Perang Rusia dengan Ukraina berlangsung hampir selama dua bulan. Di tengah pertempuran, ada kelompok lansia yang sangat rentan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Perang antara Rusia dengan Ukraina teramat berat bagi warga lansia Ukraina. Tidak hanya trauma akibat ketakutan, mereka juga tidak bisa mengungsi karena tubuh yang sudah sepuh. Banyak pula di antara para lansia ini yang menanggung duka kehilangan anak-anak mereka yang tewas di dalam peperangan maupun pengepungan.
Para lansia duduk berkerubung di sebuah rumah sakit di kota Dnipro di Ukraina sebelah timur pada pertengahan bulan April 2022. Mereka mengenakan mantel tebal dan penutup kepala untuk mengusir udara musim semi Eropa Timur yang masih dingin. Di tengah segala keterbatasan, mereka berusaha bertahan.
“Kaum lansia ini yang paling rentan selama peperangan. Mau mengungsi susah, tinggal di Ukraina lebih susah lagi,” kata Federico Dessi, Direktur Handicap International Ukraine, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang membantu menolong lansia selama konflik Rusia-Ukraina berlangsung. Secara total, Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat setidaknya ada 4 juta warga Ukraina yang telah mengungsi.
Ia menjelaskan, organisasi itu membantu evakuasi lansia dari berbagai penjuru Ukraina pascapenyerbuan oleh Rusia. Per Sabtu (16/4/2022), Handicap International Ukraine mengayomi 13.000 lansia di Dnipro. Mereka tersebar di berbagai fasilitas kesehatan maupun tempat-tempat penampungan yang lain.
“Lansia ini secara fisik tidak bisa berjalan jauh sehingga mustahil bagi mereka mengikuti konvoi pengungsi ke stasiun kereta api ataupun terminal bus. Di saat yang sama, banyak dari mereka yang gagap teknologi sehingga tidak bisa meminta anggota keluarga untuk menjemput. Akibatnya, banyak sekali lansia yang kami tolong berhari-hari terkurung di kediaman masing-masing,” papar Dessi.
Salah satu lansia yang mengalami hal tersebut adalah Aleksandra Vasiltchenko (83) yang terkurung selama tiga hari di apartemennya di Kramatorsk. Menurut dia, tentara Rusia yang menginvasi kota tersebut tidak menunjukkan sikap bekerja sama, termasuk terhadap warga Ukraina keturunan Rusia seperti Vasiltchenko. Mereka bahkan menembaki 60 orang yang berusaha melarikan diri ke stasiun kereta.
“Saya hanya bisa menangis dan berdoa selama sendirian di apartemen. Saya mengutuki Putin (Presiden Rusia) dan keluarganya yang menyebabkan pertumpahan darah ini,” tuturnya.
Ketika ia diungsikan ke Dnipro, Handicap International berhasil mengontak anak dan cucu Vasiltchenko. Salah satu cucu akan menjemput neneknya untuk dibawa berkumpul bersama keluarga.
Pada hari Sabtu itu juga, Handicap International Ukraine menerima tamu baru, yaitu Lidia (86) dari Adiivka. Kepada CNN, nenek yang tidak mau mengungkapkan marganya karena takut keluarganya diincar oleh tentara Rusia ini mengaku hampir sepekan tinggal di ruangan tanpa listrik. Setiap malam, ia lewati dengan kedinginan di tengah kegelapan.
“Mau mati pun juga takut karena tidak akan ada yang menemukan jenazah saya, apalagi memberi pemakaman yang layak dengan doa-doa,” katanya sambil menangis. Ia kini lega bisa berada di Dnipro. Keluarga Lidia yang berada di Rusia tengah mengupayakan agar Lidia bisa berkumpul bersama mereka. Ini pula yang membuat status keluarga tersebut riskan.
Bagi warga Ukraina berusia di atas 80 tahun, ini merupakan peperangan ketiga yang mereka alami. Yulia Panfiorova (83), seorang pensiunan dosen ekonomi, mengenang pengalamannya ketika kampung halamannya, Lysychanks diinvasi oleh tentara Nazi Jerman pada tahun 1943. Setelah itu, di tahun 2014 ia melihat peperangan yang pecah karena kelompok separatis pro Rusia di Donbas ingin bergabung dengan Rusia. Sekarang, ia tidak menyangka mengalami kembali nestapa peperangan.
Sementara para lansia di Dnipro menunggu evakuasi lebih lanjut, di Mykulychi, Nadiya Trubchaninova (70) baru saja memakamkan putranya, Vadym (48). Ini pun terjadi setelah hampir dua pekan ia menyusuri berbagai kuburan massal di Bucha untuk mencari jenazah putranya.
Trubchanunova tidak tahu alasan Vadym meninggalkan kampung mereka pada 30 Maret lalu. Ia menduga, Vadym menyetir mobilnya ke Bucha karena hendak mencari sinyal telepon yang lebih baik. Pada hari itu, putra Vadym yang merantau ke kota lain berulang tahun sehingga Vadym ingin mengucapkan selamat. Tidak ada yang menduga Vadym tidak kembali dari Bucha.
“Orang-orang kampung sudah mengingatkan dia kalau tentara Rusia di Bucha berbeda dari yang di kampung. Mereka tidak peduli dengan orang lain,” kata Trubchaninova. Menurut dia, di Mykulychi, tentara Rusia relatif tenang dan berjanji tidak menyakiti warga selama mereka tidak melawan.
Ia kemudian mendengar kabar mengenai pembantaian di Bucha yang menewaskan 900 orang sehingga ia pun memutuskan untuk setiap hari berjalan kaki ke Bucha mencari keberadaan Vadym. Setiap rumah duka ia datangi demi mencari nama putranya. Setelah sepekan, ia menemukan nama Vadym dan dikatakan dimakamkan di salah satu kuburan massal.
Ketika petugas menggali kuburan yang dangkal dan mengeluarkan kantong jenazah, Trubchaninova langsung mengenali jasad itu sebagai Vadym dari syal yang masih melilit di leher. Ia sedih sekaligus lega, tetapi untuk memakamkan Vadym butuh biaya. Membeli peti mati membutuhkan uang minimal Rp 1 juta atau setara dengan uang pensiunan Trubchaninova selama sebulan.
Selama ini, ia menambah penghasilan dari berjualan sayur. Akan tetapi, gara-gara invasi Rusia sejak 24 Februari, kebun sayur Trubchaninova gagal panen. Untunglah ada lembaga amal yang menyumbangkan peti mati sehingga jenazah Vadym bisa dibawa pulang kampung dan dimakamkan dengan upacara yang sederhana.
“Ia sudah diantar dengan doa, tapi tetap saja kehilangan anak itu bukan sesuatu yang alami,” kata Trubchaninova. (AP/AFP)