Baku larang ekspor Rusia-Amerika Serikat membuat harga BBM menembus Rp 30.000 per liter Harga gas malah melonjak lebih dari 200 persen.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
MOSKWA, RABU - Presiden Rusia Vladimir Putin melarang ekspor dan impor bahan mentah serta sejumlah komoditas lain. Larangan diumumkan setelah Presiden Amerika Serikat Joe Biden menghentikan seluruh impor minyak, gas, dan batubara dari Rusia ke negaranya. Biden menyebut larangan itu bagian dari tekanan agar Rusia menghentikan serangan terhadap Ukraina. Dampaknya, harga BBM menembus Rp 30.000 per liter.
Putin meneken dekrit larangan itu pada Selasa (8/3/2022) malam waktu Moskwa atau Rabu dini hari WIB. “Untuk memastikan keselamatan dan keberlangsungan industri, saya memutuskan menerapkan sejumlah langkah ekonomi sampai 31 Desember 2022,” demikian tertulis di dekrit itu sebagaimana dilaporkan Ria Novosti dan TASS.Pemerintah dan parlemen Rusia akan segera memutuskan komoditas yang masuk daftar larangan itu. Moskwa memastikan, tidak akan ada larangan untuk konsumsi pribadi. Larangan hanya berlaku untuk konsumsi industri.
Sebelum dekrit itu diungkap, Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak memperingatkan bahwa Rusia berhak menghentikan pengiriman gas ke Eropa. Meski demikian, ia menyebut penghentian itu akan merugikan semua pihak. Pernyataan Novak mengindikasikan perubahan sikap Rusia soal pengiriman gas ke Eropa. Sebelumnya, Moskwa selalu menyatakan tidak berniat menghentikan pasokan gas ke Eropa.
Beberapa jam sebelum dekrit itu diungkap, Biden mengumumkan AS menghentikan seluruh impor energi dari Rusia. “Kami melarang semua impor minyak, gas, dan energi Rusia. Hal ini berarti minyak Rusia tidak diterima lagi di pelabuhan AS,” kata dia.
Biden menyebut, bagian dari tekanan agar Rusia menghentikan serangan terhadap Ukraina. Rabu ini, genap dua pekan Rusia menyerbu Ukraina. Sejauh ini, sejumlah kota utama Ukraina sudah dikendalikan atau dikepung ketat Rusia. Upaya evakuasi dari kota-kota yang terkepung itu bolak-balik gagal. Rusia dan Ukraina saling tuding sebagai penyebab kegagalan evakuasi.
Kecuali Odessa, hampir seluruh daerah Ukraina di pesisir Laut Azov dan Laut Hitam sudah dikendalikan atau dikepung Rusia. Odessa pun sudah berhari-hari dibombardir Rusia yang menembakkan rudal dan roket berjangkauan lebih dari 10 kilometer.
Kiev menolak tawaran Moskwa untuk membuka jalur evakuasi ke arah Rusia dan Belarus. Moskwa beralasan, penduduk sejumlah kota sudah memilih mengungsi ke Belarus dan Rusia dibandingkan ke Ukraina Barat lalu menuju Polandia atau tetangga lain di barat.
Dampak
Bagi AS, yang 71 persen impor minyaknya didapat dari Kanada dan Meksiko, larangan itu lebih bersifat simbolik. Setiap tahun, hanya 3 persen minyak AS yang diimpor dari Rusia. Berbeda dari Eropa yang mendapatkan hampir 40 persen minyak dan gas dari Rusia.
Meski demikian, pasar AS tetap bergejolak. Seluruh indeks bursa AS langsung anjlok. Dow Jones, Nasdaq, S&P 500 ditutup minus. Indeks Jerman, konsumen terbesar minyak dan gas Rusia, juga anjlok.
Sebaliknya, harga saham-saham emiten energi dan indeks komoditas segera melonjak. Harga berbagai logam berharga dan industri naik drastis. Nikel dan timah, yang banyak dimiliki Indonesia, naik lebih dari 4 persen. Bahkan, otoritas bursa berjangka London sampai menghentikan perdagangan nikel karena harganya melonjak drastis. Kenaikan juga tercatat pada palladium, logam amat penting dalam industri semikonduktor dan 40 persen pasokannya berasal dari Rusia.
Ada pun harga minyak brent untuk kontrak Mei naik 1,7 persen menjadi 130 dollar AS per barel. Minyak WTI juga naik 1,3 persen menjadi 125 dollar AS per barel. Di AS, harga jual BBM juga kembali menembus aras tertinggi. Di berbagai SPBU, harga BBM sudah melebihi 4 dollar AS per galon. Bahkan, konsumen di California harus membayar lebih dari 7 dollar AS per gallon. Dengan demikian, kini harga BBM di AS terentang antara Rp 16.000 hingga Rp 28.000 per liter.
Sementara di Eropa Barat, harga BBM sudah menembus Rp 30.000 per liter sejak pekan lalu. Harga gas, yang dibutuhkan untuk mesin penghangat dan menyalakan berbagai mesin di pabrik, juga sudah melonjak lebih dari 200 persen. Lonjakan harga minyak antara lain karena Sekretaris Jenderal OPEC Mohammed Barkindo meragukan produsen lain bisa menggantikan pasokan dari Rusia. “Kami tidak bisa mengendalikan perkembangan saat ini dan kondisi ini berdampak pada pasar,” kata dia.
Meski bukan anggota OPEC, organisasi negara produsen minyak, Rusia merupakan produsen besar dan mitra penting OPEC. Selama beberapa tahun terakhir, OPEC selalu berkoordinasi dengan Rusia soal pengendalian produksi.
Pengajar di University of British Columbia, Adam Pankratz, menyebut bahwa dampak larangan AS pada impor energi Rusia bisa meluas. “Sejumlah negara lain mungkin akan mengikuti (larangan AS) sehingga pasar minyak semakin ketat. Harga minyak akan naik dan pada akhirnya akan berdampak pada perekonomian secara umum,” kata dia.
Analis pada Rsytad Energy, Claudio Galimberti, menyebut ada peluang Rusia digantikan pemain lama yang dikucilkan internasional yakni Iran dan Venezuela. Sanksi yang dimotori AS membuat minyak Iran dan Venezuela susah masuk pasar selama bertahun-tahun terakhir.
Kini, AS sedang berbalik badan dan mendekati keduanya. Washington mendekati Teheran lewat pemulihan Joint Comprehensive Plan on Action (JCPOA) atau Kesepakatan Nuklir Iran 2015. Sejumlah pejabat AS juga dilaporkan berada di Caracas untuk berunding dengan pemerintahan Nicolas Maduro. Padahal, sampai Desember 2021, AS menolak mengakui pemerintahan Maduro.
AS juga sudah beberapa bulan berusaha mendekati Arab Saudi, pemimpin faktual OPEC. Sayangnya, Riyadh masih menolak memacu produksi minyak. Sejumlah pihak menyebut, penolakan Riyadh antara lain dipicu fakta Biden tidak kunjung bersikap ramah pada Pangeran Mohammed bin Salman, putra mahkota sekaligus pemimpin faktual Arab Saudi. (AFP/REUTERS)