Apa yang Dicari Vladimir Putin di Ukraina?
Presiden Rusia Vladimir Putin mengerahkan lebih dari 100.000 pasukan ke perbatasan Ukraina. Langkah Presiden Putin ini mengundang percakapan warganet tentang maksud pergerakan besar militer Rusia di Ukraina.
Tagar #Ukraine masih menjadi salah satu topik yang dibicarakan warganet dunia dalam konflik Rusia dan Ukraina. Sepanjang 2-8 Februari 2022 telah muncul 1,5 juta hasil pencarian seputar Ukraina di media sosial dengan 7,8 juta interaksi yang dilakukan warganet.
Percakapan yang muncul pada 8 Februari 2022 ini bahkan tidak kalah dengan satu pekan sebelumnya. Jika pada 2 Februari 2022 warganet menyoroti latihan militer Rusia di Belarus dan mobilisasi militer AS ke Ukraina, isu pembicaraan saat ini adalah ancaman sanksi dari AS dan Inggris kepada Rusia jika menyerang Ukraina.
Namun, di balik konflik Rusia-Ukraina ini, warganet masih menyimpan pertanyaan mendasar mengapa Rusia hendak menginvasi Ukraina. Hal ini dapat diikuti dari dua percakapan utama (top conversation) pada 2-8 Februari 2022.
Konten pertama dari akun Tiktok CBSnews yang menguraikan unjuk kekuatan armada Rusia. Mobilitasi militer Rusia disebutkan telah mencapai 70 persen kekuatan, jumlah yang cukup untuk melakukan sebuah invasi besar. Konten yang diunggah pada 5 Februari 2022 ini telah dilihat 1,2 juta kali dan mendapatkan 70,2 ribu likes dan komentar warganet.
Konten kedua datang dari akun Youtube Sahra Wagenknecht yang juga mempertanyakan mengapa Presiden Putin menginginkan perang. Kompilasi konten yang bersumber dari sejumlah media termasuk Der Spiegel tersebut telah ditonton 709.394 kali sejak diunggah pada 4 Februari 2022 dan mendapatkan 57,1 ribu interaksi warganet.
Keputusan Presiden Putin ini tidak dapat dilepaskan dari konflik kedua negara selama ini. Potensi konflik negara yang bertetangga ini setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu pengaruh geopolitik, sengketa Crimea dan perebutan pengaruh di perairan Laut Hitam, serta keberadaan jalur pipa gas milik Rusia.
Dari aspek geopolitik, Ukraina yang memiliki luas wilayah 603.500 kilometer persegi ini sering digambarkan sebagai negeri dengan dua sisi, yaitu wilayah di bagian barat adalah pro-Eropa dan wilayah bagian timur pro-Rusia. Terbelahnya geopolitik ini tidak terlepas dari kondisi geografis Ukraina.
Ukraina memiliki enam negara tetangga yang berbatasan langsung. Wilayah bagian timur Ukraina berbatasan dengan Rusia. Sedangkan bagian barat berbatasan dengan Polandia, Slowakia, dan Hongaria. Di wilayah barat daya negara tetangga Ukraina adalah Rumania dan Moldova. Dari titik perbatasan ini tergambar kondisi geopolitik Ukraina yang berada di antara dua poros kekuatan dunia, yaitu Rusia dan Eropa.
Posisi geografis tersebut juga memengaruhi budaya setempat. Di wilayah barat, penduduk Ukraina memiliki dialek dan kultural yang mirip karakteristiknya dengan masyarakat Polandia.Adapun wilayah timur memiliki karakteristik yang mirip dengan Rusia. Sebagian besar penduduknya sehari-hari berbahasa Rusia(Kompas 28/11/2004).
Gepolitik
Perbedaan latar belakang dalam dua kutub besar ini juga terbawa dalam situasi politik. Kondisi geopolitik turut memengaruhi dinamika politik Ukraina termasuk dalam pemilihan presiden dan kebijakan strategis. Salah satu contoh kasus ini muncul pada 2013 saat Ukraina dan Rusia berseteru setelah Presiden Ukraina Viktor Yanukovych batal menandatangani perjanjian dagang dengan Uni Eropa.
Kebijakan Presiden Viktor Yanukovych yang pro-Rusia menuai protes dari pihak oposisi. Demonstrasi pro-Uni Eropa menghangat sejak November 2013 menolak kebijakan Yanukovych yang lebih memilih meneruskan hubungan dagang dengan Rusia.
Di sisi lain, Rusia juga punya ambisi besar membangun Uni Eurasia untuk mengimbangi kekuatan Uni Eropa. Karenanya, Rusia terus berupaya menarik Ukraina dengan menawarkan perjanjian dagang kepada pemerintahan Yanukovych, menjanjikan talangan utang sebesar 15 miliar dollar AS, serta memberi diskon harga gas alam untuk Ukraina.
Aksi protes disertai unjuk rasa besar-besaran melalui Revolusi Jingga akhirnya melengserkan Presiden Yanukovych pada 2014. Tidak beberapa lama kemudian, Rusia mengambil Crimea dari Ukraina.
Semenanjung Crimea yang terletak di tepi Laut Hitam ini memiliki sejarah panjang peralihan kekuasaan dan juga menyimpan potensi konflik laten antara Rusia dan Ukraina. Dalam sejarahnya Crimea pernah menjadi bagian dari Rusia. Namun pada 1954, pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev menyerahkan Crimea kepada Ukraina.
Hingga akhirnya pada 2014, Rusia mengerahkan puluhan ribu militernya untuk menguasai Crimea. Klaim Rusia ini semakin kuat setelah warga Crimea menggelar referendum pemisahan diri dari Ukraina. Referendum ini diakui Rusia dan dijadikan dasar mengajak Crimea bergabung dengan Rusia. Namun, di sisi lain, referendum ini dianggap ilegal oleh Ukraina dan negara-negara Barat.
Kasus Crimea membuat konflik terbuka antara Rusia dan Ukraina. Dalam catatan UNHCR, konflik bersenjata Crimea telah mengakibatkan lebih dari 14.000 orang meninggal dunia, termasuk 3.000 warga sipil, dan melukai lebih dari 7.000 warga sipil. Konflik bersenjata juga telah membuat 1,5 juta warga Ukraina mengungsi.
Konflik sempat mereda setelah kedua pihak menyepakati gencatan senjata dan menetapkan zona penyangga di Donetsk dan Luhansk pada September 2014. Namun, bara konflik tetap mewarnai hubungan Rusia dan Ukraina melalui pelanggaran gencatan senjata seperti saat Ukraina melakukan peluncuran misil dekat Crimea pada 2016 dan Rusia yang menahan pelaut dan kapal-kapal Ukraina pada 2018.
Dialog
Faktor geopolitik dan konflik Crimea menunjukkan potensi laten perseteruan Ukraina dengan Rusia. Padahal di satu sisi, Ukraina merupakan wilayah penting bagi Rusia. Pelabuhan Sevastopol milik Ukraina di Laut Hitam merupakan pangkalan bagi armada Angkatan Laut Rusia.
Ukraina juga merupakan jalur penghubung pipa-pipa gas dan minyak Rusia ke Eropa yang melewati Ukraina.Pada 2020, perusahaan gas negara Rusia, Gazprom memasok sekitar 177 juta meter kubik gas per hari ke Ukraina.
Selain itu gas Rusia juga dikirimkan 193 juta meter kubik per hari ke Eropa dan 110 juta meter kubik lainnya dikirimkan melalui jaringan pipa Belarusia ke Eropa. Ada juga gas yang dialirkan ke Turki melalui jaringan Blue Stream yang melintasi Laut Hitam.
Baca juga: Rusia Tempatkan Rudal S-400 di Belarus, 75 KM dari Ukraina
Nilai penting Ukraina bagi Rusia baik dari aspek politik dan ekonomi ini membuat setiap kebijakan yang diambil Pemerintah Ukraina selalu dipantau Rusia. Karenanya, isu masuknya Ukraina ke Uni Eropa atau perluasan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang mengajak Ukraina sudah pasti direspon Rusia dengan tegas.
Inilah poin dasar yang membuat Rusia akan selalu gusar jika kepentingannya terhadap Ukraina akan terusik. Analisis Reuters menyebutkan ada tiga hal yang membuat Presiden Putin mengirimkan lebih dari 100.000 pasukannya untuk menjaga Ukraina. Ketiga tuntutan itu adalah tidak ada perluasan keanggotaan NATO, tidak ada penempatan sistem pertahanan rudal di Polandia dan Rumania yang berada dekat dengan perbatasan Rusia, serta pengurangan armada NATO di Eropa.
Tiga hal tersebut mengerucut pada satu hal utama yaitu upaya NATO memperluas anggotanya dan mengajak Ukraina bergabung ke dalam blok Barat akan selalu mendapat tentangan dari Rusia. Sudah sejak lama NATO dan terutama AS berupaya meluaskan keanggotaannya ke negara-negara Eropa Timur.
Tercatat pada 1994, KTT NATO di Brusels menawarkan konsep “Kemitraan bagi Perdamaian” yang menyasar negara-negara Eropa Timur bekas anggota Pakta Warsawa. Perluasan keanggotaan NATO ke timur akan berdampak pada pengepungan terhadap kekuasaan Rusia. Langkah-langkah NATO yang didirikan pada 1949 bertujuan untuk menghadapi dan membendung pengaruh Uni Soviet akan selalu menjadi kecurigaan Rusia.
Dalam konteks ini, Ukraina menjadi titik bertemunya perebutan kekuatan antara NATO dan Rusia. Untuk mempertahankan pengaruhnya di kawasan, Rusia terus memperkuat armada militer dan persenjataannya. Pengerahan besar-besaran militer Rusia ke perbatasan Ukraina adalah bagian dari eksistensi Rusia di halaman belakang rumahnya yang terancam ditarik pengaruhnya oleh NATO.
Prinsip odin narod atau bangsa yang utuh akan terus menjadi bagian dari perjuangan Rusia untuk menyatukan kembali wilayah-wilayah Soviet dari pengaruh Barat. Dengan memahami alasan ini, upaya PBB dan sejumlah negara untuk memediasi konflik Rusia-Ukraina masih memerlukan kesabaran. Karena permasalahan mendasar konflik ini bukan saja menyangkut Ukraina melainkan juga kebijakan NATO secara keseluruhan.
Baca juga: Emanuel Macron Temui Putin untuk Dinginkan Ketegangan Rusia-Ukraina
Namun seruan PBB yang menyatakan bahwa diplomasi dan dialog adalah cara terbaik untuk menyelesaikan konflik memberi harapan tidak terjadinya babak baru perang dingin antara Rusia dan AS (NATO) yang mengancam keselamatan banyak orang.
Seperti yang diungkap di akun Youtube Sahra Wagenknecht, salah satu akun berpengaruh (top influencer) di isu #Ukraine, bahwa gejolak konflik Ukraina makin memasuki tahap berbahaya dan memunculkan kekhawatiran akan dampak perang yang kemungkinan besar akan melibatkan kekuatan nuklir Rusia dan NATO yang mendukung Ukraina. Hanya dengan dialog dan mencari titik temu, jatuhnya korban terutama dari kalangan masyarakat sipil dapat dicegah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Putin Tegaskan Tidak Akan Ada Pemenang dalam Konflik Rusia-Ukraina