AS ingin menghukum elite sosial dan politik Rusia serta Belarus. Mereka melarang penjualan benda-benda mewah kepada kelompok ini.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
WASHINGTON, SENIN — Pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan mengeluarkan aturan terbaru mengenai sanksi terhadap Rusia setelah invasi ke Ukraina. Sanksi ini melarang ekspor, penjualan eceran, dan pengiriman komoditas mewah kepada warga negara Rusia dan warga Belarus yang dinilai terlibat sebagai kaki tangan Rusia dalam konflik ini.
Aturan tersebut dikeluarkan pada Minggu (13/3/2022) waktu AS atau Senin (14/3) WIB. Dikutip dari laporan 34 halaman itu, tujuan pelarangan ekspor ini untuk memberi sanksi kepada orang-orang kaya ataupun lembaga pemerintahan dan swasta di Rusia dan Belarus.
”Mereka tidak akan bisa memperoleh komoditas mewah ini di dalam negeri ataupun di luar negeri karena kewarganegaraan mereka dimasukkan daftar hitam. Sanksi ini untuk memberi hukuman kepada gaya hidup mereka,” kata laporan itu.
Lebih lanjut, kantor berita Rusia, RIA Novosti, menjelaskan bahwa sanksi ini akan aktif per 16 Maret. Ada 570 jenis komoditas mewah yang masuk dalam daftar sanksi. Beberapa di antaranya ialah minuman beralkohol, seperti sampanye, wiski, bourbon, dan tequila; produk tembakau; baju dan sepatu seharga di atas 1.000 dollar AS; tas wanita; kosmetik dan wewangian; produk dari kulit ataupun bulu binatang; perhiasan dan batu mulia; permadani dan benda antik; kendaraan; serta benda seni.
Pasti akan ada ganjaran bagi China jika mereka membantu Rusia menghindar dari berbagai sanksi internasional.
Selain sanksi terhadap Rusia dan Belarus, Penasihat Keamanan Gedung Putih Jake Sullivan mengungkapkan bahwa China juga akan terkena imbas. ”Pasti akan ada ganjaran bagi China jika mereka membantu Rusia menghindar dari berbagai sanksi internasional,” katanya.
Sullivan dijadwalkan bertemu dengan diplomat senior China, Yang Jiechi, di Roma, Italia, hari ini untuk membahas sanksi terhadap Rusia. Pemerintah AS menerima kabar bahwa Rusia meminta bantuan persenjataan dari China. Terkait hal tersebut, Juru Bicara Kedutaan Besar China di Washington Li Pengyu menyangkal mendengar permintaan demikian.
”Pemerintah China sama sekali tidak pernah menerima permintaan senjata dari Rusia. China tetap kepada pendirian agar Rusia dan Ukraina menyegerakan gencatan senjata,” tutur Li.
Pemerintah Rusia tampak tidak gentar menghadapi sanksi tersebut. Justru, melalui kejaksaan, mereka balik mengancam perusahaan-perusahaan Barat. Dilansir dari The Wall Street Journal, Kantor Kejaksaan Rusia akan menyita aset perusahaan-perusahaan Barat yang menutup gerai mereka di Rusia sebagai protes atas penyerangan ke Ukraina.
Selain pengambilan aset, juga ada kemungkinan penghapusan merek dagang tersebut. Beberapa perusahaan AS yang mendapat ancaman ini adalah Coca-Cola, McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut, dan perusahaan teknologi International Business Machine Corporation (IBM).
Bahkan, Presiden Rusia Vladimir Putin mengutarakan niat menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang meninggalkan Rusia. Saat ini, rancangan peraturannya masih dibuat. Intinya, pengadilan Rusia bisa menunjuk pihak ketiga untuk masuk dan mengelola perusahaan-perusahaan ini, termasuk perusahaan yang 25 persen kepemilikannya dipunyai orang asing. Apabila pemilik perusahaan menolak untuk melanjutkan operasional di Rusia, sahamnya akan dijual.
”Daripada mubazir, lebih baik perusahaan-perusahaan ini diambil alih oleh orang Rusia sehingga tetap membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk,” kata Putin.
Pakar ekonomi wilayah Rusia di Macro-Advisory, Chris Weafer, menjelaskan bahwa sejatinya rakyat Rusia tidak terlalu peduli dengan komoditas yang kini dilarang. Mereka akan selalu bisa mencari pengganti. Terkait sanksi atas komoditas, kecil kemungkinan rakyat akan berunjuk rasa menolak. Akan tetapi, rakyat pasti protes kalau mereka kehilangan lapangan pekerjaan.
Sementara itu, liputan media NBC menyebutkan, adanya berbagai sanksi tetap sukar untuk menghukum orang-orang kaya Rusia. Hal ini karena aset mereka tersebar di seluruh dunia. Roman Abramovich, misalnya, membeli klub sepak bola Inggris, Chelsea, yang kini bernilai 1,5 miliar dollar AS. Pembekuan asetnya membuat nasib Chelsea tidak menentu.
Ada pula Alexei Mordashov, pemegang saham terbesar di TUI, perusahaan pariwisata terbesar di Jerman. Saham milik Mordashov nilainya 1,4 miliar dollar AS. Ini belum mencakup aset lain berupa properti. (AP/REUTERS)