan itu mulai Kamis Putih hingga Minggu Paskah, 21-24 April.
“Alih-alih merayakan kehidupan baru, Paskah bertepatan dengan serangan Rusia ke Ukraina timur. Konsentrasi kekuatan yang intens membuat pertempuran tak terhindarkan. Lebih banyak darah dan sangat destruktif,” kata Guterres. (AP/AFP/REUTERS)