Korea Selatan akan menggelar pemilihan umum presiden per 9 Maret 2022. Mulai 15 Februari, masa kampanye dimulai. Sebanyak 14 calon presiden akan berlomba menjadi juara.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
SEOUL, SELASA – Musim kampanye Pemilihan Umum Presiden Korea Selatan mulai pada Selasa (15/2/2022). Sebanyak 14 calon presiden atau capres mendaftarkan diri dalam kontestasi ini. Capres-capres dari dua partai utama, yakni Partai Demokrat yang kini berkuasa dan Partai Kekuatan Rakyat, dilaporkan paling diunggulkan. Kedua partai itu selalu bersaing ketat dalam pemilihan umum presiden di negara itu pada dua dasawarsa terakhir.
Merujuk pada sejumlah jajak pendapat, publik Korea Selatan (Korsel) menginginkan sosok presiden yang mampu memecahkan sejumlah persoalan riil masyarakat. Rakyat Korsel terutama menginginkan presiden yang dapat membersihkan politik yang terpolarisasi dan korupsi. Sosok presiden itu juga diharapkan dapat mengatasi harga perumahan yang melonjak sekaligus kesenjangan kesejahteraan yang makin melebar di masyarakat.
Keamanan di Semenanjung Korea juga menjadi perhatian para pemilih. Memiliki konsep tentang pembatasan uji coba senjata Korea Utara dan melanjutkan pembicaraan dengan Pyongyang akan menjadi nilai tambah bagi para capres. Pyongyang melakukan sejumlah kegiatan uji-coba persenjataan sepanjang 2021. Hal ini semakin intensif dilakukan pada sepanjang Januari lalu.
Namun demikian, kebijakan luar negeri rupanya tidak menjadi isu utama untuk pilpres yang rencananya akan digelar pada 9 Maret 2022 itu. Di luar isu-isu utama, sejumlah skandal dan kontroversi kecil juga terungkap sebagai perhatian masyarakat dalam jajak-jajak pendapat tentang pilpres Korsel. Misalnya adalah tuduhan penyalahgunaan kekuasaan dan perselisihan atau pertengkaran di antara para kandidat. Turut disebut juga tentang hubungan satu kandidat dengan seorang dukun.
Merujuk sejumlah jajak pendapat mutakhir, dua dari 14 capres paling kuat adalah Lee Jae-myung dari Partai Demokrat dan Yoon Suk-yeol dari oposisi utama, Partai Kekuatan Rakyat yang konservatif. Yoon sedikit lebih unggul, di tengah suara-suara sumbang soal kedua tokoh itu, terutama akibat dugaan praktik kampanye kotor yang dilakukan tim kampanye kedua capres itu.
Sebuah survei yang dirilis pada Minggu (13/2) oleh Realmeter menunjukkan Yoon meraih 41,6 persen suara responden. Sementara Lee memperoleh 39,1 persen. Adapun dalam survei yang digelar Southern Post, Yoon hanya unggul 0,5 persen dibanding Lee dengan dukungan responden sebesar 35,5 persen. Dinamika perolehan suara dalam jajak pendapat itu kontras dengan tiga pilpres Korsel terakhir di mana kandidat yang diperkirakan menang sudah kentara sejak awal kontestasi.
Jika kondisi yang merujuk pada jajak-jajak pendapat terbaru ini bertahan, maka kontes pilpres kali ini akan menyerupai kondisi Pilpres Korsel 2002. Pilpres kala itu juga menyajikan perolehan suara ketat di antara para capres. Capres penantang kala itu yang berasal dari partai oposisi hanya kalah tipis dari presiden terpilih, Roh Moo-hyun, dengan selisih 2,33 persen atau 570.980 suara saja.
"Ini adalah pemilihan paling seru yang pernah kami lihat dalam beberapa waktu terakhir. Sangat jarang bahwa calon pemenangnya belum muncul hanya tiga pekan sebelum pemungutan suara," kata Bae Jong-chan, seorang analis politik dari lembaga pemikir Insight K.
Lee adalah mantan gubernur provinsi Gyeonggi. Ia kondang melalui penanganan agresifnya terhadap pandemi Covid-19 dan advokasi atas pendapatan dasar secara universal di kalangan warga. Adapun Yoon adalah seorang pemula dalam politik Korsel. Namun namanya menjulang berkat citranya sebagai jaksa agung yang gigih mengarahkan penyelidikan atas pejabat Korsel dalam skandal korupsi yang melanda pembantu mantan Presiden Park Geun-hye dan Presiden Korsel saat ini Moon Jae-in.
Di luar dua capres itu, ada seorang capres lain yang bisa disebut kuda hitam. Dia adalah Ahn Cheol-soo, seorang maestro perangkat lunak dan dokter terkenal yang mewakili kubu oposisi. Ahn bisa memiliki peluang sekiranya rasa frustrasi yang tumbuh atas politik arus utama dan kontroversi yang melibatkan keluarga Lee dan Yoon memuncak.
Saat mendaftarkan diri, Ahn secara resmi menawarkan diri untuk menggabungkan kampanyenya dengan Yoon. Dalam pandangan Ahn, jika dirinya bergabung dengan Yoon, maka kubu oposisi akan menang dan mendorong terjadinya persatuan nasional. Ahn mendapat dukungan 7-8 persen suara responden survei. Ahn dan Yoon, jika digabung, ternyata banyak disukai para responden.
Beberapa pendukung utama kampanye Yoon juga menyerukan penggabungan Ahn-Yoon. Muncul gagasan sekaligus usulan jika sekiranya menang kelak, Yoon sebagai presiden dan Ahn sebagai perdana menteri. Yoon mengatakan dia akan memberikan usulan itu sebagai "pertimbangan positif". Namun dia mengaku tidak senang dengan seruan Ahn untuk menggunakan jajak pendapat untuk melihat mana sosok yang lebih unggul antara Ahn atau dirinya.
Kebangkitan Ahn terjadi di tengah rasa geram pemilih atas kontroversi yang melibatkan keluarga Lee dan Yoon. Lee telah meminta maaf atas perjudian ilegal putranya. Namun ia masih menghadapi kemungkinan penyelidikan kriminal atas tuduhan bahwa ia secara ilegal mempekerjakan seorang pegawai pemerintah provinsi untuk menjadi asisten pribadi bagi istrinya. Lee juga dituduh membiarkan istrinya menyalahgunakan dana pemerintah melalui kartu kredit perusahaannya.
Adapun Yoon telah meminta maaf atas resume istrinya yang tidak akurat ketika melamar pekerjaan sebagai guru tahun lalu. Yoon juga membantah tuduhan dari Demokrat bahwa seorang dukun yang dekat dengan istrinya sangat terlibat dalam kampanyenya. Dia juga membantah memiliki hubungan dekat dengan seorang ahli akupunktur. (AFP/REUTERS/BEN)