Perang Ukraina Menjadi Pukulan Balik bagi Rusia
Invasi militer Rusia, yang telah memicu perang besar-besaran di Ukraina, mulai memukul balik Moskwa. Arus pelarian warga Rusia ke negara tetangga di Barat dan Asia terus terjadi.
Invasi Rusia yang memicu perang di Ukraina, meski baru berjalan hampir empat minggu, telah semakin merepotkan Moskwa. Distribusi logistik yang semakin tersendat, isolasi sanksi ekonomi yang ketat, dan perlawanan keras Ukraina mengubah kekuatan Rusia menjadi arang. Rusia menderita kerugian besar, tidak hanya korban militer dan kesulitan bagi rakyatnya di dalam negeri, tetapi juga memicu eksodus warga Rusia.
Kamar mayat dan rumah sakit di Belarus dilaporkan dipenuhi mayat dan tentara Rusia yang cacat. Ukraina mengklaim sudah membunuh sejumlah perwira tinggi Rusia, termasuk Wakil Komandan Angkatan Laut Hitam Andrei Nikolayevich Paly, Minggu (20/3/2022). Rusia mengonfirmasi kematian Paly.
Sebelumnya, Kiev mengklaim telah membunuh beberapa perwira tinggi Rusia. Mereka adalah Letnan Jenderal Andrey Mordvichev, Mayor Jenderal (Mayjen) Oleg Mityaev, Mayjen Andrei Kolesnikov, Mayjen Vitaly Gerasimov, dan Mayjen Andrei Sukhovetsky. Namun, Rusia tidak mengonfirmasi kematian mereka.
Media Inggris, The Telegraph, edisi 19 Maret 2022 melaporkan, lebih dari 2.500 mayat tentara Rusia ”dikirim ke Belarus pada tengah malam”, pekan sebelumnya. Jumlah korban tewas kemungkinan jauh lebih besar lagi dan terus bertambah setiap hari karena Kremlin masih menyembunyikan data sebenarnya korban tewas.
Baca juga: Prahara di Ukraina, Laba di Amerika
Para dokter melaporkan tentang banyaknya tentara yang cacat dan kamar mayat yang penuh sesak di beberapa kota di Belarus saat Moskwa berusaha menyembunyikan data korban jiwa tentara Rusia. Penduduk Gomel (Homyel), kota terbesar kedua di Belarus dekat perbatasan Ukraina-Belarus-Rusia, menuturkan bahwa bangsal-bangsal rumah sakit dipenuhi tentara yang luka parah. Kamar mayat pun penuh sesak.
Sementara petugas medis di Mazyr, kota berpenduduk 100.000 jiwa di Belarus dekat perbatasan Ukraina, menambahkan, mayat-mayat tentara Rusia terus berdatangan pada tengah malam untuk menghindari perhatian media. ”Mayat diangkut dengan ambulans dan kereta Rusia,” kata seorang dokter.
Pada 2 Maret lalu, Rusia mengakui hampir 500 tentaranya tewas dan 1.597 tentara terluka. Sejak itu, tidak ada laporan resmi dari Rusia. Sementara intelijen AS minggu ini menyebutkan angka paling rendah bahwa sekitar 7.000 tentara Rusia telah tewas. Ukraina mengklaim 14.000 orang Rusia tewas.
Sangat sulit menentukan secara pasti laporan tentang korban perang. Hal yang sudah lazim bahwa sebuah negara merahasiakan kematian dalam jumlah besar tentara mereka di medan tempur. Informasi di wilayah Gomel dan kota lain di Belarus mungkin menawarkan beberapa petunjuk tentang jumlah kematian tersebut.
Tiga minggu setelah invasi Rusia ke Ukraina, media sosial di seluruh dunia dipenuhi dengan gambar tank-tank Rusia yang terbakar atau terbalik, konvoi tentara yang terjebak di lumpur, dan pasukan wajib militer yang dipanggil pulang keluarga mereka karena tak mengira mereka akan berperang.
Baca juga: Efek Perang Ukraina, AS Kebanjiran Pesanan Rudal-Pesawat Nirawak dari Eropa
Di garis depan, unit yang tidak berpengalaman menghadapi perlawanan Ukraina yang lebih keras dari perkiraan. Banyak di antara mereka juga dalam kondisi putus asa karena berbagai faktor yang mulai membebani pertempuran mereka. Namun, Rusia tetap melaporkan kemajuan dalam melawan Ukraina.
”Saya sangat lelah karena mengobati banyak orang. Ada yang kehilangan anggota tubuh,” kata seorang tentara Rusia yang bertempur di dekat Mariupol, Ukraina.
Gelombang pelarian
Perang Ukraina yang dikobarkan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang khawatir akan ancaman aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) meski belum sebutir pun peluru aliansi jatuh di tanah Rusia, turut memicu gelombang pelarian warga Rusia. Saat gelombang protes di dalam negeri dibungkam dan sanksi ekonomi Barat yang semakin mencekik Rusia, ribuan warga Rusia lari ke luar negeri.
Puluhan ribu orang Rusia, seperti dilaporkan The New York Times, telah melarikan diri ke Istanbul, Turki, sejak Rusia menginvasi Ukraina, 24 Februari lalu. Mereka marah pada apa yang mereka lihat sebagai perang kriminal. Mereka juga takut wajib militer atau kemungkinan penutupan perbatasan Rusia serta khawatir bahwa mungkin akan kehilangan mata pencarian di dalam negeri.
Pengalaman akan semakin dalam dan kuatnya otoritarian-personalis membuat banyak orang Rusia putus asa akan masa depan mereka yang semakin tidak pasti. Mereka sebenarnya menentang invasi, yang menyebabkan banyak orang meninggalkan Rusia, meski jumlah mereka jauh lebih kecil dibandingkan dengan 3,3 juta warga Ukraina yang mengungsi akibat serangan Rusia.
Menurut The Times, puluhan ribu orang Rusia telah bermigrasi ke negara-negara seperti Armenia, Georgia, Uzbekistan, Kirgistan, dan Kazakhstan, yang sebenarnya lebih dikenal sebagai negara asal migran ke Rusia. Di perbatasan darat dengan Latvia, khusus bagi mereka yang memiliki visa Eropa, para pelintas dilaporkan mengantre berjam-jam untuk bisa menyeberang.
Lihat video: Bantuan Kemiliteran Amerika Meluncur ke Ukraina
Jumlah warga pelarian Rusia mungkin tidak sebanyak saat eksodus pada 1920-an, ketika lebih dari 100.000 penentang Komunis Bolshevik selama Perang Saudara Rusia melarikan diri ke kota yang saat itu bernama Konstantinopel. Kini, ribuan warga kembali lari ke ”Konstantinopel” baru, yakni Istanbul, kota terpadat yang menjadi pusat perekonomian, budaya, dan sejarah Turki.
”Belum pernah ada seperti ini sebelumnya di masa damai,” kata Konstantin Sonin, ekonom Rusia di University of Chicago, Amerika Serikat. Meski sedang tidak ada perang di Rusia, pelarian ribuan orang Rusia itu merupakan jumlah yang cukup besar.
Kalangan bloger, jurnalis, atau aktivis telah lebih dahulu melarikan diri dari negara yang tidak memberikan kebebasan berpendapat itu. Mereka takut ditangkap dan dipenjara di bawah undang-undang baru Rusia yang mengkriminalisasi setiap pemberi ”informasi palsu” tentang perang. Media Rusia dilarang menggunakan kata ”perang” dan ”invasi”, selain ”operasi militer khusus” di Ukraina.
Di Georgia, menurut pemerintah setempat, 20.000 orang Rusia telah tiba sejak awal invasi. ”Kami mencoba menjelaskan bahwa orang Rusia bukan Putin—kami juga membenci Putin,” kata Leyla Nepesova (26), aktivis Memorial International, kelompok HAM Rusia yang belum lama ini ditutup Kremlin.
Seorang sopir taksi di Georgia, minggu lalu, ketika mengetahui Nepesova asal Rusia, langsung mengecapnya sebagai ”Anda orang Rusia, Anda penjajah”. ”Orang Rusia dibenci di sini dan saya tidak bisa menyalahkan mereka,” tutur Nepesova yang merasa sangat terpukul.
Banyak orang Georgia melihat ada persamaan yang jelas antara invasi Ukraina dan perang Rusia di Georgia pada 2008. Sementara sebagian besar warga Georgia menyambut para pendatang baru dengan baik. Mereka bisa membedakan antara pembangkang Rusia yang melarikan diri karena alasan keamanan atau moral dan antara para pendukung Putin.
Baca juga: Pasukan Rusia Makin Merangsek ke Kota-kota Ukraina
Bank of Georgia telah menuntut agar pelanggan barunya dari Rusia menandatangani pernyataan yang mengecam invasi Putin dan mengakui pendudukan Rusia atas beberapa bagian Georgia. Tuntutan itu dapat menjadi masalah bagi mereka yang kelak akan kembali ke Rusia. Beberapa orang Georgia telah meminta tuan tanah untuk menolak sewa bagi pendatang Rusia.
Di negara tetangga Armenia, pemerintah setempat mengaku beberapa ribu orang Rusia terus berdatangan setiap hari dan menyambutnya dengan baik. Davur Dordzheir (25) mengatakan, dirinya berhenti dari pekerjaannya sebagai pengacara di Sberbank, milik Pemerintah Rusia, membuat surat wasiat, dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya. Dia terbang ke Yerevan, ibu kota Armenia.
Ada begitu banyak pekerja profesional yang juga tidak melihat adanya masa depan di Rusia. Banyak yang meninggalkan pekerjaan, keluarga, dan uang yang tersangkut di rekening bank Rusia yang tidak bisa lagi mereka akses. Mereka takut menjadi orang Rusia di luar negeri setelah Barat mengisolasi negara mereka karena invasi telah berubah menjadi perang yang mematikan.
”Mereka tidak hanya merampas masa depan kami,” kata Polina Borodina, penulis drama Moskwa, tentang perang negaranya di Ukraina. ”Mereka mengambil masa lalu kami.”
Tutup media independen
Sebelum invasi, Rusia hingga bulan lalu tetap menjadi tempat dengan koneksi perjalanan yang luas ke seluruh dunia, internet yang sebagian besar tanpa sensor memberikan platform bagi media independen, industri teknologi yang berkembang pesat, dan panggung seni kelas dunia. Entitas gaya hidup kelas menengah Barat—Ikea, Starbucks, mobil asing yang terjangkau—tersedia luas.
Baca juga: Arah Investasi Setelah Krisis Ukraina
Dmitri Aleshkovsky, jurnalis yang menghabiskan waktu bertahun-tahun mempromosikan budaya amal yang sedang berkembang di Rusia, pergi ke Latvia sehari setelah invasi ke Ukraina. ”Menjadi sangat jelas bahwa jika garis merah ini telah dilanggar, tidak ada yang akan menahannya lagi,” kata Aleshkovsky tentang Putin. ”Semuanya akan menjadi lebih buruk.”
Putin telah memaksa media independen Rusia yang tersisa untuk ditutup. Dia memerintahkan penangkapan lebih 14.000 orang di seluruh negeri karena demonstrasi menentang invasi. Penangkapan terakhir terhadap 862 orang di 37 kota, Minggu (20/3/2022). Banyak orang Rusia mendukung perang karena mereka hanya mengandalkan berita televisi yang dikelola pemerintah.
Menurut The Times, beberapa orang Rusia yang diasingkan mencoba untuk mengorganisasi upaya saling membantu para pelarian dan berusaha mendukung sentimen anti-Rusia. Mikhail B Khodorkovsky, taipan minyak yang pernah dipenjara 10 tahun di Rusia, mendanai sebuah proyek yang disebut Kovcheg—”The Ark”—yang menyediakan perumahan di Istanbul dan Yerevan bagi para pelarian.
Rasa sakit karena meninggalkan segalanya telah menyiksa para pelarian asal Rusia. Mereka juga merasa bersalah karena merasa tidak melakukan cukup banyak untuk melawan Putin. Alevtina Borodulina (30), seorang antropolog, bergabung dengan lebih dari 4.700 ilmuwan Rusia menandatangani surat terbuka menentang perang. Perlawanan elite bisnis dan politik mungkin akan segera bangkit.
Di luar skenario awal
Invasi Rusia yang telah berubah menjadi perang mematikan dan memicu krisis kemanusiaan di Ukraina, menurut para analis, telah berjalan di luar skenario awal. Pejabat pertahanan AS dan Barat percaya bahwa Putin semula merencanakan serangan kilat untuk merebut Kiev guna menggulingkan Zelenskyy dalam hitungan hari.
Kini, pasukan Rusia, yang berupaya mengepung Kiev dilanda kekurangan pasokan logistik dasar. Rusia mulai merasakan dampak perang yang tidak diprediksi akan menghasilkan kerusakan seperti sekarang ini. Hasil atau tujuan perang Putin di Ukraina menjadi semakin tidak jelas. ”Semua ini tak berjalan sesuai rencana Rusia,” kata Michael Kofman, pakar militer Rusia pada lembaga kajian CNA. ”Hasilnya sekarang tidak pasti.”
Baca juga: Ada yang Bersorak atas Serangan Rusia
Menurut para analis, keputusan untuk menyerang dan jenis perang yang dipilih tampaknya didasarkan pada serangkaian asumsi buruk dengan latar belakang adanya informasi yang tidak akurat. Rusia membuat asumsi yang salah tentang militernya sendiri dan tentang Ukraina.
Tiga minggu Putin memerintahkan serangan, atau dalam bahasanya ”operasi militer khusus”, ke Ukraina, hampir 200.000 tentara Rusia gagal merebut kota-kota besar Ukraina. Banyak dari mereka berasal dari wajib militer. Perlawanan sengit Ukraina lebih sengit daripada yang diperkirakan, ”menghentikan sebagian besar” serangan Putin. Rusia dilaporkan hanya membuat kemajuan kecil di darat, laut, atau udara dalam beberapa hari terakhir.
Moskwa juga menghadapi jenis pertempuran yang berbeda di Ukraina daripada yang diperkirakan. Penggunaan rudal hipersonik dan jelajah jarak jauh menjadi bukti bahwa Rusia menghadapi perlawanan yang sengit dari Ukraina. Unit-unit kecil tentara Ukraina telah maju menggunakan senjata antitank Barat, seperti Javelin AS dan sistem senjata antitank ringan generasi baru dari Inggris.
Moskwa tetap yakin akan menang dalam perang di Ukraina. Juru Bicara Kementerian Pertahanan Rusia Igor Konashenkov mengatakan, pasukan Rusia telah maju 12 kilometer dalam operasi militer khusus di Ukraina dibandingkan dengan posisi sebelumnya. Penjelasan itu merujuk pada upaya merebut beberapa kota, termasuk ibu kota Kiev.
Di berbagai kota, serangan Rusia telah meninggalkan kerusakan parah pada fasilitas militer dan sipil. Kelompok separatis pro-Rusia di Ukraina dilaporkan semakin membuat kemajuan dalam membantu pasukan Rusia dan dilaporkan telah mencapai tepi Severodonetsk, kota di bagian timur Ukraina berpenduduk 100.000 orang. (AFP/AP/REUTERS)