Membaca Perubahan Geostrategi Rusia dalam Konflik di Ukraina
Tak jua mampu menaklukkan Ukraina dalam tempo cepat, Rusia kini beralih fokus menguasai wilayah Ukraina timur. Rusia sedang membangun daerah penyangga dengan menguasai Crimea, Luhansk, dan Donetsk.
Oleh
Toto Suryaningtyas
·6 menit baca
Setelah menderita kerugian besar dalam jumlah personel tentara tewas dan peralatan perang, Rusia mengubah strategi dengan memusatkan kekuatan invasinya ke wilayah timur Ukraina. Perang besar tampaknya akan terjadi di tengah semakin besarnya kerugian di kedua pihak.
Pada awal serangan militer ke wilayah Ukraina 24 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin menargetkan kemenangan “sapu bersih” kota-kota penting Ukraina hanya diperkirakan dalam hitungan hari. Hal ini tak berlebihan karena dalam invasi sebelumnya di Semenanjung Crimea 27 Februari 2014, hampir tak ada perlawanan militer atas invasi dari pasukan khusus Rusia. Hanya dalam beberapa hari, tempat-tempat penting gedung pemerintahan di Krimea diduduki tentara Rusia.
Hal tersebut bisa terjadi karena di dalam wilayah Crimea sendiri terjadi pergolakan politik dan sosial yang mengatasnamakan pembelaan sejumlah etnis pro-Rusia. Selain itu hampir seluruh elemen militer Ukraina di Crimea “gagal” menghalangi pasukan Rusia karena keterbelahan loyalitas terhadap Rusia dan Ukraina yang terjadi dalam tubuh militer di Crimea.
Sekitar 20.000 tentara, ratusan tank dan pesawat tempur yang memasuki ibukota Crimea, Simferopol tidak menemui perlawanan berarti dan bahkan hampir tidak ada pertempuran. Akibatnya, keberadaan pasukan militer lebih terlihat sebagai unjuk kekuatan, alias parade militer. Ini adalah keberhasilan strategi menciptakan ilusi dominasi militer Rusia, dan sebagai hasil mesin propaganda Rusia yang selama bertahun-tahun telah menanamkan pemahaman tentang Crimea bagian Rusia bagi sekitar 2 juta warga Crimea saat itu.
Carnegie Endowment for International Peace (13/3/2014) mencatat, kemampuan invasi Rusia saat itu “mengesankan” dalam mengambil inisiatif, mengoordinasikan tindakan politik dan militer, dan menggunakan taktik pengalihan isu, membuat negara Barat dan pemerintahan baru Ukraina terpana, gelisah, dan hanya bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun keberhasilan Rusia yang “mulus” mencaplok Semenanjung Crimea tak mampu diulang dalam invasi tahun 2022.
Pelaksanaan invasi tahun 2022 dilakukan dalam tanggal yang mirip invasi 2014, yakni di 24 Februari 2022 dengan pola pra-invasi yang hampir sama. Sebelum invasi dijalankan, baik pada invasi I maupun II pasukan Rusia melakukan latihan militer besar-besaran melibatkan sekitar 150.000 tentara beserta ratusan peralatan tempur berbagai matra.
Bedanya, di tahun 2014 hanya sebagian kecil pasukan yang masuk ke wilayah Crimea, sedangkan di tahun 2022 seluruh pasukan serentak menyerbu wilayah utara dan timur Ukraina bahkan dengan penambahan hingga diperkirakan mencapai 200.000 pasukan.
Betapapun, kegagalan Rusia menaklukkan kekuatan perlawanan Ukraina hingga hari ini telah mengejutkan dunia, karena di tengah timpangnya kekuatan militer Ukraina terhadap Rusia namun mampu bertahan. Di hari-hari awal serangan Rusia, catatan data personil militer maupun alat perang kedua negara secara kuantitas saja sudah timpang 1 berbanding 15-20. Sedangkan secara kualitas, teknologi persenjataan Ukraina kebanyakan berasal dari teknologi tahun 1980-an, sedangkan Rusia menggunakan teknologi terkini tahun 2020.
Namun sejarah menunjukkan, “hasil akhir” pertempuran antara Ukraina dan Rusia menghasilkan kerugian militer yang mempermalukan Rusia termasuk tewasnya puluhan perwira dan 7 jenderal. Belum pernah dalam sejarah peperangan Rusia, menderita kerugian yang sedemikian besar dan mendalam sejak era Perang Dunia II.
Juru bicara kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov bahkan menyatakan, kerugian dari invasi ke Ukraina telah menyebabkan “tragedi besar” dan memaksa Rusia membuat perubahan strategi militer. Per 25 Maret 2022, Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan 1.351 tentaranya tewas dalam pertempuran. Angka ini berbeda jauh dengan klaim Ukraina atas kematian tentara Rusia yang mencapai lebih 19.000 tentara (bbc.com 8/4/2022).
Tak hanya itu, ratusan tank, pesawat tempur, helikopter, ribuan kendaraan militer, dan logistik hangus atau dirampas pasukan Ukraina. Angka-angka itu sungguh ironi dibandingkan dengan korban invasi Rusia ke Crimea 2014 yang tidak menyebabkan banyak kematian tentara Rusia maupun alat tempur.
Daerah separatis
Kini, kekuatan militer Rusia akan dipusatkan di wilayah timur Ukraina yang meliputi provinsi Luhansk dan Donetsk yang selama ini merupakan dua wilayah separatis pro-Rusia. Republik Rakyat Donetsk adalah nama daerah itu saat ini yang memproklamasikan kemerdekaan pada 2014. Iring-iringan kendaraan militer Rusia merayap sepanjang belasan kilometer di jalur menuju kawasan timur Ukraina.
Donetsk, adalah “Negara” dengan pengakuan terbatas seluas 358 kmpersegi dan sekitar 1 juta penduduk menerima dukungan politik, kemanusiaan, dan militer dari Rusia. Sementara Provinsi Luhansk mencakup area 257 kmpersegi dengan sekitar 400 ribu penduduk (2021). Sama dengan tetangganya, disini kaum separatis pro-Rusia mendeklarasikan negara Republik Rakyat Luhansk yang didukung Rusia. Pada Februari 2022, Presiden Vladimir Putin mengakui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk dan menjadikannya dalil invasi Rusia atas Ukraina.
Di kedua provinsi itu selama delapan tahun terakhir secara de facto Rusia menjalankan pengaruhnya meski secara hukum merupakan wilayah kedaulatan Ukraina. Bahasa Rusia lebih banyak digunakan sehari-hari meski komposisi etnis Ukraina mencapai separuh penduduk, seimbang dengan penduduk beretnis Rusia. Pada sebuah survei tahun 2014, sekitar 20 persen populasi memandang Rusia adalah tentara pembebasan, dan jumlah yang sama bersedia menentang atau berperang melawan Ukraina (dw.com).
Hal-hal itu merupakan dukungan basis sosial yang dibutuhkan bagi moril prajurit Rusia yang selama bertempur di wilayah utara dan tengah Ukraina telah digempur baik oleh militer Ukraina maupun pejuang sukarelawan sipil bersenjata. Pemusatan kekuatan militer Rusia di wilayah timur Ukraina juga akan menjadi basis politik yang lebih kuat di mata internasional. Hal ini karena di kedua wilayah itu selama delapan tahun terakhir pasukan Ukraina melakukan berbagai aksi represi kepada milisi maupun simpatisan separatis.
Sejumlah analis barat sejak awal sudah memperingatkan bahwa penarikan mundur pasukan Rusia dari sekitar ibukota Kiev lebih merupakan strategi militer ketimbang langkah kemanusiaan untuk menurunkan tensi peperangan. Terlebih fakta lapangan menunjukkan bahwa pasukan Rusia yang tersebar mengepung ibukota Ukraina dari berbagai penjuru itu justru menjadi bulan-bulanan serangan pasukan Ukraina.
Persiapan perang
Jelang serbuan Rusia ke wilayah timur Ukraina, terjadi pemuncakan ketegangan politik dan kesiapan militer. Semakin banyak negara yang menilai invasi Rusia tidak bisa diprediksi selesainya dan khawatir dengan agresivitas Rusia. Ada kebutuhan negara-negara tetangga Rusia seperti Polandia, Finlandia, Swedia untuk melindungi wilayahnya dari invasi Rusia di masa depan. Hal itu terlihat dengan keberanian negara-negara itu, di tengah ancaman Rusia, justru menyatakan ingin bergabung dengan NATO. Polandia bahkan berani meminta AS menempatkan rudal nuklir di negaranya.
Kondisi ini tentu kontraproduktif dengan tujuan invasi Rusia ke Ukraina yang sudah menghabiskan sumber daya materi dan manusia dalam jumlah besar. Belum lagi tidak ada jaminan bahwa Rusia mampu menyelesaikan target invasi dan keluar dari Ukraina dengan wajah tegak. Hal itu dikuatkan dengan komentar panglima peran tentara Chechnya, Ramzan Khadirov yang menyatakan hendak menguasai seluruh Ukraina.
Ukraina sudah menunjukkan bagaimana beratnya menghadapi angkatan bersenjata Rusia dan hebatnya kerusakan yang diderita. Membutuhkan segenap kemampuan dan semangat dari rakyat dan pemerintah Ukraina untuk mampu menahan gerak maju pasukan Rusia. Apakah mereka mampu menahan serangan besar yang tampaknya akan dilakukan secara lebih terpusat di wilayah Timur tentu masih menjadi pertanyaan besar.
Yang jelas, Presiden Volodomyr Zelinskyy sudah menyatakan mempersiapkan militernya untuk menghadapi serangan masif Rusia tidak akan meninggalkan Ukraina. Berbagai bantuan militer yang baru berdatangan tentunya juga memberi tambahan kekuatan untuk menghadapi Rusia. Namun lagi-lagi semua akan kembali terpulang ke kemampuan determinasi dan semangat membela tanah air dari rakyat Ukraina sendiri. Tidak ada yang memberi bahan bakar lebih besar dari semangat nasionalisme membela tanah air. (LITBANG KOMPAS)