Netralitas Viking Berakhir karena Perang Ukraina
Swiss mau bertransaksi dengan Nazi di Perang Dunia II. Kini, Swiss menolak bertransaksi dengan Rusia setelah perang meletus di Ukraina.
Dampak serangan Rusia ke Ukraina tidak hanya dirasakan kedua negara yang sedang berperang itu. Perang tersebut membuat negara-negara yang terkenal karena netral selama ratusan tahun kini menunjukkan tanda keberpihakan pada salah satu kubu yang berkonflik. Swedia dan Swiss, misalnya, sudah menjadi netral sejak 1814.
Senin (28/2/2022) atau empat hari sejak Rusia menyerbu Ukraina pada Kamis (24/2/2022) dini hari, Swiss mengumumkan mendukung sanksi Uni Eropa (UE) terhadap Rusia. Sejumlah orang dan lembaga di Rusia menjadi sasaran sanksi Swiss. ”Swiss mengakhiri tradisi panjang netralitas politiknya,” demikian laporan Financial Times setelah Bern mengumumkan dukungan kepada UE.
Presiden Swiss Ignazio Cassis mengakui keputusan itu unik. Meski demikian, ia berkeras negaranya tetap netral. Menurut dia, netral tidak sama dengan membiarkan serbuan terhadap negara lain.
Baca juga : Krisis Ukraina Meluber Menjadi "Perang Energi"
Sikap Swiss sekarang sama sekali berbeda dibandingkan dengan masa Perang Dunia II. Kala itu, Swiss tetap berbisnis dengan Nazi Jerman meski dikecam Sekutu. Bisnis Swiss dengan Nazi Jerman, antara lain, dipaparkan Mark Pieth dalam Gold Laundering: The Dirty Secrets of the Gold Trade and How to Clean Up. Sejumlah pihak menuding, hasil berdagang emas dengan Swiss membuat Nazi bisa membiayai operasi selama Perang Dunia II.
Sikap tidak netral juga ditunjukkan Swedia dan Finlandia. Swedia, karena statusnya sebagai salah satu dari 27 anggota UE, malah lebih dulu mendukung sanksi untuk Rusia. Demikian pula Finlandia yang berbagi 1.057 kilometer dari hampir 2.500 kilometer perbatasan Rusia dengan tetangganya di Eropa Timur dan Skandinavia.
Bahkan, Swedia dan Finlandia bisa melangkah lebih jauh lagi. Negara-negara yang dihuni keturunan Viking itu kini mempertimbangkan ulang posisinya yang selama puluhan tahun menjadi daerah netral dan penyangga Uni Soviet, lalu Rusia dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Baca juga : Serangan ke Ukraina Masih Intensif, Rusia Ancam Swedia dan Finlandia
Dalam jajak pendapat pada Januari 2022, tidak sampai separuh responden di Swedia dan Finlandia mendukung negaranya bergabung dengan NATO. Bahkan, pada 2017, lebih banyak yang menentang dibandingkan mendukung keduanya bergabung dengan NATO. Sejumlah partai di Swedia juga menolak bergabung dengan NATO.
”Sebaiknya jangan bergabung dengan NATO, lebih baik meningkatkan investasi dan sumber daya untuk pertahanan. Meski demikian, Swedia harus bekerja sama dengan NATO,” demikian pernyataan resmi Partai Demokrat Swedia.
Namun, pendulum pilihan itu kini berubah arah. Dalam jajak pendapat yang diungkap beberapa hari setelah Rusia menyerbu Ukraina, 53 persen responden Finlandia mendukung negaranya bergabung dengan NATO. Pada 2017, hanya 17 persen yang mendukung ide itu.
Sementara dalam jajak pendapat yang diungkap pada Jumat (4/3/2022),51 persen responden Swedia mendukung negaranya bergabung dengan NATO. Pada Januari 2022, hanya 42 persen responden mendukung ide itu.
”Ini angka tertinggi sepanjang sejarah. Namun, bukan berarti pendapat umum benar-benar akan berubah. Keamanan kami terdampak dan warga melihat apa yang terjadi pada Ukraina yang bukan anggota NATO,” kata pemimpin lembaga jajak pendapat Demoskop, Karin Nelsson, yang menggelar jajak pendapat itu.
Memang, Demoskop menemukan sebagian warga Swedia khawatir apabila negaranya bergabung dengan NATO. Mereka khawatir Presiden Rusia Vladimir Putin malah akhirnya benar-benar menyerbu Swedia jika Stockholm bergabung dengan NATO.
”Banyak yang menganggap yang terjadi sekarang adalah tidak ada satu pun yang menolong Ukraina. Akan tetapi, banyak yang khawatir Swedia tidak cukup kuat melawan serbuan Rusia,” kata Nelsson.
Tanggapan
Demoskop mengeluarkan hasil jajak pendapat itu kala Partai Demokrat Swedia terlihat mempertimbangkan perubahan sikap soal NATO. Salah satu partai terbesar di Swedia itu telah mengeluarkan serangkaian pendapat yang mengindikasikan tidak lagi sepenuhnya menolak Swedia bergabung dengan NATO.
”Mustahil tidak mempertimbangkan semua hal dalam situasi sekarang. Jika memang benar mayoritas warga berubah pendapat dan peluang Finlandia bergabung dengan NATO semakin besar, akan ada pertanyaan besar yang harus dijawab,” kata juru bicara urusan luar negeri Partai Demokrat Swedia, Aron Emilsson.
Baca juga : Mencegah Perang Berkepanjangan
Partai Hijau Swedia juga mempertimbangkan keanggotaan Swedia di NATO. Sementara Partai Sosial Demokrat yang berkuasa di Swedia masih berhati-hati. Menteri Pertahanan Swedia Peter Hultqvist menyebutkan, tidak mudah memutuskan keanggotaan Swedia di NATO. Perkembangan saat ini tidak boleh jadi satu-satunya alasan. ”Tidak bisa mengubah doktrin dalam satu malam, apalagi hanya berdasarkan jajak pendapat,” katanya.
Direktur Kajian Rusia dan Eurasia Universitas Uppsala Claes Levinsson menyebut bahwa Swedia dan Finlandia akan saling memantau keputusan soal keanggotaan NATO. Jika Finlandia bergabung, Swedia berpeluang besar bergabung pula.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa keputusan keanggotaan Swedia harus mendapat dukungan besar di parlemen. Dengan keengganan Partai Sosial Demokrat, sulit berharap Stockholm akan bergabung dalam waktu dekat.
Sekretaris Jenderal NATO yang juga politisi Norwegia, Jens Stoltenberg, mengatakan bahwa Swedia dan Finlandia sudah lama bekerja sama dengan NATO. Oleh karena itu, keanggotaan mereka bisa diproses dengan cepat jika mereka melamar.
Baca juga : Tak Mau Ikut Perang, NATO Buka Celah Dialog dengan Rusia
Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace mengatakan, sangat tidak patut jika London tidak mendukung keanggotaan Stockholm di NATO. ”Swedia keluarga kami sehingga kami akan berdampingan dengan Swedia. Kami akan melakukan semua cara untuk mendukung secara militer atau cara lain,” katanya.
Sementara di Swiss, anggota parlemen dari Partai Rakyat Swiss (SVP), Roger Köppel, mengecam keputusan Bern mendukung sanksi kepada Rusia. Ia menuding pemerintah menyerah pada tuntutan pihak asing dan tidak gigih mempertahankan netralitasnya. SVP satu-satunya partai politik di Swiss yang menolak menjatuhkan sanksi kepada Rusia.
Netralitas memang menjadi citra Swiss selama ratusan tahun. Keteguhan Swiss pada netralitas dan kerahasiaan nasabah membuat negara ini aman melewati berbagai perang yang menghancurkan Eropa dalam 200 tahun terakhir. Bank-bank Swiss dipercaya banyak pihak untuk menyimpan dan mengelola dana.
Guru besar hukum internasional pada Universitas Zurich, Oliver Diggelmann, dan sejarawan sekaligus mantan diplomat Swiss, Paul Widmer, menyangkal Swiss mengingkari netralitas. Menjadi netral bukan berarti tidak melakukan apa-apa.
”Negara netral sekalipun punya kewajiban hukum untuk tidak terlibat konflik bersenjata dan tidak mendukung salah satu pihak dalam konflik bersenjata,” katanya.
Baca juga : Diplomasi Vatikan dalam Perang Rusia-Ukraina: Merangkul, Bukan Memukul
Widmer malah berpendapat, netral bukan berarti sama sekali tidak memihak dalam konflik bersenjata. Ia juga memuji keputusan Bern yang tidak tergesa menjatuhkan sanksi. Berbeda dengan AS dan UE, Swiss memang tidak serta-merta menjatuhkan sanksi kepada Rusia.
Menurut Laurent Goetschel, Direktur Swiss Peace Foundation, keputusan Swiss adalah bentuk penghormatan pada hukum internasional. ”Kalau Swiss malah memanfaatkan konflik untuk keuntungan ekonomi, hal itu akan jadi masalah,” ujarnya.
Baca juga : Meretas Jalan Menuju Pintu Kesejahteraan
Diggelmann mengatakan, keputusan Bern tepat karena hal itu membuat Swiss tidak berpihak kepada penyerang. Tindakan Bern adalah salah satu bentuk netralitas.
Rusia tentu saja berpendapat berbeda. Pada Senin (7/3/2022), Moskwa mengeluarkan daftar negara-negara tidak bersahabat. Swiss dimasukkan dalam daftar itu. Swedia bersama 26 anggota UE juga masuk. Sementara Finlandia, yang melarang semua pesawat Rusia masuk wilayah udaranya, tidak masuk daftar itu. (AFP/REUTERS)