Diplomasi Vatikan dalam Perang Rusia-Ukraina: Merangkul, Bukan Memukul
Hingga Selasa (8/3/2022), Pemimpin Umat Katolik Paus Fransiskus tidak pernah secara terbuka menyebut "Rusia" menyerbu Ukraina. Gaya diplomasi ini sudah berlangsung berabad-abad. Vatikan ingin memastikan ada ruang dialog.
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Perang Rusia-Ukraina membuat sorotan diarahkan ke beberapa tempat. Salah satu sorotan paling banyak diarahkan kepada pihak yang menolak secara terbuka mengecam dengan menyebut secara eksplisit kata ”Rusia” setelah negara itu menyerbu Ukraina pada 24 Februari 2022. Vatikan termasuk salah satu yang disorot.
Hingga Selasa (8/3/2022), Pemimpin Umat Katolik Paus Fransiskus tidak pernah secara terbuka mengecam Rusia atau menyebut Moskwa menyerbu Ukraina. Dalam pernyataan pada Minggu (6/3/2022), ia memang menyebut Ukraina sedang dilanda perang. ”Sungai darah dan air mata mengalir di Ukraina. Ini bukan operasi militer, melainkan perang, yang menghasilkan kematian, kerusakan, dan kesedihan,” ujarnya.
Itulah pernyataan Paus Fransiskus yang hampir menunjuk hidung Rusia secara langsung. Namun, tetap saja tidak ada kata berawalan huruf R (Rusia) atau huruf I (invasi) dalam pidatonya, hari Minggu itu.
Paus menolak menggunakan istilah yang dipakai Presiden Rusia Vladimir Putin. Pada 22 Februari 2022, Putin mengumumkan serbuan ke Ukraina yang disebutnya ”operasi militer khusus”. Putin beralasan, operasi itu untuk memenuhi undangan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhanks yang kedaulatannya diakui Rusia sehari sebelum perintah operasi dikeluarkan. Komunitas internasional tidak mengakui dua negara itu dan tetap menganggapnya bagian dari Ukraina.
Sejak awal serangan Rusia, Paus selalu menekankan pentingnya dialog untuk menyelesaikan masalah. Dengan cara itu, Paus kembali menerapkan diplomasi yang menghindari tudingan secara langsung. ”Praktik ini sudah berlangsung berabad-abad,” kata Victor Gaeten, penulis buku God’s Diplomat” yang fokus pada diplomasi Vatikan.
Takhta Suci selalu berusaha memastikan ada ruang untuk dialog. Vatikan juga tetap fokus pada isu kemanusiaan. Paus telah mengutus Kepala Badan Amal Vatikan Konrad Krajewski dan Pelaksana Tugas Kepala Departemen Pembangunan Manusia Vatikan Michael Czerny ke Ukraina. Mereka akan fokus membantu pelayanan kemanusiaan di negeri yang sedang dilanda perang itu.
Alasan
Banyak pihak penasaran dengan alasan Paus menolak secara terbuka mengecam Rusia setelah serangan ke Ukraina. Dalam pernyataan pada Minggu, Paus menegaskan isu kemanusiaan harus didahulukan dibandingkan yang lain. Karena itu, Paus lebih fokus mendorong dialog dan penyaluran bantuan dibandingkan upaya lain.
Sejumlah pihak menduga, kedekatan Putin dengan Kepala Gereja Ortodoks Rusia, Patriakh Kirill, menjadi salah satu alasan Paus Fransiskus menahan diri mengkritik Rusia dan Putin secara langsung dan terbuka soal Perang Ukraina.
Dalam tajuk rencananya, laman Il Sismografo yang secara khusus menyiarkan dan mengulas isu-isu Vatikan dan Katolik, mengkritik sikap Paus Fransiskus. ”Kekukuhan sikapnya yang sulit dipahami itu tidaklah baik,” tulis laman itu. ”Hak-hak orang, rakyat, bangsa dipertaruhkan di sini.”
Il Sismografo menambahkan, Paus seharusnya secara terbuka menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai agresor dan menyampaikan isu ini kepada Patriakh Gereja Ortodoks Rusia Kirill yang mendukung Putin.
Paus Fransiskus adalah Paus pertama yang menemui Kepala Gereja Rusia sejak perpecahan pada 1054. Paus dan Patriakh bertemu pada 2016 dan kala itu mereka menyatakan akan fokus pada isu kemanusiaan. Jauh sebelum perang Rusia-Ukraina meletus, keduanya dikabarkan akan kembali bertemu.
Patriakh Kirill adalah pemimpin Gereja Ortodoks dengan umat terbesar. Dari 300 juta umat Gereja Ortodoks, 100 juta berada di Rusia dan 30 juta lainnya di Ukraina. Sisanya tersebar di sejumlah negara.
Secara terbuka, Kirill mendukung Putin. Ia memuji perlawanan terhadap Barat yang dianggap membiarkan berbagai praktik berdosa menurut Injil. Ia, antara lain, menyoroti parade homoseksual yang kerap digelar di negara-negara Eropa dan Amerika.
Strategi
Sementara Paus tidak menyebut ”Rusia” secara khusus dalam pernyataan-pernyataan yang mengecam serangan di Ukraina, sejumlah pembantu dekatnya lebih to the point dan blak-blakan dalam menyampaikan sikap mereka. Menteri Luar Negeri Vatikan Kardinal Pietro Parolin, misalnya, melukiskan perang di Ukraina ”dilancarkan oleh Rusia”. Kardinal Leonardo Sandri, Kepala Departemen yang mengurusi Gereja-gereja ritus Timur, menyebutnya sebagai ”invasi yang tidak adil”.
”Pejabat-pejabat yang lebih rendah, tetapi mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang lebih kuat daripada Paus itu agak keluar dari tradisi selama ini, tetapi itu tampaknya juga bagian dari strategi,” ujar Gaeten.
Pada 25 Februari lalu, sehari setelah serangan Rusia dilancarkan ke Ukraina, dalam gestur yang belum pernah terjadi sebelumnya, Paus pergi ke Kedutaan Besar Rusia untuk Vatikan dan berbicara dengan duta besar Rusia. Tidak detail keterangan mengenai pertemuan antara Paus dan Dubes Rusia itu.
Menlu Parolin mengungkapkan, Vatikan berminat untuk memfasilitasi dialog Rusia-Ukraina. Kiev mengatakan, pihaknya menerima mediasi yang dilakukan Vatikan.
Negara lain
Bukan hanya Vatikan yang menolak mengecam Rusia. Mitra dekat Amerika Serikat di Asia Selatan, India, menolak mengecam Rusia. Padahal, sejumlah pejabat AS mengakui bolak-balik meminta New Delhi mengecam Moskwa. Bahkan, Asisten Menteri Luar Negeri AS Donald Lu mengakui mempertimbangkan sanksi kepada India karena menolak mengecam Rusia.
Adapun Menlu China Wang Yi mengatakan, Beijing tidak mau ikut kebijakan pihak lain soal Ukraina. Bagi China, fokus utama masalah Rusia-Ukraina adalah mencari jalan dialog. ”Semakin panas, semakin perlu dialog,” katanya.
Wang mengecam pihak-pihak yang disebutnya malah menyiramkan bensin ke Ukraina yang sedang membara. Kecaman diarahkan kepada Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Uni Eropa yang secara terbuka mengaku memasok senjata bernilai miliaran dollar AS kepada Ukraina.
Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan UE Josep Borrell mengakui, pilihan kebijakan dan tindakan itu membuat UE dan AS tidak bisa menjadi penengah dalam perang Rusia-Ukraina. Butuh pihak lain yang dipercaya para pihak untuk mendorong dialog Kiev-Moskwa.
Dorongan pada isu kemanusiaan juga menjadi fokus Indonesia soal Rusia-Ukraina. Sejumlah diplomat senior Indonesia membenarkan, banyak pihak gelisah kala resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal perang Rusia-Ukraina gagal disepakati.
Sejumlah diplomat Asia Tenggara menyebut, salah satu penyebab resolusi DK PBB gagal adalah ketiadaan ajakan dialog dan penyediaan jalur kemanusiaan untuk evakuasi atau pengiriman bantuan. Resolusi DK PBB hanya fokus menyerang Rusia. Penyusunan naskah resolusi juga dilakukan oleh hanya sedikit negara.
Faktor lain penyebab kegagalan adalah status Rusia sebagai pemegang veto. Hak yang membuat pemegangnya bisa membatalkan apa pun keputusan PBB itu dipakai China dan Rusia untuk rancangan resolusi DK PBB soal perang Rusia-Ukraina. Rusia menolak resolusi itu, China tidak mau mendukungnya.
Karena itu, Indonesia mendekati sejumlah anggota DK PBB kala isu Rusia-Ukraina akan dibawa ke Majelis Umum PBB. Indonesia juga meyakinkan sejumlah anggota PBB di luar Dewan Keamanan selama penyusunan resolusi itu.
Bersama sejumlah negara, Indonesia menekankan pentingnya penyediaan jalur kemanusiaan. Tidak kalah penting dan mendorong dialog dan menekankan dampak perang Rusia-Ukraina pada perekonomian global. Sebab, kini dunia sedang berusaha pulih dari dampak Covid-19. (AFP/REUTERS)