Kecaman Dunia Tidak Melemahkan Serangan Rusia
Rusia terus melancarkan serangan militer. Berbagai reaksi atas serangan Rusia ke Ukraina telah berlangsung, tapi tidak dihiraukan Presiden Putin.
Invasi militer Rusia ke Ukraina sudah berjalan dua minggu. Banyak negara, lembaga, serta perusahaan multinasional bereaksi atas tindakan Rusia. Meski begitu, Rusia bergeming dan justru menambah kekuatan serangannya.
Wilayah Ukraina kini dipenuhi pemandangan eksodus warga sipil yang mencoba melarikan diri dari perang, sementara militer Ukraina dan tentara sipil berjibaku dalam peperangan. Kyiv, sebuah kota metropolitan Eropa modern yang baru saja tumbuh dua minggu yang lalu, sekarang menjadi kota benteng. Barikade di kota pelabuhan selatan Odessa telah dinaikkan dan bagian barat Lviv sedang mempersiapkan kedatangan serangan lanjutan dari militer Rusia.
Para pejabat Ukraina mengatakan bahwa evakuasi dari Kota Sumy yang dilanda perang di Ukraina timur akan terus berlanjut pekan ini. Mereka, menuduh Rusia seakan tidak memberikan waktu untuk evakuasi penduduk karena serangan militer masih membombardir kota. Masih ada ratusan ribu warga sipil masih terjebak di Mariupol.
Posisi Mariupol terletak di antara wilayah yang dikuasai oleh separatis yang didukung Rusia di wilayah Donbas dan Semenanjung Crimea, yang dianeksasi oleh Rusia pada 2014. Bagi Rusia, wilayah yang berjarak sekitar 55 kilometer dari perbatasan Rusia ini dianggap strategis bila diduduki lebih dulu oleh tentara mereka. Sejak 13 hari lalu, pasukan Rusia terus menekan utara Melitopol setelah mengambil kendali pembangkit nuklir Zaporizhzhia pada akhir pekan lalu.
Konsentrasi pasukan militer Rusia tampaknya kini mulai terlihat jelas dalam tiga kelompok. Pasukan di selatan yang datang dari Krimea, lalu pasukan yang bergerak ke tenggara dari dekat Kharkiv, dan separatis yang didukung Rusia untuk mendorong garis depan di wilayah Donbas. Terpantau hingga 9 Maret 2022, pasukan Rusia masih belum merebut kota-kota besar Ukraina kecuali dua pelabuhan di bagian selatan, yakni Pelabuhan Berdiansk di bagian Laut Azov dan Pelabuhan Kherson di bagian Laut Hitam.
Deputi Perdana Menteri Ukraina Iryna Vereshchuk menyatakan Pemerintah Ukraina berupaya meningkatkan evakuasi warga sipil melalui enam koridor kemanusiaan (humanitarian corridor). Dalam 12 jam, dari pukul 09.00 hingga 21.00 waktu setempat, gencatan senjata akan terhenti di kawasan zona demiliterisasi tersebut. Namun, masih belum jelas keenam koridor kemanusiaan yang digunakan untuk evakuasi warga sipil itu karena rute-rute menuju Rusia dan Belarusia telah ditutup.
Setidaknya, dari laporan UNHCR per 8 Maret 2022, dapat dipetakan rute-rute dan negara tujuan evakuasi warga Ukraina selama ini. Polandia menjadi negara yang paling banyak menerima kedatangan evakuasi, sejumlah 1,3 juta warga Ukraina. Selain itu, para pengungsi lain juga diterima oleh negara-negara tetangga lainnya, seperti Hongaria, Slovakia, Romania, dan Republik Moldova.
Serangan Rusia masih akan terus berlanjut hingga ibu kota Kiev jatuh dan berhasil diduduki oleh Rusia. Presiden Putin tampaknya tidak menghiraukan kecaman dan tindakan dari pihak luar atas serangan ke Ukraina. Bahkan, tidak menghiraukan warga Rusia sendiri yang mulai kesulitan karena banyaknya aksi boikot sejumlah perusahaan besar dan ekonomi yang terhenti.
Kecaman dunia
Beberapa minimarket di sejumlah negara bagian Amerika Serikat memasang himbauan di produk-produk minuman keras buatan Rusia. Tulisannya jelas, “Do Not Buy, Russian Product”. Aksi boikot ini mulai diikuti di sejumlah barang produk Rusia dan saat ini masih berlangsung.
Bagi Rusia, vodka bukan sekadar minuman keras, tapi memiliki sejarah panjang dan identitas negara di dalamnya. Vodka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial Rusia, begitu tulisan dalam TheTimes. Memboikot produk vodka dari Rusia adalah simbol memutus hubungan sosial dengannya.
Begitu juga dengan aksi boikot oleh gelaran musik klasik terkemuka di Festival Lucerne, Swiss (pada 8-10 April 2022 mendatang), resmi membatalkan penampilan dua maestro asal Rusia di panggung mereka. Bahkan untuk Kontes Lagu Eurovision (Eurovision Song Contest) yang baru dilaksanakan pada pertengahan Mei 2022 nanti, Rusia dicoret dari kepesertaan anggota.
Ranah olahraga tidak mau ketinggalan, Formula 1 Grand Prix yang juga direncanakan diadakan di Sochi, Rusia pada September 2022 nanti turut dibatalkan. Stadion sepakbola megah, St. Petersburg juga kehilangan kesempatan untuk menyelenggarakan gelaran final Liga Champions Eropa yang dialihkan ke Paris. Tim nasional sepak bola Rusia juga telah mendapat diskualifikasi dari kualifikasi Piala Dunia dari FIFA.
Aksi boikot semacam ini dapat dikatakan sebagai gimik untuk mengekspresikan ketidaksetujuan atau protes terhadap suatu fenomena. Dalam konteks serangan Rusia terhadap Ukraina, boikot ini dimaknai sebagai serangan balasan terhadap invasi Rusia. Memang, aksi-aksi ini tidak akan serta merta membuat Presiden Putin menarik pasukannya kembali, tapi setidaknya dapat memberikan dukungan moral bagi para korban dan warga sipil di Ukraina.
Di samping itu, jika negara lain membantu Ukraina dengan ikut menurunkan pasukan militer, bisa memicu lahirnya Perang Dunia Ketiga. Langkah itulah yang dihindari dan mencoba melemahkan Rusia dari sektor lainnya, misalnya ekonomi. Sebagai contoh, Presiden Joe Biden baru-baru ini memutuskan untuk menghentikan impor minyak dari Rusia.
Aksi-aksi boikot di sektor finansial bisa jadi yang paling memukul warga Rusia. Pada awal serangan Rusia ke Ukraina, pemerintah Inggris, Uni Eropa, dan Amerika Serikat menjatuhkan sanksi berat dan penyitaan aset terhadap para pengusaha super kaya yang dinilai menjadi bagian dari lingkaran Presiden Putin. Sederetan nama taipan segera dirilis di negara masing-masing, termasuk Roman Abramovich, pemilik klub sepak bola Chelsea FC.
Tindakan boikot tersebut juga mendorong perusahaan finansial seperti Apple yang menutup layanan Apple Pay di Rusia. Sekutu Barat telah mengusir bank-bank besar Rusia dari sistem pembayaran internasional SWIFT, membatasi ekspor teknologi tinggi ke Rusia dan sangat membatasi penggunaan cadangan mata uang asing Moskow. Tentu saja, aksi boikot ini telah menjadi serangan balasan yang memberikan efek domino kerugian bagi warga sipil Rusia.
Di pekan pertama invasi Rusia ke Ukraina, warga sipil Rusia mulai dilanda kepanikan karena terbatasnya uang yang beredar di pasaran setelah banyak ATM dan bank asing yang tidak beroperasi. Semua itu juga diikuti dengan kenaikan harga dan pembatasan stok barang-barang vital sudah terjadi di pusat-pusat perbelanjaan, PHK massal, serta penundaan pembayaran tunjangan dan pensiun oleh pemerintah. Nyatanya, perang yang dimulai Rusia telah membuat warganya terseret dalam situasi krisis.
Dalam wawancaranya dengan The New York Times, mantan Duta Besar AS untuk Rusia Michael A. McFaul menyatakan bahwa aksi boikot ini penting. Pertama-tama, untuk memengaruhi cara pandang masyarakat Rusia dalam melihat diri mereka di dunia. Dalam sistem dunia yang kompleks, mereka bukanlah bangsa superior dan tetap membutuhkan orang lain dalam kehidupan.
Baca juga: Menlu Ukraina Desak Shell Hentikan Bisnis dengan Rusia
Ia melanjutkan, warga kelas menengah Rusia biasanya pergi ke luar negeri untuk berlibur hingga berbulan-bulan. Lalu, kini mereka akan sadar bahwa kekayaan dan mata uang yang mereka miliki kini tidak bernilai lagi di luar sana. Jelas dalam situasi semacam ini, uang bukanlah segalanya.
Tentu dalam kondisi ini juga, yang paling menderita kerugian di Rusia adalah para warga yang sejak awal menolak serangan Rusia ke Ukraina. Para kelompok anti perang ini harus menerima konsekuensi serupa, bahkan sebagian besar juga ditangkap oleh aparat setempat. Bagaimanapun juga, itulah harga yang harus dibayar dengan hidup di pemerintahan otoriter seperti Rusia.
Ukraina melunak
Pernyataan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy tampaknya menjadi tanda-tanda mulai melunaknya Ukraina kepada Rusia. Ia menyatakan bahwa dirinya tidak lagi mendesak keanggotaan NATO untuk Ukraina. Selanjutnya, ia akan terbuka pada kompromi tentang status dua wilayah pro-Rusia, Donetsk dan Luhansk yang diakui Presiden Putin sebagai wilayah merdeka sebelum serangan Rusia pertama pada Februari lalu.
Baca juga: Rusia Pertimbangkan Nasionalisasi McDonald’s dan Kawan-kawan
Dengan ini, keinginan Rusia agar Ukraina tidak bergabung dengan NATO tampak mulai terwujud. Tindakan NATO yang merekrut negara-negara bekas blok Soviet selama tahun-tahun belakangan ini memang dianggap sebagai ancaman oleh Rusia. Status Donetsk dan Luhansk diharapkan tidak lagi menjadi republik semu, tapi berdaulat dan mandiri seturut keinginan Presiden Putin.
Ke depannya tentu pendekatan diplomatis diharapkan dapat terjalin lagi antara Rusia dan Ukraina daripada serangan militer yang telah mengakibatkan jutaan orang menderita. Hingga 11 Maret 2022, terdata 2,5 juta pengungsi warga Ukraina yang mencari perlindungan dari negara tetangga. Lebih dari 1,5 juta warga sipil tercatat sebagai korban selama perang ini berlangsung dan jumlah itu akan terus bertambah jika perdamaian tidak segera tercapai. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Rusia Tekan Balik Sanksi Amerika dengan Larangan Ekspor Migas