Pendulum politik Korea Selatan akan berayun menuju arah yang konservatif di bawah Presiden terpilih Yoon Seok-yul. Ia memercayai perlu tindakan tegas menghadapi Korea Utara.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
SEOUL, KAMIS — Yoon Suk-yeol (61), kandidat dari Partai Kekuatan Rakyat atau PPP yang berhaluan konservatif, Kamis (10/3/2022), dinyatakan memenangi pemilihan umum presiden Korea Selatan. Ia merupakan tokoh yang dinilai kontroversial karena dianggap antifeminis dan juga cenderung lunak kepada Jepang yang dianggap melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia kepada masyarakat Korea Selatan selama Perang Dunia II.
Kemenangan Yoon diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Korsel. Dilansir dari kantor berita Yonhap, ia memperoleh suara 48,56 persen. Saingannya, Lee Jae-myung, dari Partai Demokrat yang berhaluan liberal memperoleh 47,83 persen suara.
Ini adalah perolehan suara dengan selisih paling tipis sepanjang sejarah pilpres Korsel. Salah satu dugaannnya ialah karena kampanye pilpres kali ini dipenuhi dengan kampanye hitam. Selama masa kampanye, kedua calon saling menjelekkan sehingga membelah masyarakat Korsel secara emosional.
”Persatuan rakyat Korsel adalah agenda utama saya. Prinsip saya, masyarakat Korsel adalah setara, terlepas latar belakang kita semua. Semua orang berhak diperlakukan dengan adil,” kata Yoon ketika berpidato di depan Majelis Nasional setelah pengumuman kemenangannya. Ia akan mengambil tampuk pemerintahan Korsel pada bulan Mei nanti.
Yoon merupakan politisi dari partai oposisi pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh Presiden Moon Jae-in. Kepemimpinan Moon dikritisi oleh Yoon sebagai terlalu lunak terhadap Korea Utara dan terlalu dekat dengan China. Moon juga dianggap tidak cakap menanggulangi pandemi Covid-19.
Di samping itu, Moon juga dituduh gagal menanggulangi kesenjangan sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, salah satu program prioritas dalam negeri yang direncanakan oleh Yoon ialah membangun 2,5 juta unit hunian layak bagi masyarakat dan menurunkan pajak properti.
Walaupun demikian, Yoon juga tidak terhindar dari kritik. Ia berencana membubarkan Kementerian Kesetaraan Jender dan Keluarga dengan dalih lembaga ini menciptakan segregasi antara laki-laki dan perempuan. Masyarakat menuduh, hal itu adalah manuver politik Yoon agar mendapat suara populis dari mayoritas kaum laki-laki Korsel yang patriarkal.
Yoon beralasan, ia akan membuat kementerian baru yang mengurusi soal keluarga, anak, dan krisis kependudukan. ”Saat ini, permasalahan bukan lagi pada kesetaraan, melainkan memastikan pemenuhan keadilan kepada setiap individu,” ujarnya.
Kebijakan luar negeri
Begitu diumumkan memenangi pilpres, Yoon langsung mengontak Presiden Amerika Serikat Joe Biden melalui telepon. Menurut Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki, kedua kepala negara ini menyepakati hendak mengambil tindakan yang lebih tegas guna menghadapi agresi Korut. AS dan sekutunya gerah karena di Januari 2022 saja Korut tujuh kali melakukan uji coba rudal jarak menengah dan jauh.
Dalam kampanyenya, Yoon mengutarakan ingin memperkuat kerja sama pertahanan dengan AS. Bahkan, ia ingin meningkatkan kekuatan persenjataan antirudal yang dibeli dari AS. Yoon memercayai bahwa untuk menghadapi Korut, Korsel juga harus bisa menampakkan sikap tidak gentar dan kuat.
Sementara itu, terkait Jepang, Yoon mengatakan ingin meningkatkan hubungan bilateral kedua negara. Jepang dan Korsel adalah sama-sama sekutu AS di Asia Timur. Akan tetapi, kedua negara ini tidak akur karena memiliki sejarah pahit selama Perang Dunia II. Bahkan, Kekaisaran Jepang sejak 1910 menggunakan warga Korea sebagai pekerja paksa di negara mereka.
Pada Perang Dunia II, tentara Jepang banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia kepada warga Korea. Salah satunya ialah jugun ianfu atau perempuan yang dipaksa menjadi penghibur serdadu Jepang. Ini adalah faktor yang masih tidak diakui oleh Jepang hingga saat ini. Menurut mereka, pada zaman perang itu wajar terjadi prostitusi paksa ataupun pelanggaran etika sosial lain.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida sejak awal pilpres Korsel sudah berkomentar bahwa ia menginginkan hubungan bilateral kedua negara sesuai dengan perjanjian tahun 1965. Perjanjian ini dipermasalahkan oleh masyarakat Korsel karena tidak adil kepada mereka dan seolah memaklumi perbuatan Jepang di masa Perang Dunia II. (AP)