Krisis Ukraina Meluber Menjadi ”Perang Energi”
Krisis Ukraina yang sejatinya merupakan letupan ketegangan hubungan Amerika Serikat dan Rusia meluber menjadi perang energi. Setelah dijatuhi sanksi ekonomi bertubi-tubi, Rusia kini membalas.
KIEV, RABU – Krisis Ukraina yang berkelindan dengan puluhan sanksi ekonomi dari negara-negara Barat kepada Rusia berkembang menjadi ”perang energi”. Amerika Serikat menghentikan impor energi dari Rusia. Sebagai balasan, Rusia juga melempar sinyal akan menghentikan ekspor energinya.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden di Washington DC, Selasa (8/3/2022) waktu setempat atau Rabu (9/3) Waktu Indonesia Barat, mengumumkan penghentian seluruh impor minyak, gas, dan batubara dari Rusia ke negaranya. Ini disebutnya sebagai bagian dari tekanan agar Rusia menghentikan serangan ke Ukraina. Langkah serupa tengah direncanakan oleh dua perusahaan minyak raksasa yang berbasis di Inggris, BP dan Shell.
”Kami melarang semua impor minyak, gas, dan energi Rusia. Hal ini berarti minyak Rusia tidak diterima lagi di pelabuhan AS,” kata Biden.
Baca juga : Perhitungan Putin Diduga Meleset, Terkesan Tanpa Strategi Keluar
Langkah itu segera direspons Presiden Rusia Vladimir Putin dengan melarang ekspor dan impor bahan mentah serta sejumlah komoditas lain. Di Moskwa, Putin menyatakan dekrit pelarangan ekspor dan impor bahan mentah untuk memastikan keselamatan dan keberlangsungan industri di Rusia. Kebijakan itu untuk sementara diterapkan hingga 31 Desember 2022.
Pemerintah dan parlemen Rusia akan segera memutuskan komoditas yang masuk daftar larangan itu. Moskwa memastikan tak akan ada larangan untuk konsumsi pribadi. Larangan hanya berlaku untuk konsumsi industri.
Sebelum dekrit itu diumumkan, Wakil Perdana Menteri Rusia Alexander Novak memperingatkan bahwa Rusia berhak menghentikan pengiriman gas ke Eropa. Meski demikian, ia menyebut penghentian tersebut akan merugikan semua pihak.
Sebelumnya, krisis Ukraina telah menerbangkan harga minyak di atas 100 dollar AS per barel. Namun, dengan adanya pengumuman dari Washington dan Moskwa tersebut, harga minyak dunia makin meroket.
Harga minyak mentah jenis Brent sempat menembus level harga 130,38 dollar AS per barel. Sementara harga minyak West Texas Intermediate mencapai 125,58 dollar AS per barel. Kenaikan harga minyak selalu mengerek harga komoditas global lainnya.
Ini juga yang saat ini sedang terjadi. Misalnya, nikel dan timah yang banyak dimiliki Indonesia harganya naik lebih dari 4 persen. Kenaikan harga juga tercatat pada paladium, logam amat penting dalam industri semikonduktor. Sebanyak 40 persen pasokan dunia berasal dari Rusia.
Kenaikan harga minyak menjadi pembahasan pada sebuah konferensi energi di Paris. Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol menyatakan, IEA dapat melepaskan lebih banyak stok minyak guna meredakan lonjakan harga bahan bakar. IEA mewakili 31 negara industri. Rusia tidak termasuk di dalamnya.
Birol menyebutkan, badan itu juga akan menyusun rencana aksi untuk mengurangi penggunaan minyak dengan cepat. "Di pasar minyak, bulan-bulan yang paling sulit adalah bulan-bulan musim panas, yang disebut 'musim mengemudi', ketika permintaan naik sekitar Juni-Juli," kata Birol.
Para anggota IEA pada pekan lalu sepakat untuk melepaskan 60 juta barel cadangan minyak mereka untuk mengkompensasi gangguan pasokan setelah invasi Rusia ke Ukraina. Menurut Birol, pelepasan cadangan sebesar 60 juta barel itu adalah respons awal dan jumlah itu berpotensi bertambah.
"(Jumlah) itu hanya 4 persen dari stok kami. Jika memang dibutuhkan dan jika pemerintah kami memutuskan demikian, kami dapat mengalokasikan lebih banyak minyak ke pasar, sebagai salah satu bagian dari respon kami," kata dia.
Tekan neraca Indonesia
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kenaikan harga minyak akan makin menekan neraca perdagangan migas nasional. Sebab, Indonesia adalah importir minyak bersih (net oil importer) dan konsumsi energi nasional terhadap minyak dan gas bumi (migas) mencapai 51 persen.
Ujung-ujungnya, defisit neraca perdagangan migas akan makin besar. Padahal, perolehan tambahan devisa dari kenaikan harga komoditas,
Komaidi mengkhawatirkan, tidak akan mampu menutup kebutuhan tambahan devisa untuk membiayai impor migas. Sebagai ilustrasi, kebutuhan devisa untuk impor migas dapat mencapai sekitar 49,27 miliar dollar AS dengan asumsi harga minyak 120 dollar AS per barel. Kebutuhan itu terdiri dari impor minyak dan produk BBM senilai 44,04 miliar dollar AS dan impor elpiji senilai 5,23 miliar dollar AS.
”Dengan ilustrasi seperti itu, kebutuhan devisa impor migas bisa mencapai hampir 35 persen dari cadangan devisa Indonesia saat ini yang tercatat sekitar 141 miliar dollar AS,” ujarnya.
Dalam urusan fiskal, Komaidi berpendapat, setiap kenaikan harga minyak sebesar 1 dollar AS per barel akan menambah penerimaan migas dalam APBN 2022 sekitar Rp 3 triliun. Namun, pada saat yang sama, kenaikan harga minyak juga akan meningkatkan kebutuhan tambahan anggaran subsidi dan kompensasi migas dalam jumlah yang lebih besar.
Lebih jauh ia menambahkan, kenaikan harga yang dipicu konflik geopolitik dan perang seperti sekarang menegaskan bahwa, meski dalam era transisi energi, keamanan pasokan migas tetap menjadi isu utama yang tidak dapat diabaikan.
Secara terpisah, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Service Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan, ketika suplai gas dari Rusia terhambat, negara-negara Eropa akan mulai berpikir untuk tidak bergantung pada komoditas energi. Indonesia bisa melakukan transisi energi. Hanya, tantangannya bagi Indonesia adalah menarik investasi energi baru terbarukan ke dalam negeri.
”Ada banyak pelaku bisnis/industri yang sudah mau investasi ke energi terbarukan, tinggal bagaimana pemerintah memfasilitasi. Transisi energi sudah saatnya dilihat sebagai strategi untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
Menekan Rusia
Presiden AS Joe Biden menyebut penghentian impor komoditas-komoditas dari Rusia itu sebagai bagian dari tekanan agar Rusia menghentikan serangan terhadap Ukraina. Hingga genap dua pekan Rusia menyerbu Ukraina sejumlah kota utama Ukraina sudah dikendalikan atau dikepung ketat Rusia. Upaya evakuasi dari kota-kota yang terkepung itu bolak-balik gagal. Rusia dan Ukraina saling tuding sebagai penyebab kegagalan evakuasi.
Kecuali Odessa, hampir seluruh daerah Ukraina di pesisir Laut Azov dan Laut Hitam sudah dikendalikan atau dikepung Rusia. Odessa pun sudah berhari-hari dibombardir Rusia yang menembakkan rudal dan roket berjangkauan lebih dari 10 kilometer.
Kiev menolak tawaran Moskwa untuk membuka jalur evakuasi ke arah Rusia dan Belarus. Moskwa beralasan, penduduk sejumlah kota sudah memilih mengungsi ke Belarus dan Rusia dibandingkan ke Ukraina Barat lalu menuju Polandia atau tetangga lain di barat.
Pada Rabu Rusia mengklaim ada sejumlah kemajuan dalam negosiasinya dengan Kiev untuk menyelesaikan perang Rusia-Ukraina. Kremlin menggarisbawahi bahwa pasukan Moskwa tidak menarget penggulingan pemerintah Ukraina. "Beberapa kemajuan telah dibuat," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, dalam jumpa pers, mengacu pada tiga putaran pembicaraan dengan Kiev.
Baca juga: Putin Larang Ekspor, Pasar Semakin Bergejolak
Pejabat Ukraina dan Rusia telah bertemu di perbatasan Belarus-Polandia untuk pembicaraan guna mengakhiri pertempuran. Zakharova mengatakan, putaran perundingan lain akan difokuskan pada koridor kemanusiaan untuk mengevakuasi warga sipil. Dia menambahkan, Moskwa tidak berniat untuk menduduki Ukraina atau menggulingkan pemerintahnya.
Moskwa mengklaim tidak akan menargetkan wilayah-wilayah sipil dalam serangannya, sekali pun sejumlah bukti berkebalikan tersebar luas. Zakharova dalam keterangan persnya justru menuduh pihak berwenang Kiev menghalangi upaya untuk mengevakuasi warga sipil.
"Informasi tentang koridor kemanusiaan sengaja tidak dikomunikasikan kepada penduduk," kata Zakharova. "Orang-orang yang ingin pergi ke Rusia terpaksa mengungsi ke arah Barat."
Rusia dan Ukraina telah menyetujui gencatan senjata selama satu hari pada Rabu di sekitar serangkaian koridor evakuasi untuk memungkinkan warga sipil melarikan diri dari pertempuran. Moskwa mengatakan, pekan ini akan menyiapkan koridor evakuasi. Namun, Kiev menyebut rute yang diusulkan tidak dapat diterima karena beberapa mengarah ke wilayah Rusia.
Zakharova mengklaim bahwa sekitar dua juta warga Ukraina ingin dievakuasi ke Rusia. Badan pengungsi PBB UNHCR memerkirakan jumlah total pengungsi Ukraina sejauh ini mencapai 2,2 juta jiwa. (AP/AFP/REUTERS/RAZ)